"Konsep baru memang perlu semangat, yang luntur dan tidak bisa lagi diandalkan, sebaiknya ditinggalkan" demikian kata Jim Supangkat, dalam tulisannya untuk menyambut 17 tahun Pasar Seni Ancol, 28 Pebruari 1992.
Setelah mengamati dan merisak data dokumen pendahulu Pasar Seni Ancol, saya mulai berpikir tentang tujuan dasar hidup. Dan yang saya tahu, satu-satunya tujuan hidup adalah mewariskan apa yang telah dipelajari. Tak ada tujuan lebih tinggi. Begitu pula tujuan hidup berkesenian. Jadi yang harus dilakukan dengan seluruh pengetahuan itu? Wariskanlah. Sama seperti para maestro terdahulu yang lebih dulu melewati waktu.Â
Dan inilah bagian penting dari refleksi filosofis jelang 50 tahun Pasar Seni Ancol 2025. Adakah kesimpulan yang lebih baik bahwa manusia lebih tertarik dengan memiliki daripada menjadi?
Demikian pengantar kata dari saya. Selamat membaca.
Ipon Semesta - Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)
--------------------------------
PASAR SENI PERLU KONSEP BARU
Oleh: Jim Supangkat
Tradisi "art fair," sebuah kegiatan universal. Entah siapa yang mengawalinya, kegiatan ini diselenggarakan dimana-mana. Di sini seniman membuka bazaar seni rupa, biasanya di lapangan terbuka (open air) untuk memudahkan masyarakat bertemu dengan seniman dan mengamati karya-karya.
Namun ketika tradisi itu diadaptasi di Indonesia pertama kali di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung di tahun 1973 konsep art fair mendapat penafsiran setempat. Bukan hanya sebuah bazaar seni rupa, tapi gerakan seniman turun ke jalan.
Art Fair ITB 1973 berlangsung di tepi jalan di mana seniman, seperti pedagang asongan, menggelar karyanya di pedestrian. Pemilihan lokasi ini bukan tanpa sebab. Gagasan ini didasari keinginan mempertemukan seniman berkaliber, seniman pinggir jalan, pelukis komersial, desainer dan perajin. Dan inilah yang terjadi pada Art Fair 1973 itu.
Ada semangat, ketika itu, untuk tidak membedakan kegiatan-kegiatan seni rupa yang mempunyai tujuan berbeda-beda antara yang mencari nilai dan yang komersial, antara yang bersifat rancangan dan yang mengutamakan keterampilan. Konsep seni rupa di baliknya: tidak membuat pembedaan seni murni, desain dan kerajinan.
Konsep dan semangat art fair itu yang pada Art Fair ITB 1974 dikukuhkan dengan nama "Pasar Seni" di- pertahankan pada hampir semua penyelenggaraan pasar seni di Indonesia. Di Pasar Seni Ancol konsep dan semangat ini berkembang menjadi tradisi, yang sampai kini sudah berlangsung selama 17 tahun.
Tentu terdapat berbagai perkembangan pada Pasar Seni Ancol berupa kemajuan atau di sebaliknya tantangan. Namun lepas dari apa yang sudah dicapai, sudah waktunya Pasar Seni Ancol meninjau kembali perjalanannya. Melakukan perubahan-perubahan. Bukan perubahan organisasi, manajemen, atraksi, pemasaran atau kegiatan, tapi perubahan yang lebih mendasar. Kalau perlu dengan mengubah tradisi lama, dan membangun arah baru. Semangat dan konsep Pasar Seni 1973 ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan keadaan, zaman, dan perkembangan seni rupa masa kini.
Kenyataan yang menuntut perubahan itu ialah, tidak semua seniman yang dulunya ikut mendukung semangat pasar seni, secara konsisten memegang semangat ini. Setelah Pasar Seni menjadi kegiatan tetap, kecenderungan untuk membuat pembedaan-pembedaan muncul kembali. Harus diakui, kegiatan yang berlangsung secara kontinyu, tak bisa dihindari muncul mengundang pengamatan, kritik dan analisa. Adalah kenyataan Pasar Seni Ancol, sejak menjadi kegiatan tetap, harus menghadapi penilaian yang sangat kritis. Karya-karya di sini, oleh sejumlah kritikus dan seniman, dianggap tidak lagi mencari nilai. Dikategorikan sebagai tidak sederajat dengan karya-karya yag dipamerkan di galeri, atau di pusat-pusat kesenian. Pasar seni, seperti dilemparkan kembali ke pinggir jalan, dan ditinggalkan.
Harus diakui, semangat Pasar Seni 1973, adalah sebuah konsepsi yang idealistis. Prinsip ini cuma bisa diterapkan pada kegiatan berkala, bukan kegiatan tetap. Dalam kegiatan berkala, kecenderungan menyatukan semua seniman, mencampurkan semua cabang seni rupa, bisa dianggap sebagai usaha membangun saling pengaruh, atau untuk melakukan perbandingan di antara cabang- cabang seni rupa. Namun bila konsepsi ini diterapkan ke sebuah kegiatan tetap, jadinya akan rumit dan mengundang dilema. Kritik-kritik negatif hanya salah satu indikatornya. Maka sebenarnya sudah sejak awal Pasar Seni Ancol memerlukan konsepsi baru. Semangat, yang ternyata meluntur dan tidak bisa lagi diandalkan, seharusnya ditinggalkan. Namun, lebih baik terlambat dari pada tidak samasekali. Dan kini, usia 17 adalah umur yang baik untuk melakukan perubahan, yang selalu bisa diartikan, upaya mencari perkembangan. Dalam arti sempit perubahan, yang selalu bisa diartikan upaya mencari perkembangan. Dalam arti sempit perubahan itu bisa dikatagorikan mencari peluang dari segi bisnisnya. Dalam mencari peluang baru, pengkajian masalah seni rupa, tidak bisa diabaikan. Khususnya dalam mencari kekhasan untuk menghadapi kompetisi.
Setelah berkembang selama 17 tahun, beberapa ciri khas sudah terlihat di Pasar Seni Ancol. Tiga aspek bisa dicatat berkembang secara bersamaan. Pertama, ada usaha mempertahankan kesenimanan, yang barangkali didasari semangat Pasar Seni 1973. Kedua, sebagai seniman profesional yang hidup dari menjual karya, ada keharusan untuk memperhatikan selera masyarakat. Aspek ketiga, berkembang upaya membuat produk kria, yang tidak terlalu dibebani citra kesenimanan.
Ketiga aspek perkembangan itu bisa dipersatukan, tanpa keharusan mengorbankan salah satunya. Dasar untuk menyatukannya adalah konsep "kria". Citra kria yang paling populer pada masyarakat kita ialah kerajinan tradisional. Citra ini sangat sempit. Dalam perkembangan seni rupa, kegiatan kria yang kini sedang bangkit kembali telah mengalami berbagai perubahan. Bassel Art Fair, sebuah pameran kria di Swiss, kini sudah mulai menyaingi berbagai bienalle internasional.
Kria masa kini sudah berbeda dengan kerajinan tradisional. Secara mendasar, kria tidak lagi dibuat untuk kebutuhan sehari-hari yang telah diambil alih produk indusri. Produk kria, di masa kini telah berkembang menjadi barang koleksi yang diperlakukan seperti karya seni (kontemporer).
Namun kria tentu berbeda dengan karya seni ekspresi Karya seni kontemporer percaya pada prinsip estetik yang Individual sementara kria (di mana pun) mengacu pada kaidah-kaidah keindahan yang umum. Karena itu kria selalu menampilkan keindahan yang mudah dicerna masyarakat mena mingga kini, juga tetap memperlihatkan tingkat keterampilan tinggi. Sangat berbeda dengan ekspresi seni yang di masa kini percaya pada ekspresi yang tidak indah dan tidak terampil (clumpsy).Semua kecenderungan kria itu ada di Pasar Seni Ancol
Dengan konsep kria, upaya memperhatikan selera masyarakat, tak usah diartikan mengorbankan nilai seni Ini faham mendasar pada kria. Keterampilan, dan keanekaragaman juga terlihat dengan nyata. Maka konsep kria bisa dijadikan dasar untuk mengubah konsepsi pasar seni yang lama.
Namun masih ada sebuah lagi aspek yang harus dipertimbangkan di Pasar Seni Ancol masih banyak seniman yang percaya pada pengungkapan ekspresi seni Karya yang terbanyak masih lukisan seni lukis di Indonesia mencerminkan tradisi berekspresi. Mungkinkan kecenderungan ini digabungkan ke prinsip kria ? Jawabannya sangat mungkin.
Formulasi terakhir dari penggabungan semua aspek adalah ini: "kria seni." Catatan untuk pengamat seni rupa asing, terjemahan kria seni adalah art craft. Dasar kepercayaan konsepsi ini adalah, imajinasi artistik bisa menghasilkan ekspresi. Dan seni rupa tradisional kita adalah sebuah contoh di mana imajinasi artistik mampu melahirkan dunia perlambangan (simbolisme) yang sangat kaya. Maka keindahan yang umum, yang sama dengan selera masyarakat, bukannya tidak mungkin menampilkan ekspresi dan nilai seni. Contohnya, cukup banyak di Pasar Seni Ancol.
Kesimpulan analisa di atas jelas mengapa Pasar Seni Ancol tidak mengambil "kria seni" sebagai kekhasan, Para seniman yang sudah memang bergelut di lingkaran ini bisa memprakarsai gerakan Kria Seni dan mempromosikannya ke lingkaran seni rupa Indonesia. Menyelenggarakan pameran tetap, diskusi secara tetap. Menjadikan kria seni kekhasan, dan siapa tahu Pasar Seni Ancol bisa menjadi pusat kria seni.
* Jim Supangkat adalah penyelenggara
Art Fair ITB 1973 dan 1974, yang menyusun konsep kedua art fair ini, dan di tahun 1974 mempenalkan istilah "pasar seni".
Sumber: Majalah PESONA IMPIAN Maret 1992.
----------------------------------
Ada yang menarik, ketika saya sempat berbincang di Eco Park, sekitaran Pasar Seni Ancol dengan Mr. Machroni-pengamat seniman Pasar Seni Ancol. Seperti biasa dengan riang beliau nerocos: "Dulu, zaman nabi mah, kaum Quraisy membayar karya pelukis menggunakan standar timbangan dan alat tukar yang sah. 1 karya pelukis tanpa bingkai dan all size ditukar dengan 100 dinar. Satu dinar saat itu sama dengan satu mitsqal setara dengan 6000 habbah khardal (biji sawi). Sedangkan satu mitsqal adalah 4,25 gram emas. Atau sekira Rp. 400.000 (kurleb). Bandingkan dengan pelukis-pelukis cepat saji kekinian yang karyanya sering dibeli/pesan. Satu karya plus spanram dan pigura atau sebuah karya arang/pensil/pastel/lonte dlsb diatas kertas-mulai dari 500,000-5,000,000 sampai tak berharga (karena tak ada harga standar untuk sebuah karya seni). Bandingkan dengan harga emas saat ini. Berapa setiap pelukis menikmati haknya? mampukah beristri empat?".
"Wow! Pendapat dan analisis prof Machroni dalem dan jleb banget seperti suara yang datang dari frekuensi berbeda dengan gelombang suara seniman pada umumnya. Tapi nggak perlu khawatir, suara prof bisa mereduksi suara-suara manusia normal pada umumnya yang memandang seniman hidupnya sengsara. Tetapi pandangan itu nggak perlu diambil hati tapi perlu dipertimbangkan karena faktanya, selain berkeinginan beristri empat, pikirkan juga biaya membesarkan satu anak dengan pendidikannya yang berkualitas sampai S3 itu butuh 2.16 M (kurleb). Tetapi menyoal matematika atau suara-suara itu jangan pula dianggap sekadar derau, seperti frekuensi 20-20. 000 hertz atau setara dengan 96.214.691 suara atau seperti suara para mahasiswa yang sedang mengawal keputusan MK yang dianulir DPR dan praktek curang penguasa.Â
Dengan riang, mister Machroni berkata singkat: "au ah gelap" airmukanya seperti linglung. Terdiam setelah menunjukkan deret gigi sampingnya yang ompong menghitam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H