Art Fair ITB 1973 berlangsung di tepi jalan di mana seniman, seperti pedagang asongan, menggelar karyanya di pedestrian. Pemilihan lokasi ini bukan tanpa sebab. Gagasan ini didasari keinginan mempertemukan seniman berkaliber, seniman pinggir jalan, pelukis komersial, desainer dan perajin. Dan inilah yang terjadi pada Art Fair 1973 itu.
Ada semangat, ketika itu, untuk tidak membedakan kegiatan-kegiatan seni rupa yang mempunyai tujuan berbeda-beda antara yang mencari nilai dan yang komersial, antara yang bersifat rancangan dan yang mengutamakan keterampilan. Konsep seni rupa di baliknya: tidak membuat pembedaan seni murni, desain dan kerajinan.
Konsep dan semangat art fair itu yang pada Art Fair ITB 1974 dikukuhkan dengan nama "Pasar Seni" di- pertahankan pada hampir semua penyelenggaraan pasar seni di Indonesia. Di Pasar Seni Ancol konsep dan semangat ini berkembang menjadi tradisi, yang sampai kini sudah berlangsung selama 17 tahun.
Tentu terdapat berbagai perkembangan pada Pasar Seni Ancol berupa kemajuan atau di sebaliknya tantangan. Namun lepas dari apa yang sudah dicapai, sudah waktunya Pasar Seni Ancol meninjau kembali perjalanannya. Melakukan perubahan-perubahan. Bukan perubahan organisasi, manajemen, atraksi, pemasaran atau kegiatan, tapi perubahan yang lebih mendasar. Kalau perlu dengan mengubah tradisi lama, dan membangun arah baru. Semangat dan konsep Pasar Seni 1973 ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan keadaan, zaman, dan perkembangan seni rupa masa kini.
Kenyataan yang menuntut perubahan itu ialah, tidak semua seniman yang dulunya ikut mendukung semangat pasar seni, secara konsisten memegang semangat ini. Setelah Pasar Seni menjadi kegiatan tetap, kecenderungan untuk membuat pembedaan-pembedaan muncul kembali. Harus diakui, kegiatan yang berlangsung secara kontinyu, tak bisa dihindari muncul mengundang pengamatan, kritik dan analisa. Adalah kenyataan Pasar Seni Ancol, sejak menjadi kegiatan tetap, harus menghadapi penilaian yang sangat kritis. Karya-karya di sini, oleh sejumlah kritikus dan seniman, dianggap tidak lagi mencari nilai. Dikategorikan sebagai tidak sederajat dengan karya-karya yag dipamerkan di galeri, atau di pusat-pusat kesenian. Pasar seni, seperti dilemparkan kembali ke pinggir jalan, dan ditinggalkan.
Harus diakui, semangat Pasar Seni 1973, adalah sebuah konsepsi yang idealistis. Prinsip ini cuma bisa diterapkan pada kegiatan berkala, bukan kegiatan tetap. Dalam kegiatan berkala, kecenderungan menyatukan semua seniman, mencampurkan semua cabang seni rupa, bisa dianggap sebagai usaha membangun saling pengaruh, atau untuk melakukan perbandingan di antara cabang- cabang seni rupa. Namun bila konsepsi ini diterapkan ke sebuah kegiatan tetap, jadinya akan rumit dan mengundang dilema. Kritik-kritik negatif hanya salah satu indikatornya. Maka sebenarnya sudah sejak awal Pasar Seni Ancol memerlukan konsepsi baru. Semangat, yang ternyata meluntur dan tidak bisa lagi diandalkan, seharusnya ditinggalkan. Namun, lebih baik terlambat dari pada tidak samasekali. Dan kini, usia 17 adalah umur yang baik untuk melakukan perubahan, yang selalu bisa diartikan, upaya mencari perkembangan. Dalam arti sempit perubahan, yang selalu bisa diartikan upaya mencari perkembangan. Dalam arti sempit perubahan itu bisa dikatagorikan mencari peluang dari segi bisnisnya. Dalam mencari peluang baru, pengkajian masalah seni rupa, tidak bisa diabaikan. Khususnya dalam mencari kekhasan untuk menghadapi kompetisi.
Setelah berkembang selama 17 tahun, beberapa ciri khas sudah terlihat di Pasar Seni Ancol. Tiga aspek bisa dicatat berkembang secara bersamaan. Pertama, ada usaha mempertahankan kesenimanan, yang barangkali didasari semangat Pasar Seni 1973. Kedua, sebagai seniman profesional yang hidup dari menjual karya, ada keharusan untuk memperhatikan selera masyarakat. Aspek ketiga, berkembang upaya membuat produk kria, yang tidak terlalu dibebani citra kesenimanan.
Ketiga aspek perkembangan itu bisa dipersatukan, tanpa keharusan mengorbankan salah satunya. Dasar untuk menyatukannya adalah konsep "kria". Citra kria yang paling populer pada masyarakat kita ialah kerajinan tradisional. Citra ini sangat sempit. Dalam perkembangan seni rupa, kegiatan kria yang kini sedang bangkit kembali telah mengalami berbagai perubahan. Bassel Art Fair, sebuah pameran kria di Swiss, kini sudah mulai menyaingi berbagai bienalle internasional.
Kria masa kini sudah berbeda dengan kerajinan tradisional. Secara mendasar, kria tidak lagi dibuat untuk kebutuhan sehari-hari yang telah diambil alih produk indusri. Produk kria, di masa kini telah berkembang menjadi barang koleksi yang diperlakukan seperti karya seni (kontemporer).
Namun kria tentu berbeda dengan karya seni ekspresi Karya seni kontemporer percaya pada prinsip estetik yang Individual sementara kria (di mana pun) mengacu pada kaidah-kaidah keindahan yang umum. Karena itu kria selalu menampilkan keindahan yang mudah dicerna masyarakat mena mingga kini, juga tetap memperlihatkan tingkat keterampilan tinggi. Sangat berbeda dengan ekspresi seni yang di masa kini percaya pada ekspresi yang tidak indah dan tidak terampil (clumpsy).Semua kecenderungan kria itu ada di Pasar Seni Ancol
Dengan konsep kria, upaya memperhatikan selera masyarakat, tak usah diartikan mengorbankan nilai seni Ini faham mendasar pada kria. Keterampilan, dan keanekaragaman juga terlihat dengan nyata. Maka konsep kria bisa dijadikan dasar untuk mengubah konsepsi pasar seni yang lama.