Kiai Wahab Chasbullah di lahirkan di Tambakberas Jombang Jawa Timur, pada tahun 1888 beliau adalah Pahlawan Nasional, Inspriator, pendiri dan  salah satu penggerak Nahdlatul Ulama.
Beliau adalah putra dari Kiai Chasbullah dan ibu Nyai Lathifah. Jika ditarik nasab nya dari jalur neneknya, Fatimah ibu dari kian Chasbullah, yang merupakan keturunan dari Abdus Salam dan Kiai said Soichah (mbah Soichah). Abdus salam juga memiliki anak bernama Layyinah, yang melahirkan Halimah. Halimah kemudian menikah dengan Kiai Asy'ari dan melahirkan kiai Hasyim Asy'ari. KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH Hasyim Asy'ari memiliki keturunan yang sama hingga bersambung pada Brawijaya V. (Azizah, 2023)
Kiai Wahab badanya kecil lansing, warna kulitnya hitam manis, dan dahinya luas. Beliau kelihatan seorang yang rajin bekerja dan giat sekali dalam pergerakan islam. Seringkali jika menerima tamu kelihatan acuh tak acuh, sehingga sukar menerangkan suatu duduk perkara yang sempurna kepadanya. Tetapi sebaliknya apa yang di terangkan orang kepadanya, lekas dipahaminya. Hanya kadang-kadang beliau seperti sedang memikirkan sesuatu yang lain, oleh karna itu kelihatan seakan-akan tidak memperhatikan apa yang dikemukakan kepadanya. Anehnya dengan segera dapat menangkap kesimpulan politik dan apa yang dibicarkan kepadanya.
Sifatnya kian menurun pada keturunannya. Seperti hal yang sudah dialami ketika bertemu cucu-cucunya atau keturunannya memang memiliki sifat acuh tak acuh tetapi dari sifat itu memiliki sifat hangat sayang kepada para santri-santrinya.
Sewaktu kecil, Kiai Wahab menerima pelajar dasar-dasar islam dari ayahnya sendiri sampai berusia 13 tahun. Kemudia melanjutkan ke pesantren Langitan, Tuban, berguru kepada Kiai Sholeh. Lalu ketika umur 15-17 tahun beliau berguru di pesantren Nganjuk, yaitu pesantren mojosari di bawah bimbingan kiai Zainudin, menantu K. Sholeh dan di pesantren cepaka Nganjuk. Kemudian Kiai Wahab mencari ilunu di pondok pesantren Tawangsari, selama satutahun (saat berumur 17 tahun akhir, jelang 18 tahun).
Kemudian beliau pergi ke madura melanjutkan belajarnya bersama Kiai Muhammad Khalil, Bangkalan. Disini ada sedikiti cerita menarik ketika beliau Kiai Wahab (mbah wahab cilik) ingin berguru kepada Mbah Khalil, Mbah Khalil berpesan kepada para santrinya agar menutup gerbang-gerbang pesantren karna akan ada Harimau yang datang tetapi di tunggu lama oleh para bahwa harimau tidak ada malah yang datang bukan harimau melainkan Kiai Wabah (cilik) ketika itu juga Mbah Khalil langsung menunjuk Kiai Wahab bahwa dia lah harimau itu. Mengapa Kiai khalil mengucap seperti itu dikarnakan Kiai Wahab sudah sangat menguasi ilmu-ilmu agam.
 Disini beliau memperdalam ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bahasa arab, antara lain kitab-kitab karangan ibn Malik dan Aqil yang terkenal dengan nama Alfiyah dan syarah-syarahnya. Kiai Wahab meninggalkan pesantren yang mansyur itu sesudah Kiai Khalil meninggal dunia.
Setelah itu Kiai Wahab pergi ke Tebuireng. Selain menyempurnakan pelajarannya mengenai Fathul Wahab, Mahalli, Baidhawi dan ilmu isti'arah, beliau juga mengajar ilmu-ilmu fiqih, akhlak, sharaf, nahwu,dan lain-lain. Beliau juga pernah menjadi lurah pondok di Tebuireng.
Singkat cerita setelah beliau belajar di tanah air Kiai wahab menlajutkan belajar nya ke Makkah sekitar tahun 1909 M, beliau bermukim disana kira-kira lima tahun pada masa pemerintahan Syarif Husein. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kiai Wahab untuk mengkaji dengan guru-guru yang alim lagi piawai. Diantara guru-guru beliau adalah Kiai Mahfudz Termas, Kiai Mukhtaram Banyumas, Syekh Ahmad Khatib Al-minangkabawi, yang pada waktu itu menjadi mufti Syafi'i di Makkah dengan mengkaji ilmu fiqih, dan banyak lagi.
Kiai Wahab mempunyai cara sendiri untuk membangkitkan semangat ulama-ulama, dan mengarahkan perhatiannya kepada kemajuan dengan mengemukakan perhatiannya kepada kemajuan dengan mengemukakan soal-soal khilafah. Dengan senjata ini banyak ulama yang dahulu tidak menaruh minat dalam urusan keduniaan dan kenegaraan, akhirnya sebagian besar masuk gerakan Nahdlatul Ulama yang mempunyai dasar-dasar politik dan pandangan hidup yang tidak bisa disebut kolot.
Ada juga certi Kiai Wahab dan Bung Karno tentang Soekarno, sukar, dan Bongkar di dalam Buku (Tambakberas menelisik sejarah memetik Uswah) karangan masyaikh-masyaik dan Alumni Tambakberas. (Tambakberas, 2017) Â Ketika masih menjadi aktivis pergerakan Bung karno belum mengenal NU, bahkan meremehkan orang islam pesantren yang dianggap kolot. Dalam kenyataanya Soekarno banyak bersimpati dengan islam modernis. Begitu menjelang kemerdekaan Bung karno baru mengenal kelompok pesantren ini secara lebih dekat, karena itu menunjukan smpati yang besar. Saat itulah Bung Karno melihat NU adalh kelompok yang nasionalis dan kerakyatan berdasarkan ajaran islam. Ini sangat cocok dengan idieologinya yang nasionalis.
Sementara terhadap kaum islam modernis, Bung karno semakin lama semakin mengalami keretakan, terutama ketika pasca kemerdekaan beberapa eleman kelompok itu terlibat dalam pemberontakan DI-TII. Dan bekerja sama dengan kekuatan asing untuk menumbangkan kemerdekaan melalui pemberontakan PRRI Permesta.
Bung karno meresa mereka buka teman seideologinya, terbukti bersekutu dengan kekuatan asing merongrong keutuhan Republik, tidak sedikit di antara pemimpinnya yang di tahan. Sementara NU merasa dekat dengan Bung Karno, bukan karna dia berkuasa tetapi kesamaan ideologi yang nasionalistis dan populis. Orang sering salah paham dengan dengan prinsip dasar itu sehingga melihat NU oportunis, hanya mengikuti kebijakan Bung Karno. Padahal NU ikut kabinet karna merasa ideologi dan cita-citanya sama. Pada dasarnya NU tetap kritis terhadap kebijakannya.
Bung Karno ingin membangun pemerintahan yang kokoh dengan didukung kabinet kaki empat. Tetapi NU dengan tegas menolak keterlibatan PKI dalam kabinet. Terbukti belum pernah ada anggota PKI yang bisa jadi menteri hingga Bung Karno jatuh. Hal itu berkat kegigihan NU menentang gagasan Bung Karno tersebut.
Kiai Wahab misalnya pernah mengatakan dalam pidatonya bahwa, "Soekarno tanpa NO (Nahdlatul Oelama, ejaan lama) akan menjadi sukar (susah) menjalankan politiknya. Demikian juga Bung Karno tanpa NO akan menjadi bongkar (didongkel orang).
Ternyata pernyataan itu ada benarnya, saat Bung karno mau menumpas PRRI-Permesta minta dukungan NU dan menang. Begitu juga saat Bung Karno membebaskan Irian Barat, meminta dukungan NU dan berhasil. Namun sebaliknya ketika tuntutan NU pada Bung Karno untuk segera membubarkan PKI, karena partai itu selalu menimbulkan ketegangan gontok-gontok dan konflik sosial di mana-mana, hubungan NU dan Soekarno menjadi renggang maka saat itu Soekarno bergerak tanpa NO, akhirnya Bung Karno dijatuhkan oleh berbagai kekuatan termasuk militer, Mahasiswa termasuk kekuatan asing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H