AI Mengancam Kreativitas?
Kecanggihan teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI), menawarkan kemudahan berkreasi, dalam sekejap bisa menghasilkan gambar yang tak terpikirkan sebelumnya, hanya dengan memasukkan prompt atau kata perintah. Kedatangan teknologi berbasis metadata program komputer menjadi paradigma sekaligus kabar gembira khususnya bagi para kreator, bahkan masyarakat awam yang sebelumnya tidak memedulikan kehadiran kecanggihan teknologi. Termasuk saya yang turut merayakan kehadirannya. Saya membaca pelbagai analisis dan presentasi yang memercayai dan memuja kecanggihan AI. Hanya sedikit yang apriori dan bersikap (masih) menolak mengakui kemampuan AI Art Generator dalam menghasilkan karya dengan kecepatan yang luar biasa. Sebuah program untuk menciptakan karya seni berdasarkan input teks atau gambar. Beberapa waktu lalu, saya pernah mencoba membuat beberapa gambar adegan dengan memasukkan kata perintah (prompt) dengan bahasa tulis sederhana di kolom teks yang tersedia. Dalam hitungan detik, menghasilkan gambar sesuai susunan teks seperti yang saya inginkan, bahkan lebih-mengejutkan, tak terbayangkan sebelumnya.
Di hari berbeda, kembali saya mengujinya, meminta AI Art Generator membuat sebuah esai sastra gaya prosa menggunakan diksi bahasa Indonesia sesuai KBBI: "Buatkan esai sastra gaya prosa merapah ke Pasar Seni Ancol. Deret kios menyerupai galeri seni. Memamerkan karya-karya kalpasastra, elusif. Pucuk-pucuk tumbuhan menjeremba. Dersik angin di atas pergola. Kukila-kukila berkicau dikara. Meloka sebuah lukisan menggambarkan matahari terbenam di tepi pantai Ancol, nuansa langit kirmizi. Wanodya berdaksa lengkai, paras terdayuh, berdiri, diam, memandang aksa sabitha".
Sekira 10-15 menit, AI Art Generator tidak merespon kata perintah yang saya buat. Beberapa detik kemudian muncul pemberitahuan !"Maaf, sepertinya terjadi kesalahan. Mari mulai dari awal!". Percobaan kedua hingga ke empat mendapatkan jawaban sama. Saya memastikan jaringan internet tidak bermasalah. Kemudian berpindah ke jaringan internet Wi-Fi agar lebih stabil. Tetapi tetap saja AI Art Generator tidak merespon dan memberikan jawaban serupa.
Mengapa saya harus mengujinya sedangkan banyak orang sedang memuja. Semisal begini: Saya bertemu seorang gadis asing, paras cantik, berdaksa lengkai kemudian mengajak kenal lalu mengatakan kesungguhan cinta, bersedia hidup bersama dengan mengutip satu firman Tuhan tentang bab menikah. Kalau saja saya napsuan kemudian tanpa menguji kebenaran dan kesungguhan ucapannya, sama saja seperti saya menikahi orang gila dari tepi jalan.
Itulah yang kemudian membuat saya berpikir keras: mungkinkah anak-anak muda yang cerdas dan berbakat dalam bidang pemrograman komputer, linguistik, logika dan epistemologi, teknik, teori khaotik dan sistem kompleks dari pelbagai negara itu belum sepenuhnya menyerap apa yang telah Kurt Godel lakukan dan wariskan? Anak-anak muda yang didapuk cerdas, dan layak bekerja di The Allen Institute for Artificial Intelligence (AI2), yang kantor pusatnya berada di Seattle, Amerika Serikat, itu adalah fakta kecerdasan yang tak terbantahkan? Atau anak-anak muda itu belum sepenuhnya memasukkan, input bahasa Indonesia sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ke data base atau dalam program metadata mereka sehingga kesulitan mendeteksi teks bahasa Indonesia sesuai KBBI? Sehingga tujuan pengujian saya dapat menghasilkan sebuah artikel bergaya prosa (karya sastra) dengan memasukkan teks kosakata bahasa Indonesia sesuai KBBI, tidak dapat direspon atau dibaca. Sedangkan saya tahu, AI Art Generator adalah sebuah sistem pembelajaran mendalam (deep learning) untuk menganalisis data dan menghasilkan tulisan artikel atau gambar yang sesuai dengan deskripsi kata perintah atau contoh yang diberikan oleh pengguna. Tetapi itu tidak terjadi.
Dasar dari rasa keingintahuan saya berangkat dari peristiwa yang saya baca di laman Website Kemendikbud Ristek, yang mengatakan: "Bahasa Indonesia pada tahun 2023 telah tercatat di 86 universitas di luar negeri yang memiliki program bahasa Indonesia, di antaranya Universitas Harvard (Amerika Serikat), Universitas Al Azhar (Mesir), Universitas Viena (Austria), Universitas Sofia (Bulgaria), Universitas Nottingham (Inggris), dan Universitas Negeri Moskow (Rusia).
Membaca pula: "Pasca ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Sidang Umum UNESCO pada 2023. Kemudian program di 2024 akan menambah entri Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hingga sejumlah 200.000 lema. Diharapkan hingga tahun 2045, bahasa Indonesia dapat diajarkan di 128 perwakilan RI di 94 negara. Karena minat lembaga pendidikan di luar negeri yang membuka program bahasa Indonesia semakin meningkat."
Bergidik bulu kuduk saya ketika mengetahui A. A. Navis yang merupakan sastrawan dan kritikus budaya kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, Indonesia mendapat pengakuan internasional dengan kontribusi besar terhadap kesusastraan Indonesia dan peradaban dunia. Salah satu karyanya yang paling berpengaruh adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami.
Lebih merinding lagi ketika ditetapkannya peringatan 100 tahun A. A. Navis oleh UNESCO. Peristiwa itu terjadi pada penutupan Sidang Umum ke-42 UNESCO di Paris, Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengumumkan A.A. Navis sebagai salah satu tokoh Indonesia yang ulang tahun ke-100-nya dirayakan sebagai peringatan internasional.
Nah! Menurut hipotesis saya, khusus bagi mereka yang masih antipati dengan kehadiran AI, tak perlu kuatir dan ketar-ketir akan segera terjadinya bencana peradaban manusia dan harus mewaspadai kehadiran AI, karena faktanya dalam waktu dekat tidak akan terjadi. Para pakar kecerdasan buatan saat ini tahu bahwa untuk mewujudkan teknologi "super dewa" susahnya bukan main---bahkan hampir mustahil. Mungkin butuh puluhan atau ratusan tahun lamanya untuk mentransformasi
sebelum manusia dapat menemukan satu sistem epistemologi di luar sistem biner. Karena sistem itu---epistemologi baru di luar sistem biner---adalah sistem kreatif, maka sistem tersebut haruslah berupa sistem terbuka, bukan sistem tertutup seperti yang ada dalam metabahasa program komputer sekarang. Proses berpikir manusia, yang mau ditiru oleh teknologi kecerdasan buatan itu, bukan cuma soal memori (data) dan prosesor saja, tetapi juga soal sistem logika untuk menentukan suatu keputusan. Sistem pengambilan keputusan dalam bahasa logika sekarang masih "primitif" dalam konteks epistemologi, karena hanya mengandalkan pada empat kriteria kebenaran yaitu: korespondensi, koherensi, pragmatisme, dan ucapan performatif (performative utterances). Keseluruhan sistem epistemologi itu masih monistik, dalam arti hanya dapat menerima satu kebenaran saja dalam satu kondisi, dan tak dapat menerima kebenaran dari kontradiksi sebagai kebenaran yang plural.
Itu baru dalam konteks berpikir, belum dalam konteks "mencipta"---seperti mencipta teori sains baru atau mencipta puisi---yang membutuhkan kreativitas. Misalnya, bagaimana algoritma pemrograman untuk model berpikir Einstein sewaktu memutuskan menggunakan temuan geometri non-euclidis dari Reimann menjadi basis dari teori relativitas umum. Oleh karenanya, hipotesis saya-bencana peradaban manusia tidak akan tercipta sebelum manusia dapat menemukan satu sistem epistemologi baru di luar sistem biner, epistemologi keserentakan, epistemologi presensionis yang memungkinkan komputer bisa berpikir kreatif---bisa mencipta puisi seindah puisi surealis "The Heights of Macchu Picchu'" karya Pablo Neruda, penyair komunis dari Chili, yang meraih penghargaan Nobel Sastra pada tahun 1971.
Kata Sir Roger Penrose dalam salah satu makalah ilmiahnya. “Kesadaran manusia ada di dalam alam semesta. Kesadaran adalah struktur ruang-waktu itu sendiri,” Siapa itu Sir Roger Penrose? Ia adalah ilmuwan fisika teoritis kelas dunia yang telah membangun teori kuantum-gravitasi (perpaduan dari teori relativitas umum dan teori mekanika kuantum) yang telah memungkin adanya hipotesis jagat-paralel. Ia bersama dengan Stephen Hawking juga telah membangun teori “black hole”. Pendek kata, ia bukanlah dari golongan para pembual pseudo-science, tetapi dari ilmuwan fisika teoritis yang terhormat dan disegani oleh kalangan intelektual fisika dunia.
Namun, apa maksud Penrose dengan pernyataan kontroversialnya itu? Roger Panrose memang tengah mengkritik sikap para ilmuwan neurosains, matematikawan dan ahli logika modern, serta para pakar komputer (khususnya para pakar artificial intellegence) yang membuat model kesadaran manusia setara alogaritma mesin-komputer ala Alan Turring. Berdasarkan prinsip “ketidaklengkapan teorema” dari Kurt Godel, maka Sir Roger Panrose menyatakan bahwa kesadaran manusia tidak ada di dalam otak manusia atau akibat dari kerja neuron semata. Kerja kesadaran manusia jauh melampaui model alogaritma mesin komputer, tetapi justru ada di dalam alam semesta itu sendiri, ada sebagai struktur ruang-waktu itu sendiri.
Selama problem P=NP dari Kurt Godel belum bisa terpecahkan, maka sebuah super komputer yang menggunakan teknologi AI tercanggih sekali pun tak bakalan mampu membuat sebait puisi surealis seperti puisi karya Pablo Neruda atau Octavio Paz atau Tomas Transtromer. Jika sebuah komputer belum mampu menciptakan sebait puisi surealis yang berkualitas, maka neurosains masih tetap sebuah “ilmu idiot” dibandingkan pikiran manusia modern. Para juru dakwah sains populer tak bakalan percaya ketika saya bilang bahwa puncak dari pikiran manusia itu bukan rumus Teori Relativitas Umum Einstein atau Teori Gelombang Schrodinger atau Teori Ketidakpastian Werner Heisenberg atau Teori Ketidaklengkapan Kurt Godel atau Teori Permainan John Nash, melainkan hanya sebuah drama karya Shakespeare atau sebuah puisi karya Octavio Paz atau sebuah lukisan karya Vincent van Gogh atau sebuah komposisi musik karya Beethoven.***
Ipon Semesta - Ketua PERSEGI
19 Oktober 2024, Jelang 50 tahun Pasar Seni Ancol
*Catatan -- 25 Diksi Estetik Yang Ada di KBBI
Merapah - Menjelajah, Mengembara
Kalpasastra - Tuntunan untuk menggapai cita-cita
Elusif - Sukar dipahami atau diartikan; sukar diidentifikasi
Menjeremba - Mengulurkan, menjulurkan (untuk mencapai sesuatu); menggapai
Dersik - Desir (bunyi angin dsb)
Kukila - Burung
Dikara - Indah, Mulia
Meloka - Melihat
Kirmizi - Merah tua atau ungu
Wanodya - Gadis Remaja
Terdayuh - Sedih
Daksa - Badan, Tubuh
Lengkai - Ramping dan tidak kaku; semampai; lampai
Aksa - Jauh
Sabitha - Bintang yg posisinya tetap di langit (dilihat dari bumi)
Adiwarna - Indah sekali; bagus sekali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H