Mohon tunggu...
Iqbaal Ramadhan
Iqbaal Ramadhan Mohon Tunggu... Lainnya - Mohamad Iqbal Ramadhan

Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Ekonomi Studi Pembangunan 2017 Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mencetak Uang sebagai Upaya Menghadapi Resesi Covid-19, Berbahayakah?

3 Mei 2020   16:30 Diperbarui: 14 Mei 2020   21:14 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Amerika secara terbuka mengakui bahwa federal dapat mencetak semua uang yang dibutuhkan, dan tidak ada hal buruk terjadi (Bussinessinsider,2020). Untuk menganalisa hal ini, kembali pada krisis 2008  saat  The FED mencetak dollar hingga $1 Trilliun untuk menalangi krisis yang terjadi, ketika konsepsi Ekonom Tradisional digunakan maka hal itu pasti akan berakibat inflasi namun realita yang terjadi mencetak uang sebanyak itu justru tidak menimbulkan inflasi selama krisis, $1 triliun sebenarnya adalah ujung bawah dari perkiraan bailout walaupun pada kenyataannya biaya yang dikeluarkan setinggi $29 triliun (Levy Economic Institute,2019).

Berkaca dari pengalaman empiris inilah kemudian menjadi prinsip utama MMT bahwa mencetak uang tidak sepenuhnya berbahaya dan bisa jadi menguntungkan (Ben Bernanke.2009). Dalam menghadapi krisis, 19 negara di kawasan mata uang euro, memberlakukan suku bunga negatif untuk mengeluarkan uang dari rekening bank, dengan harapan menghasilkan inflasi.  

Disatu sisi, Bank Sentral Eropa memasok Euro sebesar 2,5 triliun dalam pelonggaran kuantitatif dan kekhawatiran akan inflasi tidak pernah terjadi. Empiris ini kemudia dijadikan dalih banyak negara dalam merespon krisis corona saat ini bahwa mencetak uang tidak dengan sendirinya menjadi penyebab inflasi pasti ada sesuatu yang lain.

Perdebatan akan pelonggaran kuantitatif dengan mencetak uang mengingatkan pada hyperinflasi yang dialami Zimbabwe periode 1990-an ketika rezim Robert Mugabe mencetak dolar Zimbabwe dalam jumlah besar yang berakibat devaluasi parah terhadap mata uang negara tersebut, pemicu inflasi menurut MMT bukan berasal dari Uang saja melainkan dari factor Mugabe yang memaksa para petani kulit putih meninggalkan tanah mereka dan memberikan tanah pertanian mereka kepada para prajurit yang telah berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan Zimbabwe dari Inggris.  

Masalahnya adalah para prajurit ini tidak pandai bertani. Produksi menurun tiba-tiba dan akibat kejadian tersebut Zimbabwe mengimpor makanan dari luar dan tidak mampu memberi makan untuk dirinya sendiri. Pertanian menjadi Backbone dengan kontribusi 60% dari perekonomian Zimbabwe.

Begitupun dengan Jerman pasca kekalahan perang, mereka mencetak uang untuk menutupi krisis dan saat itu juga factor dan kapasistas produksi jerman telah hancur akibat perang, yang mengakibatkan hiperinflasi di negara tersebut.

Secara teoritis, apabila negara terus melakukan belanja dan tidak bisa menghasilkan barang untuk memenuhi pengeluaran maka konsekuensinya ialah inflasi, dan apabila dilakukan dalam jangka panjang maka hiperinflasi sebagai puncaknya (Bill Mitchel, 2019). Oleh karenanya MMT mendukung gagasan dalam menangani krisis saat ini dengan mencetak uang baru denganbeberapa syarat yang penting. 

Madzhab ini juga menyarankan agar bank sentral menyalurkan uang ke dalam perekonomian, mendorong bisnis untuk mempekerjakan lebih banyak orang dan konsumen untuk menuntut lebih banyak barang dan jasa. Keberadaan pengangguran adalah bukti de facto yang jelas bahwa pengeluaran pemerintah bersih terlalu kecil untuk menggerakkan perekonomian ke pekerjaan penuh, apabila kondisi ini tercapai maka Mencetak uang sebagai upaya pelonggaran kuantitatif tidak akan berbahaya.

Selebihnya, pengendalian mata uang beredar selama pelonggaran kuantitatif dilakukan dengan intrumen pajak sebagai anti inflasi (Jim Edward,2020), logika untuk meningkatkan pajak ditengah pandemic membuat ekonom tradisional skeptic bahwa tidak ada pemerintah mana pun yang berani menaikkan pajak selama periode inflasi dan kebijakan pajak sulit untuk dilaksanakan dengan cepat, sedangkan inflasi dapat bergerak cepat. 

Logika ekonomi tradisional memiliki pandangan bahwa pajak digunakan sebagai instrument untuk menaikkan pendapatan pemerintah untuk membiayai aktivitas ekonomi lain (asumsi ini mirip seperti Rumah tangga), sedangkan MMT menyatakan bahwa karena pemerintah harus menciptakan uang terlebih dahulu untuk membelanjakannya, dan hanya setelah itu beredar dapat dikenai pajak kembali.

Maka kesimpulan yang dapat ditarik dari critical review ini ialah :

  • Pelonggaran kuantitatif dengan mencetak uang dalam menangani krisis pandemic covid-19 tidaklah berbahaya sebagaimana empiris yang telah terjadi sebelumnya
  • Pelonggaran kuantitatif haruslah diiringi dengan pemenuhan produksi dan kapasitasnya, sehingga inflasi bisa ditekan, secara sederhana pasokan uang baru haruslah digunakan sepenuhnya untuk memenuhi full employment dan mendorong produksi dan dikendalikan dengan instrument pajak, walaupun secara empiris hal ini sangatlah skeptic untuk dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun