Mohon tunggu...
Ipon Semesta
Ipon Semesta Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Seniman. Melukis dan Menulis. Mantan Jurnalis Seni dan Budaya. Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Pasar Seni Perlu Konsep Baru

8 September 2024   07:40 Diperbarui: 13 September 2024   12:52 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dan Artikel dari majalah Pesona Impian Maret 1992/dokpri

Namun masih ada sebuah lagi aspek yang harus dipertimbangkan di Pasar Seni Ancol masih banyak seniman yang percaya pada pengungkapan ekspresi seni Karya yang terbanyak masih lukisan seni lukis di Indonesia mencerminkan tradisi berekspresi. Mungkinkan kecenderungan ini digabungkan ke prinsip kria ? Jawabannya sangat mungkin.

Formulasi terakhir dari penggabungan semua aspek adalah ini: "kria seni." Catatan untuk pengamat seni rupa asing, terjemahan kria seni adalah art craft. Dasar kepercayaan konsepsi ini adalah, imajinasi artistik bisa menghasilkan ekspresi. Dan seni rupa tradisional kita adalah sebuah contoh di mana imajinasi artistik mampu melahirkan dunia perlambangan (simbolisme) yang sangat kaya. Maka keindahan yang umum, yang sama dengan selera masyarakat, bukannya tidak mungkin menampilkan ekspresi dan nilai seni. Contohnya, cukup banyak di Pasar Seni Ancol.

Kesimpulan analisa di atas jelas mengapa Pasar Seni Ancol tidak mengambil "kria seni" sebagai kekhasan, Para seniman yang sudah memang bergelut di lingkaran ini bisa memprakarsai gerakan Kria Seni dan mempromosikannya ke lingkaran seni rupa Indonesia. Menyelenggarakan pameran tetap, diskusi secara tetap. Menjadikan kria seni kekhasan, dan siapa tahu Pasar Seni Ancol bisa menjadi pusat kria seni.

* Jim Supangkat adalah penyelenggara

Art Fair ITB 1973 dan 1974, yang menyusun konsep kedua art fair ini, dan di tahun 1974 mempenalkan istilah "pasar seni".

Sumber: Majalah PESONA IMPIAN Maret 1992.

----------------------------------

Ada yang menarik, ketika saya sempat berbincang di Eco Park, sekitaran Pasar Seni Ancol dengan Mr. Machroni-pengamat seniman Pasar Seni Ancol. Seperti biasa dengan riang beliau nerocos: "Dulu, zaman nabi mah, kaum Quraisy membayar karya pelukis menggunakan standar timbangan dan alat tukar yang sah. 1 karya pelukis tanpa bingkai dan all size ditukar dengan 100 dinar. Satu dinar saat itu sama dengan satu mitsqal setara dengan 6000 habbah khardal (biji sawi). Sedangkan satu mitsqal adalah 4,25 gram emas. Atau sekira Rp. 400.000 (kurleb). Bandingkan dengan pelukis-pelukis cepat saji kekinian yang karyanya sering dibeli/pesan. Satu karya plus spanram dan pigura atau sebuah karya arang/pensil/pastel/lonte dlsb diatas kertas-mulai dari 500,000-5,000,000 sampai tak berharga (karena tak ada harga standar untuk sebuah karya seni). Bandingkan dengan harga emas saat ini. Berapa setiap pelukis menikmati haknya? mampukah beristri empat?".

"Wow! Pendapat dan analisis prof Machroni dalem dan jleb banget seperti suara yang datang dari frekuensi berbeda dengan gelombang suara seniman pada umumnya. Tapi nggak perlu khawatir, suara prof bisa mereduksi suara-suara manusia normal pada umumnya yang memandang seniman hidupnya sengsara. Tetapi pandangan itu nggak perlu diambil hati tapi perlu dipertimbangkan karena faktanya, selain berkeinginan beristri empat, pikirkan juga biaya membesarkan satu anak dengan pendidikannya yang berkualitas sampai S3 itu butuh 2.16 M (kurleb). Tetapi menyoal matematika atau suara-suara itu jangan pula dianggap sekadar derau, seperti frekuensi 20-20. 000 hertz atau setara dengan 96.214.691 suara atau seperti suara para mahasiswa yang sedang mengawal keputusan MK yang dianulir DPR dan praktek curang penguasa. 

Dengan riang, mister Machroni berkata singkat: "au ah gelap" airmukanya seperti linglung. Terdiam setelah menunjukkan deret gigi sampingnya yang ompong menghitam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun