Iman Sugema dan M. Iqbal Irfany
Kali ini kami ingin memancing sedikit diskursus di antara para pembaca. Harap dipahami bahwa banyak sekali pertanyaan yang mampir kepada kami tentang apakah sistem keuangan syariah di Indonesia khususnya dan di negara-negara muslim umumnya telah betul-betul Islami atau telah melenceng. Apakah sistem keuangan syariah sudah seratus persen terbebas dari riba atau tidak. Ini tentunya merupakan pertanyaan yang teramat berat untuk dijawab.
Walaupun rubrik ini bertema “Bukan Tafsir”, ada baiknya kami memberi sedikit penjelasan mengenai isu ini hanya sekedar untuk memancing diskursus. Mari kita bicarakan hal ini secara terbuka dan seterang-terangnya disertai dengan hati yang jernih.
Masalahnya memang saat ini terlalu banyak produk dan jasa keuangan yang berlabel syariah ternyata memiliki skema yang terlalu mirip dengan produk keuangan konvensional. Produk yang demikian kita sebut saja produk ‘remang-remang’.
Contoh yang pertama adalah transaksi pembiayaan rumah yang berbasis murabahah. Persoalannya bukan pada apakah transaksi tersebut telah sesuai dengan syariah atau tidak. Tetapi lebih pada persepsi konsumen yang teramat sulit membedakan antara KPR konvensional dengan KPR syariah. Bahkan pengalaman kami menunjukan bahwa KPR syariah cenderung lebih mahal.
Contoh yang kedua adalah transaksi sukuk yang menurut para investor tak memiliki perbedaan yang nyata dengan surat utang konvensional. Sukuk memang diandalkan pemerintah untuk membangun atau membeli sesuatu dan kemudian memberi marjin kepada pihak yang memberikan fasilitas pembiayaan yakni investor. Sulit memang untuk membedakan marjin dan suku bunga tetap (fixed interest rate) karena keduanya secara matematika sama saja.
Contoh yang ketiga adalah transaksi serial pembelian emas secara kredit (qardh) yang diikuti transaksi penitipan atau gadai. Anda bisa membeli emas dari sebuah bank syariah dengan cara mencicil tanpa dikenakan bunga atau marjin. Tetapi Anda diikat untuk menitipkan emas tersebut pada bank, dan atas jasa itu Anda dikenakan biaya penitipan sekian rupiah per gram per bulan. Jadi bank mendapatkan keuntungan bukan dari transaksi qordh tetapi dari jasa penitipan yang diwajibkan kepada nasabah penerima kredit. Karena biaya penitipan dikaitkan dengan waktu dan jumlah pembiayaan maka Anda bisa dengan mudah membuat padanan dengan suku bunga. Transaksinya saja dibuat melingkar-lingkar, tetapi esensinya tetap sama yaitu pihak kreditur mendapatkan “tambahan” atas pembiayaan yang diberikan.
Untuk menjawab pertanyaan yang bertubi-tubi mengenai berbagai kemiripan tersebut kami biasanya menukil sebuah hadist “sapu jagat” sebagai berikut. Dari Ali, Rasulullah SAW bersabda: “Kullu qordhin jarro manfa’atan fahuwa riba (HR Harits bin Usamah, dinukil dari Subulussalam jilid 2 Hal 42). Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah bahwa segala bentuk transaksi pinjaman (qardh) dimana dikenakan satu manfaat akibat peminjaman tersebut, maka itu termasuk riba.
Lalu kita juga bisa menukil riwayat dimana seorang kreditur di zaman Rosulullah pernah menolak tunggangan yang ditawarkan pihak debitur hanya karena takut fasilitas tunggangan tersebut termasuk riba. Saking hati-hatinya, segala bentuk kebaikan atau manfaat yang diberikan oleh debitur dianggap sebagai tambahan atas pinjaman atau riba walaupun hal tersebut tidak langsung bersangkut paut dengan transaksi pinjam meminjam.
Inti dari hadist tersebut adalah kehati-hatian untuk tidak terjerumus dalam riba dengan berbagai bentuknya. Bisa jadi transaksi dibuat sedemikian rupa dengan cara yang berliku-liku untuk menghindari riba. Tetapi pada akhirnya pihak debitur diharapkan untuk membayar manfaat kepada kreditur sebagai bentuk lain dari balas jasa pembiayaan melalui akad serial. Barangkali itulah yang dimaksud dengan ‘riba implisit’ dan kita harus berhati-hati untuk tidak terlibat di dalamnya.
Sebagai panduan, kalau kita tidak terlalu yakin bahwa sebuah produk atau jasa telah terbebas dari riba, maka urusan tersebut sebaiknya ditinggalkan saja. Tetapi kalaupun tidak mau meninggalkannya, kita dapat berpura-pura sebagai orang bodoh yang taqlid terhadap keputusan dewan syariah. Setiap produk keuangan yang ditawarkan oleh bank syariah pasti telah melalui persetujuan dewan syariah. Dengan demikian, tanggung jawab halal haramnya berada sepenuhnya pada mereka, bukan kita sebagai nasabah. Itu kalau kita mau berpura-pura bodoh.
Atau bisa juga kita merintih kepada Allah langsung. Pernah suatu ketika teman kami yang profesor matematika membuat pengaduan langsung kepada Allah secara bersungguh-sungguh. Doanya adalah sebagai berikut: “Ya Allah, dengan ilmu yang Engkau berikan kepada hamba-Mu yang lemah ini, aku tak bisa membedakan secara nyata ‘riba’ yang terkandung dalam KPR konvensional dan syariah. Maka aku putuskan untuk mengambil KPR konvensional semata-mata karena lebih murah. Kalaupun ada riba di dalamnya, aku terlibat dalam jumlah yang lebih sedikit. Kalau Engkau tak ridho dengan keputusanku ini, maka berilah hamba-Mu ini kemampuan untuk melunasinya sesegera mungkin”.
Apa yang terjadi? Ia mampu melunasinya hanya dalam enam bulan saja walaupun harus membayar denda besar kepada bank.
Di dalam era yang penuh dengan wilayah abu-abu, masih ada satu kekuatan yang akan menuntun kita. Tuntunan Allah akan berada bersama hati yang jernih. Yakinlah. Wallahu a’lam bis-showab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H