Isu moneter internasional yang saat ini banyak menuai pro kontra dikalangan para ekonom dunia dalam menghadapi ancaman resesi yang diperkirakan setara dengan The Great Depresion tahun 40-an atau bahkan lebih parah, untuk kasus pandemi covid-19, efek terhadap perekonomian belum pernah terjadi sebelumnya.
Oleh karena itu banyak negara seperti Jepang,India,Amerika Serikat,Eropa,Inggris bahkan Indonesia yang kemudian percaya untuk melakukan langkah kebijakan moneter yang berani dalam menghadapi krisis dengan mencetak uang sebagai pelonggaran kuantitatif yang harapannya akan meningkatkan permintaan konsumen, memulai proyek bisnis baru, mendukung bisnis dan juga tenaga kerja.
Isu ini bukan barang baru, pelonggaran kuantitatif dengan mencetak uang juga pernah di lakukan dalam mengembalikan perekonomian tahun 2008 ketika krisis AS terjadi, The FED mencetak uang hingga $1 Trilliun Dollar untuk menginjeksi rumah tangga, perusahaan dan bisnis tetap kembali normal, saat ini European Central Banking juga menghapus batas obligasi yang dapat dibeli negara zona euro manapun,Â
Begitupun Bank of England dalam pernyataannya siap berkomitment memberikan pinjaman tak terbatas kepada pemerintah apabila dibutuhkan, Bank sentral Jepang juga menyatakan siap membeli obligasi pemerintah dalam jumlah tak terbatas. Secara sederhana bank sentral di negara besar secara signifikan meningkatkan pinjaman kepada lembaga keuangan dan pemerintah dalam menghadapi krisis saat ini sebab pasar tak mampu menjamin untuk menyediakan pinjaman dalam jumlah besar akibat pelemahan ini.
Kemudian yang menuai kontradiktif dikalangan masyarakat dunia ialah apakah tindakan dengan melalui pelonggoran kuantitaf mampu menyelesaikan masalah krisis ini ? kemudian bagaimana dengan inflasi akibat dampak kebijakan ini, ? ada juga yang kemudian mengingatkan dengan hyperinflation yang pernah di alami oleh Zimbabwe. Â Isu ini menarik untuk saya bahas dan melihat sejauhmana kefektifan isu ini apabila benar benar di lakukan.
Critical Review
Untuk mengkritisi isu moneter pelonggaran kuantitatif maka diperlukan pemahaman bahwa uang muncul dalam perekonomian dilakukan oleh bank sentral dengan memberikan pinjaman langsung ke sektor perbankan dengan mempertimbangkan stabilitas harga dan keuangan, dalam artian pasokan uang dari bank sentral dimediasi oleh bank komersial dan pasar keuangan, karna hingga saat ini perusahaan maupun individu hanya bisa melakukan transaksi rekening melalui bank komersial sehingga sebagian uang yang dipasok dalam sirkulasi berupa uang tunai dan adapun non tunai dihasilkan dalam pinjaman ekonomi seperti upaya stimulus dan lain lain.
Pelonggaran kuantitatif dengan mencetak uang saat ini secara garis besar diperdebatkan oleh dua madzhab yakni Ekonom Tradisional dan Modern yang diinisiasi oleh Modern Monetary Theory (MMT). Ekonomi konvensional menetapkan uang sebagai komoditas, sehingga keberadaan uang cenderung diperdagangkan daripada menjadi alat tukar. Terbukti saat ini perbankan yang menganut madzhab ini menjadikan komoditas dalam proses pemberian kredit dengan instrumen bunga.Â
Hal ini menjadi ladang spekulasi empuk untuk banyak orang didunia, konsepsi tersebut berakibat fatal terhadap krisis hebat dalam perekonomian sepanjang sejarah, terutama sejak awal abad 20 hingga saat ini. Ekonomi berbagai negara diseluruh dunia tidak pernah lepas dari terpaan krisis dan ancaman krisis yang berikutnya pasti akan terjadi lagi dan saat ini pandemic covid 19 kembali menjadi krisis yang tidak main main.
Sedangkan Modern Monetary Theory adalah penyimpangan yang signifikan dari pandangan tradisional tentang ekonomi yang diajarkan di sebagian besar sekolah bisnis (Bernie Sanders,2019).Â
Dalam pandangan ekonom tradisional, gagasan pelonggaran kuantitatif dengan mencetak uang secara umum dianggap sebagai ide yang buruk, berbeda dengan MMT yang berpedapat bahwa mencetak uang haruslah menjadi alat ekonomi yang berguna, dan hal itu tidak secara otomatis mendevaluasi mata uang, menyebabkan inflasi bahkan kekacauan ekonomi seperti yang dibayangkan kaum tradisional.