Hari itu juga, Minggu sore, Art Fair selesai, kami kembali ke Jakarta, 'ngantor' lagi. Seperti biasa, setiap hari Kamis siang ada rapat Staff Inti, dimana Pak Sutisna dan Pak Suluh Darmadji juga hadir. Dan pada rapat Kamis yang kesekian kalinya itulah ide untuk mengadakan Art Fair di Ancol dilontarkan ke forum. Setelah melalui diskusi dan dialog-dialog cukup seru, ide itupun akhimya disetujui oleh Direksi Proyek Ancol.
Begitu keluar dari ruang rapat, Pak Suluh segera menghampiri saya, sembari menepuk bahu saya dan berpesan "Dik Ifin, usulnya disetujui Direksi. Sekarang tolong segera disusun nama-nama seniman dan sanggar- sanggar yang perlu kita undang. Kalau sudah siap, berikan secapatnya kepada saya".
Seleksi Undangan Seniman.
Nah, sepulang kerja sore harinya, dengan semangat yang menggelora langsung tugas tersebut saya kerjakan di rumah pondokan di Kayumanis. Mulailah "seleksi seniman" yang pertama kali untuk Art Fair di Ancol. Kebetulan sekali di samping rumah, tinggal seorang penulis seni rupa terkenal, Bambang Bujono (sekarang redaktur pelaksana Kompartemen Majalah Tempo) dan pelukis Sukamto yang aktif di Taman Ismail Marzuki,
Dari Bambang Bujono, saya mendapatkan banyak masukan, terutama mengenai seniman-seniman muda Indonesia yang pantas dan perlu dihubungi segera. Antara lain dia usulkan seni rupawan Handogo yang cekatan, kreatif dan luas wawasannya, serta beberapa seniman dari kota-kota di Indonesia, seniman dari sanggar-sanggar dan saya coba untuk menggapai semua wilayah di Indonesia, terutama kota yang terdapat pendidikan seni rupa secara resmi, seperti Sekolah, Akademi, Intitut, Sekolah Tinggi. Sekaligus mencoba menembus semua "mazab" seni rupa di Indonesia..
Setelah segalanya siap, maka melayanglah undangan dan formulir pendaftaran kepada para seniman, kampus seni rupa dan sanggar-sanggar yang ada di dalam kota Jakarta, Bandung, Yogya, Solo, Surabaya, Malang, Denpasar. Dan hasilnya?
Penataan yang apik dan asri di kios milik seorang seniman
Beberapa orang seniman spontan setuju ikut beberapa masih "menunggu" perkembangan dan beberapa menolak, meski tidak secara langsung. Ternyata yang banyak menyetujui gagasan ini dari Yogya, kedua Jakata, ketiga Bandung. Saya punya target atau impian, peserta -peserta Art Fair di Ancol ini seharusnya orisinil dalam menciptakan karya-karyanya, baik seni murni maupun seni terapan atau disain. Dan sebisa mungkin menghindari masuknya "Art Shop" ikut bercokol di dalamnya. Itulah sebabnya, tak satupun Art Shop yang saya tulis dalam susunan nama-nama yang diundang mengikuti Art Fair pertama di Ancol. Kalaupun sekarang ada pengusaha-pengusaha seni atau kerajinan yang ikut hadir dan bercokol, tentu karena pertimbangan khusus lainnya dari pihak pengelola. Seperti masyarakat Jakarta dan kota-kota lain mengetahui, nama Art Fair kemudian dirubah dan menjadi Bazar Seni Rupa. pada saat terlahir pertama kali.
Dari Bazar Seni Rupa ke Pasar Seni.
Di Taman Lumba-lumba, tepi danau Ancol, pada tgl 28 Februari 1975 "Bazar Seni Rupa" pertama diadakan tepat pada waktu bulan sedang purnama penuh, selama tiga hari tiga malam. Dimana beberapa bulan kemudian bazar diperpanjang jadi seminggu, lalu sepuluh hari, sampai sebulan penuh. Dan kemudian setiap hari seperi Sekarang ini. Karena Bazar Seni Rupa berganti nama menjadi Pasar Seni pada bulan Juli 1977, lokasi Psar Seni Ancol dijadikan permanen, diawali dengan peletakan batu pertama oleh, Gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pelaksana serta perencana Proyek Pasar Seni Ancol, tersebut dikerjakan sendiri, oleh Departemen Teknik Proyek Ancol, dengan fasilitas 114 buah kios, sebuah teater terbuka (teater arena) beberapa toilet, beberapa telepon umum, pelataran parkir.