Mohon tunggu...
iqbaal maoelana
iqbaal maoelana Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

tertarik pada sastra, bahasa, seni dan kebudayaan, musik, dan teater.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena FOMO dalam Prespektif Psikologisosial

16 Juni 2022   14:13 Diperbarui: 16 Juni 2022   14:17 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  • Fenomena Fomo Dalam Prespektif Psikologi Sosial

 Di era globalisasi ini, internet menjadi salah satu hal yang fundamental dalam kebutuhan hidup manusia. Di Indonesia sendiri pengguna internet dan sosial media sebagaimana hasil riset yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) yang berkolaborasi dalam penelitiannya dengan PUSKAKOM (Pusat Kajian Komunikasi) UI. menyebutkan bahwa terjadi lonjakan yang cukup tinggi dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun (wearesocial.sg) sejak awal 2015 hingga 2017 mencapai 51 persen, dari sekitar 88,1 persen menjadi sekitar 132 juta pengguna (Dzulfikri, R. 2021).

Hal ini membuktikan bahwa internet sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa terlepas atau manusia terikat dengan internet. Bagaimana tidak? Internet mampu menyediakan kemudahan terhadap berbagai kebutuhan manusia. Mulai dari kemudahan informasi, komunikasi, sandang, pangan, dan papan semua mampu disediakan oleh internet melalui berbagai aplikasi yang kemudian terkoneksi.

Berbicara tentang kebutuhan manusia, berdasarkan sifatnya terbagi menjadi dua yaitu kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani adalah kebutuhan dasar manusia yang berkaitan dengan fisik meliputi; sandang, pangan, dan papan. Sedangkan kebutuhan rohani adalah kebutuhan yang implikasinya adalah terhadap psikis seseorang seperti: rasa bahagia, sedih, religiusitas keagamaan, dan berkomunikasi dengan orang lain, dll. (Degradation of Technology, 20)

Berkenaan dengan hal itu, kemudian internet masuk sebagai medium baru dalam hal kebutuhan manusia. Dengan segala macam kemudahannya yang disediakan, dengan cepat internet menjadi sesuatu yang sulit dipisahkan oleh manusia. Namun, dibalik sejumlah manfaat daripada internet jika penggunaannya sudah mencapai pada intensitas yang tinggi, maka akan menimbulkan sifat ketergantungan, yang mana hal tersebut akan berdampak pada perilaku adiksi terhadap internet (Stead & Bibby, 2017; Laconi, dkk, 2017; Kopunicova & Baumgartner, 2016, & Przybylski, dkk, 2013).

Terlebih ketika dunia mengalami pandemi virus covid-19, yang mewajibkan setiap manusia melakukan social distancing, secara linear meningkatkan aktivitas penggunaan internet terutama media sosial untuk dapat tetap terhubung dengan orang lain. Seperti yang dikemukakan oleh Harahap dan Adeni (2020) dalam penelitiannya tentang pengguna internet dan media sosial di Indonesia melalui rilisan data dari Hoosuite (2020) pada masa pandemi sejumlah 175,4 juta orang adalah pengguna internet dimana 160 juta orang aktif menggunakan media sosial.

Perilaku adiksi terhadap internet sendiri salah satu faktornya adalah disebabkan oleh FOMO (Fear Of Missing Out) yang didefinisikan sebagai perasaan khawatir dan takut akan tidak terlibat atau tertinggal dan dalam masalah yang terjadi di sekitarnya, (Ristia dan Imelda, 2018) sehingga seseorang terdorong untuk selalu terhubung dengan media sosial.

Beberapa penelitian (Angesti, R. & Oriza, I.D.I, 2018) menjelaskan FOMO ini bisa terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis dasarnya atau pada autonomy, competence, dan relatedness. (Przybylski, Murayama, Dehaan, Gladwell, 2014).

Autonomy atau otonomi adalah bebasnya seseorang dalam mengintegrasikan dirinya tanpa adanya control dari orang lain. Competence atau kompetensi didefinisikan sebagai suatu control terhadap apa yang ia lakukan sebagai bentuk tindakan positif dan kompeten. Kemudian, relatedness atau hubungan (relasi) dengan orang lain adalah kebutuhan seseorang akan rasa terhubung dengan orang lain yang kuat secara emosional (Ryan, & Deci. 2000)

Dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh Angesti dan Oriza (n.d) berasumsi bahwa FOMO berperan menjadi mediator atau penghubung antara trait conscientiousness dengan neuroticism yang berarti adanya korelasi antara kekhawatiran dan gejala patological dengan konsekuensi negatif terhadap penggunaan media sosial (Obsert, dkk. 2016) juga terhadap perubahan mood dengan social engagement (Przybylski. 2013) yang mengahsilkan seseorang dengan conscientiousness rendah dan neuriticismnya tinggi akan mudah terkena FOMO (Stead & Biby, 2017).

Kemudian, bagaimana FOMO berpengaruh dan berdampak pada psikososial seseorang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun