Mohon tunggu...
Ipon Semesta
Ipon Semesta Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Seniman. Melukis dan Menulis. Mantan Jurnalis Seni dan Budaya. Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seniman Hidup-Hidup Seniman

9 Oktober 2024   15:38 Diperbarui: 9 Oktober 2024   18:28 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian jawaban saya tentang penggunaan istilah kuatrin, oktaf, chiffer, dan metrum pada tehnik guratan atau sapuan pisau palet-tehnik melukis yang Paul Hendro terapkan. Saya bertumpu kepada karya sastra Cina klasik dalam struktur sintaksisnya serupa guratan sapuan pisau palet yang sangat ritmis, sangat berirama, karena memang awalnya karya sastra Cina klasik dinyanyikan dengan diiringi alat musik (kebetulan Paul Hendro seorang musisi). Para penyair Cina klasik sangat menghitung metrum berbasis silabel (pengertian silabel dalam Cina, bukanlah suku kata tetapi kata). Misalnya, metrum tetrasilabel (yang setiap larik atau barisnya terdiri dari 4 kata). Pula, masih ada lagi bentuk metrum lainnya seperti metrum pentasilabel (setiap baris terdiri dari lima kata), metrum sektasilabel (setiap baris terdiri dari enam kata), metrum heptasilabel (setiap baris terdiri dari tujuh kata), dll. Karya sastra Cina klasik itu biasanya mengambil bentuk yang ketat dalam baitnya. Bentuk baitnya ada yang berupa kuatrin (satu bait terdiri dari 4 baris) atau oktaf (satu baris terdiri dari 8 baris). Bentuk yang populer dari karya sastra Cina klasik pada jaman dinasti Song adalah berbentuk "Ci" dan memiliki aturan yang ketat soal bait dan metrum seperti yang saya sebutkan di atas.

Karya lukis Paul Hendro yang lain, lukisan potret para perawi zaman Kalangwan setelahnya (masih menggunakan tehnik yang sama), saya melihat, ada guratan dari sapuan pisau paletnya serupa karya sastra "San-Qu" pada era dinasti Yuan. San-Qu merupakan semacam perlawanan terhadap bentuk "Ci" yang terlalu ketat dan anggun. San-Qu bergerak lebih bebas dan mengambil bentuk dari lagu-lagu rakyat. Berbentuk "Xiao Liang" baris bernada tunggal, dan "Tao-Shu" baris bersambung berdasarkan dua nada. Contoh terbaik dari puisi jenis San-Qu dengan mengambil bentuk Tao-Shu, satu larik atau baris terdiri dari dua nada (kata) yang bersambung dengan pasangan untaian nada berikutnya. Kesimpulannya adalah: setiap guratan dan sapuan pisau palet tehnik melukis Paul Hendro itu bicara tentang susunan chiffer-chiffer sebagai ambang batas. Karya-karyanya adalah komposisi puitik untuk mempertegas pesan yang ingin disampaikan melalui lukisan potret para tokoh "abad Kalangwan" yang menjadi pendalaman tematiknya.

Salah satu unsur terpenting di dalam komposisi puitik adalah soal pendalaman tematik sebuah karya seni. Ada satu konsep filsafat yang tepat terkait pendalaman tematik, yaitu dari seorang filsuf eksistensialis Jerman pada abad ke-20, Karl Jaspers, mengenai "chiffer-chiffer". Istilah ini diartikan sebagai "situasi-situasi batas" dalam eksistensi manusia. Menurut Karl Jaspers ada beberapa situasi batas yang akan membuat eksistensi manusia "retak" menuju pengalaman transendensi, di antaranya: kematian, penderitaan, perjuangan, kesalahan, kegagalan, cinta, dan keilahian.

Chiffer-chiffer ini mencipta rasa ambang dan membuka pilihan bebas manusia: menerima situasi-situasi batas itu atau menolaknya. Ketika eksistensi retak dalam situasi-situasi batas, menurut Karl Jaspers, tak selayaknya membikin manusia menyerah, namun itu justru merupakan celah bagi manusia untuk menyadari bahwa eksistensinya tidaklah identik dengan situasi rutin semata, dengan keterasingan dan kutuk kehampaan belaka. Setiap situasi batas adalah sebuah peluang bagi manusia untuk terus-menerus mentransendensikan kemanusiaannya, untuk melampaui keterbatasannya.

Dalam kaitannya dengan penciptaan karya seni, termasuk sastra dan lukisan, jika Anda memahami apa yang dimaksud dengan chiffer-chiffer atau situasi-situasi batas dalam hidup manusia, maka Anda akan memahami dengan baik tema-tema dasar apa yang akan menggugah "rasa" terdalam dari jiwa manusia. Orang tak akan tergugah membaca rasa sepi Anda yang ditulis dengan berlarat-larat. Karena kesepian dan keterasingan Anda bukanlah situasi batas bagi orang lain, bukan satu chiffer yang akan meretakkan eksistensi pembaca untuk bertransendensi, untuk "keluar" dari situasi rutinnya. Tapi, jika Anda bisa menampilkan satu atau beberapa situasi batas di dalam kisah kesepian Anda, maka pembaca kisah Anda kemungkinan besar akan tergugah. Misal: kesepian saat menghadapi hukuman mati, kesepian saat berjuang mempertahankan keadilan, kesepian yang merindukan cinta seorang kekasih, kesepian dalam bayangan keilahian. Kesepian, atau mungkin lebih kena disebut keheningan, yang tercipta dalam situasi-situasi batas itu tak lain manefestasi dari "rasa ambang". Salah satu kisah abadi yang menggunakan kekuatan dari chiffer-chiffer itu adalah "hikayat Joshua". Anda mungkin sudah membaca kisah yang akan saya terangkan lebih logis dan akan membuat Anda terhenyak dari sebelumnya. Kisah ini tak akan menjadi kisah abadi yang mampu menggugah "rasa ambang manusia" selama 2000 tahun lebih dan bisa diterima di jantung kebudayaan pelbagai bangsa, seandainya epik besar itu tidak memunculkan tema-tema dasar yang timbul dari situasi-situasi batas.

Penulis hikayat Joshua benar-benar "lihai" menggunakan kekuatan chiffer-chiffer secara total. Joshua digambarkan berjuang sendirian---chiffer berjuang yang ekstrim ini tergambarkan dalam kisah mulai dari pengembaraannya sendirian di gurun selama 40 hari tanpa makan dan minum, hingga saat ia memikul sendiri kayu salibnya ke Bukit Golgota. Ia juga digambarkan menahan siksaan yang tak terbayangkan kejinya---visualisasi chiffer penderitaan ekstrim ini dapat dilihat seperti dalam film Mel Gibson tentang "Kesabaran Kristus". Hal itu dilakukan oleh Joshua demi menebus dosa seluruh umat manusia---chiffer kesalahan yang bagaimana lagi akan mampu menandingi bila kesalahan itu melingkupi dosa seluruh umat manusia dari masa lalu hingga masa depan? Alasan Joshua melakukan semua itu karena ia begitu mencintai "seluruh" manusia---chiffer cinta milik Joshua ini begitu universal, begitu tak terbatas, hingga nyaris mustahil bagi manusia mana pun untuk menyaingi keluasan dan ketulusan cintanya. Namun, ia juga mengalami rasa kegagalan total karena bahkan ia merasa Tuhan sendiri telah meninggalkannya pada saat menjelang kematiannya---chiffer kegagalan total ini diungkapkan dengan satu kalimat yang telah begitu terkenal, "Elloi, Elloi, lama sabachtani!" (manusia modern mungkin telah biasa meninggalkan Tuhan, tapi puncak kegagalan apa lagi yang bisa dirasakan melebihi ditinggalkan oleh Tuhan sendiri?). Lalu, ia pun digambarkan mati di kayu salib dengan tubuh nyaris telanjang di antara dua penjahat yang juga disalibkan---chiffer kematian yang begitu ekstrem dalam keadaan yang mengenaskan dan hina; namun kemudian pada hari ketiga ia pun dibangkitkan kembali untuk melegitimasi keilahiannya, menjadi Tuhan yang Hidup di antara manusia (chiffer keilahian apalagi yang lebih ekstrem selain mewujudnya Tuhan yang maha gaib menjadi manusia yang hidup di alam nyata?). Dan Paulus memberikan kunci pembuka "chiffer-chiffer" dalam kisah epik terbesar itu, kisah Joshua, dengan satu kalimat: "Segalanya bermula dari kata" dan "Musik terindah adalah suara manusia"

Situasi-situasi batas dalam hikayat Joshua benar-benar ditarik oleh "sang penulis" hikayat Joshua sampai batasnya, dan itu pula yang membuat hikayat Joshua ini menggugah secara "ekstatif" guna memicu "rasa ambang" atau keharuan bermilyar manusia selama dua ribu tahun lebih.

Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengomposisikan chiffer-chiffer itu menjadi sebuah kombinasi yang padu di dalam sebuah karya seni? Di situlah rahasia dari "pendalaman-tematik". Begitu keseluruhan atau beberapa chiffer itu dikombinasikan secara "serentak" dengan piawai oleh sang pelukis, maka setiap chiffer akan membuka kian besar "rasa ambang" dalam diri manusia, membuka pelbagai pintu transendensi. Itulah "permainannya". Dan hampir semua lukisan-lukisan, kisah-kisah yang dianggap suci atau dongeng-dongeng rakyat atau mitologi atau puisi-puisi epik atau prosa-prosa klasik atau puisi-puisi modern dunia yang terus dibaca hingga saat ini telah menggunakan strategi teks dengan bertumpu pada kuasa dari chiffer-chiffer ini.

"Anda mengerti dan paham jawaban saya?"

Sampai jawaban ini selesai dirangkum kemudian saya posting, tidak ada jawaban darinya***

Ipon Semesta - Ketua Persegi (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Pasar Seni Ancol, 9 Oktober 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun