Mohon tunggu...
Ipon Semesta
Ipon Semesta Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Seniman. Melukis dan Menulis. Mantan Jurnalis Seni dan Budaya. Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seniman Hidup-Hidup Seniman

9 Oktober 2024   15:38 Diperbarui: 9 Oktober 2024   18:28 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan karya Paul Hendro /dok. pri

Seniman Hidup, Hidup Seniman

Tujuh hari lalu, di room chatting Media Sosial, seseorang yang tidak berkenan namanya saya sebut, bertanya: "Apa dasar Anda mengatakan bahwa karya lukis Paul Hendro seolah memiliki jiwa, dimana istimewanya?. Darimana Anda bisa mengatakan bahwa tehnik guratan pisau paletnya serupa ruh yang bertumpu pada kuatrin atau oktaf dari chiffer-chiffer, kombinasi pelbagai metrum. Apa itu kuatrin, oktaf, chiffer, dan metrum-metrum? Bisa Anda jelaskan lebih rinci agar Anda pun tidak dikira telah melakukan "framing" argumentum ad-Hominem yang mengabaikan prinsip-prinsip logis atau etis. Ulasan Anda sangat tendensius. Saya dan publik yang rasional, yang sadar informasi akan menuntut bukti atas sebuah tulisan yang tidak jelas informasinya."

"Baik, Saya akan urai dan terang jelaskan. Semoga Anda mengerti dan dapat memahaminya, tetapi beri saya waktu, ijinkan saya pergi ke toilet dahulu. Saya akan merangkum jawaban atas pernyataan yang pernah saya lontarkan. Tetapi, bersediakah nama Anda saya sebut sebagai penanya?"

"Tidak perlu! Saya tidak bersedia. Anda jawab saja"

"Kalau begitu, saya anggap Anda sosok misterius dan saya sedang bicara dengan seseorang yang memiliki identitas fiktif."

Alasan saya mengulas karya seni Paul Hendro-yang menurut Anda mewah itu adalah sebuah pengakuan jujur yang tak terungkap dari diri Anda yang lain, tetapi untuk mengakuinya, Anda tidak cukup pengetahuan. Karya seni Paul Hendro terbukti istimewa. Kenapa saya bisa mengatakan begitu? Jika Anda kompeten, Anda bisa mengujinya melalui saya. Dan saya tidak butuh legitimasi dari siapapun untuk diuji. Kemudian, mengapa saya mereviewnya? Begini... Saya tak mau lagi menulis "berita"--semacam wahana atau bahkan mungkin satu-satunya wahana yang saat ini diterima oleh publik awam sebagai cara untuk mendiseminasi informasi--karena saat ini berita lebih banyak berfungsi sebagai wahana penyampai informasi, alih-alih "membuktikan" informasi. Era informasi, bagi saya, sudah mati.

Saya tegaskan; Paul Hendro terbilang seniman yang "hidup".Ia mencipta karya seni untuk memekarkan cahaya di dalam jiwanya. Ia mau membuka diri, moga cahaya dalam jiwanya pun ikut mekar. Tapi, bila menutup diri, berarti itu pun pilihannya. Sebuah karya seni seperti bibit cahaya, ia akan tumbuh dan memekarkan bunganya yang harum dan indah di lahan yang lembab, bukan gersang.

Anda atau siapa pun, bahkan saya sekalipun, bisa membuat mitos hiperbolik tentang sosok seniman, tapi tak mungkin melakukannya terhadap karya seni yang benar-benar brilian, sebab karya seni itu sudah cukup membuktikan keindahannya. Anda bisa memfitnah seniman, tetapi Anda tak mungkin memfitnah sebuah karya seni.

Secara teknik, seseorang ahli seni atau seseorang yang didapuk mumpuni di bidang seni bisa mencetak seniman. Tapi, ahli seni itu tak bisa mencetak Jiwa Seniman. Percayalah, tak ada metode singkat untuk mencetaknya. Jiwa seniman mesti dilahirkan, bukan dicetak. Begini adalah fakta yang tak terbantahkan: Segala yang tak berjiwa, hanyalah bangkai.

Pengetahuan hanya sebatas kata-kata, sebatas pikiran. Ia, pikiran itu, tak mampu mengubah apa pun. Hakikat kreativitas melampaui pikiran, mengatasi kata-kata. Sebuah resep gastronomi terhebat, hanyalah sekumpulan kata-kata tentang cara mencipta makanan terlezat. Begitu jelas tak ada gunanya bila Anda tak mampu menurunkan resep itu ke dalam hatimu, pula ke dalam pancimu. Seperti sepotong kebijaksanaan lama: "Zen melampaui setiap kata." Anda harus terlebih dahulu menemukan Zen di dalam hatimu.

Menurut Anda, saya telah melakukan framing? Jawaban saya ini yang akan membuat Anda pintar. Camkan!: "Framing" adalah teori konspirasi atau salah satu teknik dari "advokasi hitam". Teknik ini ditandai oleh ketidakjelasan informasi (misalnya dengan mengabaikan prinsip 5 W + 1 H, yaitu What, When, Where, Who, Why + How) serta mengabaikan prinsip-prinsip logis atau etis, namun sangat tendensius. Sebuah tulisan tendensius yang mengangkat isu-isu sensitif bagi publik seperti agama, seks, etnis, politik, atau intelektualitas bisa menjadi "bahan baku" bagi "framing". Ya, betul seperti tuntutan Anda bahwa publik yang rasional dan sadar informasi akan menuntut bukti atas sebuah tulisan yang tidak jelas informasinya, tendensius.Tetapi jika Anda berpikir tak dapat menyangkal dan tak sanggup menyerang argumen orang yang Anda anggap telah melakukan konspirasi menggunakan teori framing, maka seranglah saja orang yang beragumen. Ini namanya sesat pikir jenis ad-hominem. Ada 14 kategori "argumentum ad-Hominem" sebagai sesat pikir (logical fallacy) yang perlu Anda tahu. 1. Fallacy of Dramatic Instance, 2. Argumentum ad Hominem Tipe I (Abuse), 3. Argumentum ad Hominem Tipe II (Sirkumstansial), 4. Argumentum Auctoritatis, 5. Kesesatan Non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo Propter Hoc), 6. Argumentum ad Baculum, 7. Argumentum ad Misericordiam, 8. Argumentum ad Ignorantiam, 9. Argumentum ad Populum, 10. Appeal To Emotion, 11. lgnoratio Elenchi, 12. Kesesatan Aksidensi, 13. Kesesatan karena Komposisi dan Divisi, 14. Petitio Principii.

Dan tentu saja, di artikel yang berbeda saya akan uraijabar dan gelar gamblangkan semua dengan contoh, kasus, sekaligus pembuktiannya. Kalau saya tuliskan semua disini tentu akan serupa makalah ilmiah yang sangat panjang dan membuat Anda atau pembaca lain bosan membaca dan ogah untuk menelaah.

Di tulisan ini saya hanya akan memberi jawaban sesuai pertanyaan Anda. Kembali ke soal dugaan Anda bahwa saya pun telah melakukan framing menggunakan argumentum ad-Hominem sebagai sesat pikir (logical fallacy) . Perlu Anda pahami dulu bahwa argumentum ad-Hominem adalah jurus andalan dari para politisi busuk atau provokator atau agitator massa. Menyerang argumen memang lebih beresiko, karena argumen bisa dibuktikan salah dan benar. Kalau benar, maka akan terbukti cerdas. Kalau salah, maka akan terbukti bodoh. Nah!, peluang untuk terbukti bodoh itu sama besarnya dengan terbukti cerdas, serta akan semakin besar kalau tahu bahwa Anda memang bodoh. Dan tak semua orang mau terbukti sebagai orang bodoh lalu belajar lagi sungguh-sungguh. Maka, sesat pikir ad-hominem pun menjadi solusi ilusifnya agar seolah terlihat cerdas. Menyerang pribadi orang yang beragumen itu memang mudah. Persoalannya sekarang: Bagaimana Anda membuktikan tuduhan Anda itu? Jika Anda tak bisa membuktikannya, lalu bagaimana Anda bisa yakin tuduhan Anda itu benar? Jika tuduhan Anda tidak benar, berarti Anda telah memfitnah atau membuat framing negatif terhadap pribadi seseorang tanpa bukti. Untuk menyatakan seseorang bersalah atau tidak bersalah dalam satu kasus hukum, perlu pembuktian yang sangat panjang di dalam pengadilan, dan sama sekali tak segampang melontarkan ad-hominem. Sekarang kita mau bangsa kita cerdas atau bangsa pewaris sistem feodal-orang lain cukup menjadi "koeli?"

Menuntut orang lain, rendah hati adalah salah satu keangkuhan terselubung. Jika Anda memang rendah hati, maka jangan tuntut siapa pun untuk melakukan sesuai kemauanmu atau hanya kepadamu, tetapi tundukkan saja dan--bila perlu--penggallah sendiri kepalamu yang penuh muslihat egoistik itu. Negeri ini sudah lama diselimuti tuntutan rendah hati atau kesantunan palsu model begitu, semacam politik etis para "menir", agar Anda terus merangkak-rangkak sebagai "koeli" di hadapannya

Anda seolah menuntut dan memaksa orang lain agar "rendah diri" jika ada orang lain terbang, Anda segera menuntut orang lain itu merangkak-rangkak di tanah, sebab terbang dianggapnya sebagai bentuk keangkuhan (padahal maksudnya jangan terbang melebihi dirinya). Jika seseorang berjalan di tanah, maka ia akan mengejek orang yang berjalan di tanah itu agar segera terbang ke langit, tanpa memberi tahu bagaimana caranya terbang. Itulah mental feodal--termasuk bila sosok itu memiliki gelar akademis tertinggi--yang tak pernah bisa menatap sebiji benih angsana bertumbuh menjadi sebatang pohon menjulang.

Mental feodalistik macam begitu tak lain satu bentuk kemunafikan karena selalu menuntut yang lain agar "rendah hati", padahal maksud sebenarnya hanyalah agar yang lain itu selalu rendah diri di hadapannya. Rendah hati palsu semacam itu telah membuktikan hasilnya di sini: penjajahan selama berabad-abad. Kolonialisme dan feodalisme selalu bisa akrab, karena memang memiliki watak yang sama: budak! Kenapa? Karena hanya orang yang memiliki mental budaklah yang akan mampu memperbudak yang lain.

Melakoni solitude itu gampang diserukan. Tapi, uji sesungguhnya ada dalam laku, bukan dalam khotbah. Lao Tze berkata, "Tao bukan menambah, tapi mengurangi." Itu sama dengan aforisma sufi: "Matilah sebelum mati." Tiba mati tak membawa apa-apa, hanya sendiri, sepenuhnya sendiri. Saat terjaga, tak melihat segala yang ada dalam mimpi, namun kini bunga-bunga rumput itu nampak bermekaran di depan mata.

Di era Media Sosial seperti sekarang, di mana orang bisa menulis apa pun dan dengan gampang mengelak dari tanggung jawab, maka "framing" bisa merajalela lewat media sosial atau bahkan media massa. Karena itu, pers yang baik akan selalu berpatokan pada kode etik jurnalistik dan seorang penulis yang baik akan berpegang pada prinsip-prinsip etis di dalam penerapan ilmu pengetahuan atau informasi.

Kecenderungan sebuah tulisan yang menggunakan teknik "framing" bisa menggunakan gaya agitasi, gaya sesat pikir "misericordiam" (minta dikasihani), atau juga gaya yang sepintas terlihat rasional, tetapi ketika diuji biasanya tulisan "framing" akan terlihat kebohongannya (misalnya bisa dengan cepat melihat apatah tulisan tersebut memenuhi prinsip 5 W + 1 H serta prinsip-prinsip umum logika). Pengujian sebuah "tulisan framing" juga dapat dilakukan dengan memaksa penulis "framing" tersebut menunjukan bukti (fakta), koherensi teoritik, maupun silogisme (baik kategoris maupun hipotetis).Kebebasan berbicara harus pula diiringi dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pembicaraan di muka publik. Jika ada seorang yang membuat tulisan "framing", maka seperti yang seseorang lakukan di Grup Whatsaap privat, segera tuntut dan paksa dia untuk membeberkan bukti serta logika dalam tulisan "framing"-nya itu ke muka publik. Desak ia untuk bertanggung jawab ke muka publik, sebab ia sendiri telah melontarkan tulisan "framing"-nya ke muka publik. Jika ia menghindar dan membuat tulisan "framing" lainnya, maka patut diduga kuat bahwa ia memang telah membuat "framing" untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Begitu pula halnya dengan seni bertarung zaman para pendekar. Anda tahu atau pendengar setia sandiwara radio Tutur Tinular? Dalam lakon itu ada sosok pendekar bernama Arya Dwipangga atau Pendekar Syair Berdarah. Sosok pendekar pilih tanding itu menyimpan dendam abadi tetapi dibalik itu ia bukan lelaki konyol dan bodoh yang nekat menantang secara serampangan bertarung ahli beladiri lainnya hanya menggunakan syair-syair berdarahnya. Arya Dwipangga berguru dan berlatih sepanjang hidupnya, ia menjadikannya sebagai "Jalan Hidup" sebagai Pendekar Syair Berdarah. Pendekar Syair Berdarah akan mudah tertipu oleh egonya sendiri jika berpikir bisa dengan mudah mengalahkan para pendekar sakti lainnya tanpa belajar teori bertarung menggunakan jurus-jurus andalan, dan kelihaiannya mengayunkan pedang kembar dan mental jagoannya dengan benar selama bertahun-tahun. Di dalam pertarungan yang nyata nyawa pendekar syair berdarah tidak bisa diselamatkan hanya dengan menggembungkan syair-syair dan ego bodohnya. Begitu pula halnya dalam mencipta karya seni.

"Ilmu kanuragan adalah soal jiwa. Pelajari jiwa sebelum mempelajari jurus-jurusnya. Pikiran jahat, membentuk karakter pendekar berwatak jahat" perkataan Mpu Ranubaya pencipta Pedang Naga Puspa kepada bisa sedikit saya modifikasi, kata 'pedang' bisa diganti 'seni': "Seni adalah soal jiwa. Pelajari jiwa sebelum mempelajari seni. Pikiran dari pribadi buruk, seni pun buruk".

Kemudian jawaban saya tentang penggunaan istilah kuatrin, oktaf, chiffer, dan metrum pada tehnik guratan atau sapuan pisau palet-tehnik melukis yang Paul Hendro terapkan. Saya bertumpu kepada karya sastra Cina klasik dalam struktur sintaksisnya serupa guratan sapuan pisau palet yang sangat ritmis, sangat berirama, karena memang awalnya karya sastra Cina klasik dinyanyikan dengan diiringi alat musik (kebetulan Paul Hendro seorang musisi). Para penyair Cina klasik sangat menghitung metrum berbasis silabel (pengertian silabel dalam Cina, bukanlah suku kata tetapi kata). Misalnya, metrum tetrasilabel (yang setiap larik atau barisnya terdiri dari 4 kata). Pula, masih ada lagi bentuk metrum lainnya seperti metrum pentasilabel (setiap baris terdiri dari lima kata), metrum sektasilabel (setiap baris terdiri dari enam kata), metrum heptasilabel (setiap baris terdiri dari tujuh kata), dll. Karya sastra Cina klasik itu biasanya mengambil bentuk yang ketat dalam baitnya. Bentuk baitnya ada yang berupa kuatrin (satu bait terdiri dari 4 baris) atau oktaf (satu baris terdiri dari 8 baris). Bentuk yang populer dari karya sastra Cina klasik pada jaman dinasti Song adalah berbentuk "Ci" dan memiliki aturan yang ketat soal bait dan metrum seperti yang saya sebutkan di atas.

Karya lukis Paul Hendro yang lain, lukisan potret para perawi zaman Kalangwan setelahnya (masih menggunakan tehnik yang sama), saya melihat, ada guratan dari sapuan pisau paletnya serupa karya sastra "San-Qu" pada era dinasti Yuan. San-Qu merupakan semacam perlawanan terhadap bentuk "Ci" yang terlalu ketat dan anggun. San-Qu bergerak lebih bebas dan mengambil bentuk dari lagu-lagu rakyat. Berbentuk "Xiao Liang" baris bernada tunggal, dan "Tao-Shu" baris bersambung berdasarkan dua nada. Contoh terbaik dari puisi jenis San-Qu dengan mengambil bentuk Tao-Shu, satu larik atau baris terdiri dari dua nada (kata) yang bersambung dengan pasangan untaian nada berikutnya. Kesimpulannya adalah: setiap guratan dan sapuan pisau palet tehnik melukis Paul Hendro itu bicara tentang susunan chiffer-chiffer sebagai ambang batas. Karya-karyanya adalah komposisi puitik untuk mempertegas pesan yang ingin disampaikan melalui lukisan potret para tokoh "abad Kalangwan" yang menjadi pendalaman tematiknya.

Salah satu unsur terpenting di dalam komposisi puitik adalah soal pendalaman tematik sebuah karya seni. Ada satu konsep filsafat yang tepat terkait pendalaman tematik, yaitu dari seorang filsuf eksistensialis Jerman pada abad ke-20, Karl Jaspers, mengenai "chiffer-chiffer". Istilah ini diartikan sebagai "situasi-situasi batas" dalam eksistensi manusia. Menurut Karl Jaspers ada beberapa situasi batas yang akan membuat eksistensi manusia "retak" menuju pengalaman transendensi, di antaranya: kematian, penderitaan, perjuangan, kesalahan, kegagalan, cinta, dan keilahian.

Chiffer-chiffer ini mencipta rasa ambang dan membuka pilihan bebas manusia: menerima situasi-situasi batas itu atau menolaknya. Ketika eksistensi retak dalam situasi-situasi batas, menurut Karl Jaspers, tak selayaknya membikin manusia menyerah, namun itu justru merupakan celah bagi manusia untuk menyadari bahwa eksistensinya tidaklah identik dengan situasi rutin semata, dengan keterasingan dan kutuk kehampaan belaka. Setiap situasi batas adalah sebuah peluang bagi manusia untuk terus-menerus mentransendensikan kemanusiaannya, untuk melampaui keterbatasannya.

Dalam kaitannya dengan penciptaan karya seni, termasuk sastra dan lukisan, jika Anda memahami apa yang dimaksud dengan chiffer-chiffer atau situasi-situasi batas dalam hidup manusia, maka Anda akan memahami dengan baik tema-tema dasar apa yang akan menggugah "rasa" terdalam dari jiwa manusia. Orang tak akan tergugah membaca rasa sepi Anda yang ditulis dengan berlarat-larat. Karena kesepian dan keterasingan Anda bukanlah situasi batas bagi orang lain, bukan satu chiffer yang akan meretakkan eksistensi pembaca untuk bertransendensi, untuk "keluar" dari situasi rutinnya. Tapi, jika Anda bisa menampilkan satu atau beberapa situasi batas di dalam kisah kesepian Anda, maka pembaca kisah Anda kemungkinan besar akan tergugah. Misal: kesepian saat menghadapi hukuman mati, kesepian saat berjuang mempertahankan keadilan, kesepian yang merindukan cinta seorang kekasih, kesepian dalam bayangan keilahian. Kesepian, atau mungkin lebih kena disebut keheningan, yang tercipta dalam situasi-situasi batas itu tak lain manefestasi dari "rasa ambang". Salah satu kisah abadi yang menggunakan kekuatan dari chiffer-chiffer itu adalah "hikayat Joshua". Anda mungkin sudah membaca kisah yang akan saya terangkan lebih logis dan akan membuat Anda terhenyak dari sebelumnya. Kisah ini tak akan menjadi kisah abadi yang mampu menggugah "rasa ambang manusia" selama 2000 tahun lebih dan bisa diterima di jantung kebudayaan pelbagai bangsa, seandainya epik besar itu tidak memunculkan tema-tema dasar yang timbul dari situasi-situasi batas.

Penulis hikayat Joshua benar-benar "lihai" menggunakan kekuatan chiffer-chiffer secara total. Joshua digambarkan berjuang sendirian---chiffer berjuang yang ekstrim ini tergambarkan dalam kisah mulai dari pengembaraannya sendirian di gurun selama 40 hari tanpa makan dan minum, hingga saat ia memikul sendiri kayu salibnya ke Bukit Golgota. Ia juga digambarkan menahan siksaan yang tak terbayangkan kejinya---visualisasi chiffer penderitaan ekstrim ini dapat dilihat seperti dalam film Mel Gibson tentang "Kesabaran Kristus". Hal itu dilakukan oleh Joshua demi menebus dosa seluruh umat manusia---chiffer kesalahan yang bagaimana lagi akan mampu menandingi bila kesalahan itu melingkupi dosa seluruh umat manusia dari masa lalu hingga masa depan? Alasan Joshua melakukan semua itu karena ia begitu mencintai "seluruh" manusia---chiffer cinta milik Joshua ini begitu universal, begitu tak terbatas, hingga nyaris mustahil bagi manusia mana pun untuk menyaingi keluasan dan ketulusan cintanya. Namun, ia juga mengalami rasa kegagalan total karena bahkan ia merasa Tuhan sendiri telah meninggalkannya pada saat menjelang kematiannya---chiffer kegagalan total ini diungkapkan dengan satu kalimat yang telah begitu terkenal, "Elloi, Elloi, lama sabachtani!" (manusia modern mungkin telah biasa meninggalkan Tuhan, tapi puncak kegagalan apa lagi yang bisa dirasakan melebihi ditinggalkan oleh Tuhan sendiri?). Lalu, ia pun digambarkan mati di kayu salib dengan tubuh nyaris telanjang di antara dua penjahat yang juga disalibkan---chiffer kematian yang begitu ekstrem dalam keadaan yang mengenaskan dan hina; namun kemudian pada hari ketiga ia pun dibangkitkan kembali untuk melegitimasi keilahiannya, menjadi Tuhan yang Hidup di antara manusia (chiffer keilahian apalagi yang lebih ekstrem selain mewujudnya Tuhan yang maha gaib menjadi manusia yang hidup di alam nyata?). Dan Paulus memberikan kunci pembuka "chiffer-chiffer" dalam kisah epik terbesar itu, kisah Joshua, dengan satu kalimat: "Segalanya bermula dari kata" dan "Musik terindah adalah suara manusia"

Situasi-situasi batas dalam hikayat Joshua benar-benar ditarik oleh "sang penulis" hikayat Joshua sampai batasnya, dan itu pula yang membuat hikayat Joshua ini menggugah secara "ekstatif" guna memicu "rasa ambang" atau keharuan bermilyar manusia selama dua ribu tahun lebih.

Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengomposisikan chiffer-chiffer itu menjadi sebuah kombinasi yang padu di dalam sebuah karya seni? Di situlah rahasia dari "pendalaman-tematik". Begitu keseluruhan atau beberapa chiffer itu dikombinasikan secara "serentak" dengan piawai oleh sang pelukis, maka setiap chiffer akan membuka kian besar "rasa ambang" dalam diri manusia, membuka pelbagai pintu transendensi. Itulah "permainannya". Dan hampir semua lukisan-lukisan, kisah-kisah yang dianggap suci atau dongeng-dongeng rakyat atau mitologi atau puisi-puisi epik atau prosa-prosa klasik atau puisi-puisi modern dunia yang terus dibaca hingga saat ini telah menggunakan strategi teks dengan bertumpu pada kuasa dari chiffer-chiffer ini.

"Anda mengerti dan paham jawaban saya?"

Sampai jawaban ini selesai dirangkum kemudian saya posting, tidak ada jawaban darinya***

Ipon Semesta - Ketua Persegi (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Pasar Seni Ancol, 9 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun