[caption id="attachment_297487" align="aligncenter" width="500" caption="Arsyad sesaat sebelum menjalani pemeriksaan"][/caption]
Hanya karena status BBM, Arsyad harus berurusan dengan hukum. Sekali lagi UU ITE Pasal 27 Ayat 3 memakan korban. Hari ini Arsyad, mungkin besok kita korban selanjutnya.
"Sepertinya saya betulan ditahan hari ini.." Kata pria itu. Meski bibirnya menyunggingkan senyuman, tapi dia tidak bisa menutupi raut ketegangan di wajahnya. Sejurus kemudian dia sibuk dengan telepon genggamnya, mengirim pesan dan menelepon beberapa orang. Sayup-sayup saya mendengar dia mencoba menenangkan lawan bicaranya di seberang sana, entah siapa.
Lelaki itu bernama Arsyad, usianya 28 tahun dengan tubuh tinggi tegap dan rambut cepak rapi. Arsyad tiba-tiba jadi perbincangan beberapa bulan belakangan ini terkait masalah yang membelitnya. Masalah yang membuatnya sempat mendekam di tahanan polisi selama 7 hari dan sekarang bersiap untuk ditahan lebih lama. Beberapa jam setelah kalimat pembuka di atas dia benar-benar ditahan kejaksaan. Saya menyalaminya di ruang pemeriksaan, menepuk pundaknya dan mencoba memberinya semangat. Dia tersenyum lebar tapi saya tahu hatinya gundah.
Malam sebelumnya di sebuah warung kopi di bilangan Pettarani kami bertemu untuk pertama kalinya. Saya datang sebagai wakil dari SafeNet, sebuah jaringan yang fokus memberi bantuan untuk korban pasal 27 ayat 3 UU ITE yang sekaligus juga berusaha keras agar pasal itu dienyahkan. Arsyad datang dengan kemeja lengan panjang yang dibiarkan terkancing di pergelangan tangan, dia lebih muda dan lebih tinggi dari yang saya bayangkan. Dalam hati saya mengutuki foto dirinya di laman berita daring yang sempat menipu saya.
Arsyad atau lengkapnya Muhammad Arsyad ternyata juga lebih ramah dari yang saya bayangkan. Hanya butuh beberapa menit sebelum kami akhirnya bisa ngobrol layaknya kawan lama yang baru bertemu kembali.
"Kasus saya ini kental nuansa politisnya." Kalimat itu meluncur dari bibirnya. Saya menakar kehati-hatian di sana, dia tak mau orang salah mengira untuk kasusnya. Permulaan yang bagus, setidaknya saya menangkap kejujuran dari pria ini. Dia tidak berusaha menutup-nutupi fakta kalau kasusnya memang berhubungan dengan kotornya intrik dunia politik. Tapi saya tidak peduli, saya dan teman-teman di SafeNet tidak ada urusan dengan politik. Urusan kami hanya soal kebebasan berekspresi sesuai hak asasi manusia.
Dengan sebatang rokok Gudang Garam International di tangannya, dia mulai bercerita. Arsyad berawal sebagai aktivis anti korupsi, dia pernah aktif di Garda Tipikor dan bahkan pernah hampir magang di ICW (Indonesian Corruption Watch). Sebagai aktivis sudah banyak kegiatan yang dia gelar termasuk beberapa kegiatan yang bersifat edukasi. Semuanya bernuansa anti korupsi. Sampai kemudian suatu hari dia memutuskan untuk terjun ke dunia politik. "Saya tidak bisa hanya berteriak dari luar, saya mau mencoba mengubah dari dalam." Katanya. Dan terjunlah dia ke partai pohon beringin kuning bekas penguasa orde baru itu.
Keputusannya itu mengantarnya pada ragam intrik yang mungkin tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Menjelang pemilihan walikota Makassar 2013 kemarin partai Golkar terpecah. Secara resmi mereka mengusung pasangan Supomo Guntur dan Kadir Halid sebagai calon walikota dan wakil walikota, tapi beberapa saat menjelang penutupan pendaftaran calon walikota dan wakilnya tiba-tiba muncul nama Irman Yasin Limpo yang berpasangan dengan Busrah Abdullah.
Bukan Busrah yang jadi masalah, tapi Irman Yasin Limpo. Dia ini adik kandung Syahrul Yasin Limpo, ketua DPP Golkar Sulsel dan juga aktif sebagai kader partai pohon beringin. Golkar terpecah, suara mereka tidak bulat lagi. Secara resmi ada pasangan Supomo Guntur dan Kadir Halid, tapi adik sang ketua juga punya massa. Arsyad memilih kubunya, dia berdiri di kubu Irman Yasin Limpo dengan tugas khusus memecah suara Golkar dari dalam. Semua demi kepentingan politik. Langkahnya jelas mengundang rasa tidak suka dari kubu Supomo dan Kadir Halid. Arsyad dianggap penghianat yang mengobrak-abrik kekuatan beringin dari dalam.
Puncaknya suatu hari di bulan Juni 2013. Tepatnya 24 Juni 2013, kala itu Arsyad hadir di Celebes TV sebagai narasumber dalam acara obrolan yang membahas tentang hawa panas pemilihan walikota Makassar kala itu. Di tengah acara segerombolan orang memaksa masuk studio dan memukuli Arsyad kala kamera masih menyala dan pemirsa di rumah masih menyimak tayangannya. 5 orang ditetapkan sebagai tersangka, mereka berdalih memukul Arsyad karena benci pada sang penghianat. Tapi masalah belum selesai sampai di situ.
Dari Korban, Kembali Menjadi Korban.
Malam itu Arsyad menjadi korban pemukulan, beberapa bulan kemudian dia kembali menjadi korban. Kali ini status BBM-nya yang membuat dia kembali harus berurusan dengan polisi. Bedanya, dulu dia ke kantor polisi sebagai pelapor kali ini dia datang ke kantor polisi sebagai terlapor.
No fear Ancaman Nurdin Halid Koruptor!!!, Jangan Pilih Adik Koruptor.
Itulah sebaris kalimat yang dia pasang sebagai status BBM. Arsyad mengaku status itu tak lama terpasang di sana, tapi ternyata efeknya terasa sangat lama. Seseorang yang sampai sekarang belum tahu siapa rupanya merekam gambar status BBM-nya dan meneruskannya entah ke Nurdin Halid, entah ke Kadir Halid. Tak penting kepada siapa status BBM itu diteruskan karena kemudian orang dekat Halid bersaudara yang bernama Abdul Wahab melaporkannya ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Si bapak yang juga anggota dewan dari partai Golkar itu tidak terima tuannya dituduh seperti itu.
Arsyad disangkakan 4 pasal sekaligus. Pasal 310 dan 315 tentang penghinaan, pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan dan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Hanya butuh waktu yang singkat sebelum dia akhirnya sempat mendekam di tahanan polda SulSel. Desakan massa dan kuasa hukumnya berhasil membuatnya menghirup kembali udara bebas.
"Kalau saya lihat ini seperti cari puli." Dalam bahasa Makassar, cari puli bisa diartikan sebagai cari seri atau mencari kedudukan seimbang. "Mereka tidak rela anggotanya yang memukul saya itu ditahan, makanya saya juga diusahakan untuk ditahan supaya imbang, sama-sama ada yang dirugikan." Sambungnya lagi. Arsyad juga mengaku pernah ditawari deal seperti itu, dia mencabut laporan dan membiarkan 5 orang yang menganiayanya itu lepas dan kasusnya juga akan dicabut. "Saya tidak ada masalah, semua sudah saya lupakan. Tapi, proses hukum harus terus berjalan." Katanya.
Arsyad bergeming, dia tidak merasa salah dan dia siap dengan segala resikonya. Dua hari sebelum ditahan kejaksaan 25 Februari 2014 kemarin dia ditelepon pihak kepolisian, diminta datang ke Kejaksaan Negeri. Firasatnya langsung bicara, dia akan ditahan. Pemanggilan itu memang tidak resmi karena tidak melalui surat, ini yang aneh buat Arsyad dan sekaligus ini juga yang membuat firasatnya kuat kalau dia bakal menghadap keluar dari balik jeruji besi.
Benar saja, 25 Februari 2014 sekisar jam 16:00 WITA kuasa hukumnya akhirnya menerima berkas penahanan atas nama Muhammad Arsyad. Dia harus mendekam di rutan kejaksaan selama 20 hari sambil menunggu waktu persidangan. Kuasa hukumnya masih mengusahakan penangguhan penahanan karena toh selama ini Arsyad juga bersikap kooperatif dan tidak berusaha mempersulit proses pengadilan.
"Saya agak sulit mencari dukungan karena banyak teman-teman yang menilai kasus ini sangat berbau politik. Bahkan ada teman yang menyayangkan kenapa saya sampai tercebur dalam urusan politik seperti ini." Katanya malam itu. Saya meyakinkannya, kami di SafeNet sama sekali tidak peduli soal politik itu. Kami hanya ingin agar semua orang bebas berekspresi tanpa harus ditakut-takuti oleh mereka yang lebih berkuasa. Arsyad sendiri mengaku sudah siap dengan segala resikonya.
Beberapa jam sebelum dia akhirnya benar-benar ditahan Kejaksaan Negeri kami masih sempat menghabiskan semangkuk bakso di gerobak sederhana depan kantor kejaksaan. Miris karena kala itu dia memaksa untuk membayar bakso makan siang kami, pun ketika dia memaksa memberi sebungkus rokok. Saya malu karena harusnya saya yang membayar semuanya, tapi dia memaksa masih dengan raut senyum di wajahnya.
"Enak mantong makan di kalau lagi gelisahki." Katanya sambil tertawa ringan. Dalam bahasa Indonesia kalimat itu berarti: makan di saat gelisah rasanya memang enak ya.
Siang itu kami menghabiskan bakso di gerobak sederhana depan kantor Kejaksaan Negeri Makassar. Selepas itu entah dia butuh waktu berapa lama sebelum bisa kembali menikmati semangkuk bakso karena beberapa jam kemudian kebebasannya terpenjara. Tapi saya ingat kalau dia mengagumi Widji Thukul, mudah-mudahan dia juga seperti idolanya itu. Tak kenal takut dan tak kenal kata menyerah melawan penindasan dan pembungkaman. [dG]
artikel asli diambil dari sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H