Mohon tunggu...
Ipon Semesta
Ipon Semesta Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Seniman. Melukis dan Menulis. Mantan Jurnalis Seni dan Budaya. Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Seni

Gurat-Gurat Artistik 16 Tahun Pasar Seni

7 September 2024   18:44 Diperbarui: 7 September 2024   18:57 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artikel dari majalah Pesona Impian thn 1991- Tangkapan layar dokumentasi pribadi

Laksana gema genta kecil dari sebuah kuil di dalam memori saya, gema yang menawarkan keheningan, menyuntih ingatan sekira 30 tahun lampau, ketika kalimat atau ungkapan "l'art pour l'art-seni untuk seni" kembali saya baca di laman majalah Pesona Impian tahun 1991 bertajuk: "Gurat-Gurat Artistik 16th Pasar Seni" ditulis oleh inisial "hsc". Paragraf berikutnya, kalimat ungkapan "l'art pour l'art" menawarkan paradoks dan konsepsi "Seni untuk Masyarakat."

Saya menyadari bahwa presensi, seperti yang pernah saya pahami itu lebih mirip sepotong afirmasi yang lirih untuk menyadari kembalinya subjek-l'art pour l'art dalam terang, presensi semisal "jalan-pulang", semacam jalan setapak primordial bagi kembalinya subjek-seni untuk seni yang sesungguhnya memang tidak pernah pergi, tak pernah hilang.

Presensi memang lebih seperti sebuah momen kekinian saat terjaga dari sepotong tidur yang gelisah, dan, tatkala membuka mata, serasa-rasa didekap oleh keharuan yang lembut, pelan-pelan mulai nampak bahwa langit biru nun di sana selalu terbentang sebagai sebuah lanskap yang hening di dalam ruang batin, di dalam jeda estetik itu.

Berkarya (melukis), bagi saya, kini bukan lagi sekadar produktif dan berhibuk mengejar untaian puja-puji belaka, melainkan, lebih dari itu, adalah semacam upaya untuk mengembalikan lanskap presensionis seperti sebuah lanskap yang hadir di dalam cermin simulakra. Ia, cermin itu, bukan hanya dapat menampilkan sisi terang dari satu lanskap, tetapi juga secara serentak akan memantulkan bayangan paling gelap dari sisi lainnya. Meski demikian, seperti karya seni lampau -- guratan di batu, goa, dinding, kulit hewan, kertas, kayu, logam dan media lainnya, hadir dalam peradaban manusia bukan untuk menghakimi, bukan untuk membatui, melainkan untuk memahami. Laiknya sepasang mata yang teduh dan penuh empati, karya seni sungguh-sungguh dapat melihat bahwa "engkau", adalah sang penikmat seni itu sendiri.

Setiap individu atau profesi yang telah dipilihnya harus bertanggungjawab terhadap interaksi dan transaksi yang dilakukannya. Seniman bertanggungjawab mendidik baik, pemerhati, penikmat atau pembeli kolektif karyanya. Sejarah membuktikan: status dan posisi seniman itu pendamping-konseptor hajat para raja atau penguasa. 

Karena, disini, tidak semua penikmat, pemerhati dan pembeli karya seni adalah apresiator yang baik, terlatih atau terampil. Tak banyak pula seniman, pengamat seni yang mampu menjembatani dan cakap mempertanggungjawabkan, mempresentasikan karya seni ciptaannya dengan baik. Lantas, apa solusinya? Tidak hanya penikmat, pembeli, dan calon apresiator (masyarakat awam seni) saja yang harus dididik tetapi seniman atau kreatornya juga perlu didik.  

Karya seni tak bisa terus dibiarkan kesepian tanpa seniman yang cakap, pemerhati dan pembeli karya seni yang "kompeten". Tinggalkan jargon lama bahwa tabu bagi seniman bertanggungjawab mendidik para penikmat, pemerhati, kolektor kolektif karya seni; mereka ada dan tidak lahir begitu saja, seolah memahami karya seni adalah bakat alam, tetapi mesti diberi pemahaman yang tepat dan benar "bagaimana" mengapresiasi karya seni--bukan menjelas-jelaskan keindahan, tehnik dan keterampilannya atau menjelaskan "apa"-nya, melainkan memberi pemahaman tentang "bagaimana"-nya jika menginginkan "seni untuk masyarakat." karena sesungguhnya, seni itu untuk masyarakat-untuk dipahami bukan sekadar mencipta karya seni sekadar-sebagai alat tukar yang sah kemudian selesai. 

Teman lain yang sedari tadi menyimak dengan baik, tiba-tiba nyeletuk: "terus gimana dong solusinya, kasih cara kek mana yang bisa bikin seniman nggak seperti kayak main layang-layang, tarik ulur benang terus, cuma bisa bertahan nggak ngimpi jadi "pemenang". Gue sih cuma pengen rumahtangga tenang dan nyaman berkarya, gitu aja?" 

Karya seni dihargai bukan karena hasil akhir. Degradasi nilai-nilai karya seni masih terlalu memuja hasil akhir, ketokohan, bukan proses, atau alasan dan dasar pemikiran di balik proses berkarya. Penting, karena dasar pemikiran pelaku seni dalam memandang dan mengartikan karya, dan bukan karena keasyikan bermain-main dengan membentengi diri dengan argumentasi, tafsir, dan perspektif pribadi laiknya filsuf Yunani-bergaya jaim pula, ngeles memakai bahasa sederhana dengan mengatakan sekadar produktif, berkarya saja, rajin, ulet, tahan banting, bikin merinding, dan eksotik belaka. Dtambah dengan mbelingnya (eksyentriknya) tingkah si pelaku. Seolah berkesenian ditakdirkan untuk mempersoalkan kehebatan seni dan diri si pelaku seni. Karena, penikmat seni pun perlu dididik agar apa yang mereka lihat, amati, dengar dan baca itu bisa dimengerti.

Plato, filsuf Yunani kuno (ori) mengatakan: "tujuan pendidikan bukanlah untuk mengisi jiwa dengan pengetahuan, tetapi untuk membentuk karakter dan membimbing jiwa menuju kebajikan". 

Ada anggapan; mengoleksi benda seni seperti memiliki dan merawat benda suci, sakral dan keramat, serupa Illuminati --- Tlawungan adalah karya seni ukir dengan motif Iwak Telu Sirah Sinunggal. Bagi penganut ajaran tasawuf merupakan simbol identitas dan hanya dipahami oleh mereka yang mendalami ajaran spiritual. Tetapi bagi masyarakat awam, simbol identitas Iwak Telu Sirah Sinunggal tidak memiliki makna apa-apa selain hiasan belaka. Begitu pula dengan karya sastra pada lembar papirus berhuruf hieratic Mesir yang berisi ucapan Raja Ptahhetep (sekira 2500 tahun sebelum Masehi) yang merupakan karya sastra penanggalan paling awal dari kitab Veda versi manapun yang diproduksi para penulis Sanskrit dari India kuno. Maka, jelaslah sudah, seniman dan masyarakat awam seni (sekali lagi saya tegaskan) mesti dididik. 

Begitulah, tiga puluh tahun lalu, dalam keheningan yang terasa lain, saya barulah benar-benar dapat memahami makna dari sepotong epigram tentang membaca dan memahami ungkapan "l'art pour l'art" itu 

Dan kini, dalam nada dasar sebuah elegi, pelan-pelan saya mulai menyadari, bahwa mungkin takdir seniman sekaligus karya seninya pada abad ke-21 ini bukan untuk mengubah sejarah, melainkan untuk "membangunkan" manusia yang ada dalam dialektika sejarah itu dari mimpi-mimpi mesianiknya, dari setiap utopianisme di dalam satu sistem tertutup. Dan, saya rasa, itu cukup.

-Pasar Seni Ancol, 5 September 2024 - Ipon Semesta (Ketua PERSEGI - Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)-

------------------------------

Gurat-Gurat Artistik 16th Pasar Seni

Sebuah karya seni, dalam berbagai cabangnya, dapat menjadi saksi perjalanan hidup suatu bangsa, pencatat sejarah, atau minimal merupakan refleksi fenomena sosial dalam masyarakat pada kurun waktu tertentu. Sebutlah misalnya, "Karawang- Bekasi"-nya Chairil Anwar, "Siti Nurbaya-nya Marah Rusli (susastra), "Bengawan Solo"-nya Gesang (lagu). "Barongsai"-nya Affandi (lukis), demikian pula halnya karya seni cabang lainnya.

Prinsip l'art pour l'art seni untuk seni, bukan saatnya lagi untuk dianut. Prinsip yang berkembang di Perancis pada awal abad ke-19 ini. memang, tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman. Karena pada dasarnya sebuah karya seni baik susastra, lukis, pahat, teater, tari, musik, dan kesenian lainnya baru akan mempunyai arti bila dapat berfungsi sebagai mediator dari sebuah message seniman kepada masyarakat.

Kehadiran Pasar Seni Jaya Ancol (PSJA), yang merupakan jembatan komunikasi antara seniman dengan masyarakat, memang sangat diperlukan manakala prinsip l'art pour l'art telah berganti dengan "Seni untuk Masyarakat." Dan eksis- tensi PSJA, yang kini telah mencapai usia 16 tahun, mempunyai peranan penting dalam mempertemukan seniman dengan masyarakat. Animo masyarakat terhadap PSJA ini cukup tinggi. Betapa tidak, rata-rata tiap bulannya PSJA dikunjungi 70% dari 1.250.000 pengunjung TIJA, merupakan wisatawan domestik dan mancanegara. Lantaran hampir semua cabang kesenian dapat dinikmati di PSJA ini. Mulai dari seni lukis, pahat, keramik, teater, musik, lawak, bahkan sampai kesenian tradisional. Pergelaran wayang kulit, misalnya. Hanya saja, untuk kesenian yang ekspresinya melalui sarana panggung (umpamanya, teater, musik, ketoprak, lawak, dan sejenisnya) tidak tiap hari dapat ditemui. Sedangkan yang non panggung (seni lukis, seni pahat, keramik, grafis, kartun, dsb.) dapat ditemui setiap harinya, karena para senimannya menempati kios- kios yang tersedia dan melakukan aktivitasnya di PSJA. Selain itu, hasil karya seni mereka terpasang di sana. Sehingga dapat langsung dinikmati. Dan kalau tertarik untuk memiliki, peminat dapat mengada- kan "negosiasi dengan sang kreatornya (baca: seniman).

Harga terima kasih

Dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahunnya yang ke 16, yang jatuh pada tanggal 28 Februari 1991, PSJA mengadakan apresiasi seni serta sederet kegiatan kesenian yang diperuntukkan kepada masyarakat. Dengan tema "Gurat-Gurat Artistik Pasar Seni." PSJA merayakan HUTnya selama satu bulan penuh 28 Februari 1991 sampai 31 Maret 1991

Selain acara melukis model (3) Maret 1991) yang diadakan di Arena Terbuka PSJA dan dapat disaksikan oleh para pengunjung. Maka untuk memasyarakatkan kesenian walaupun apresiasi seni ini diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT PSJA ada dua acara yang diadakan di luar Taman Impian Jaya Ancol yaitu acara melukis bersama. Pertama, diadakan di Muara Karang (4 Maret 1991). Kedua. diselenggarakan di Taman Fatahilah (7 Maret 1991).

Di samping itu, diadakan pula Bazaar Seni Rupa harga Terimakasih Acara ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada para peminat yang ingin memiliki karya seni (rupa) tetapi tidak terjangkau harganya. "Dalam bazaar Ini harga yang ditawarkan berkisar antara 25% 50% dari harga yang semestinya," ujar Mansyur, pelukis yarig juga ketua warga PSJA kepada Pesona Impian.

Pemutaran film negara sahabat

Acara menarik lainnya adalah pemutaran film negara sahabat. Sebanyak delapan film tentang kebudayaan dari berbagai mancanegara disajikan kepada pengunjung. Diharapkan dengan adanya pemutaran film ini, seniman maupun masyarakat pecinta seni, dapat memperoleh suatu study perbandingan terhadap perkembangan seni rupa di mancanegara.

Untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kesenian. PSJA sengaja mengundang seorang budayawan dari Yogyakarta,

Dalam rangka perayaan yang diadakan satu tahun sekall yang kebetulan menjelang bulan suci Ramadhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan turut pula meramaikan dengan cara pameran Kaligrafi tingkat Nasional. Kaligrafi yang ditampilkan, kali ini, tak hanya terbatas pada kaligrafi Arab melainkan juga kaligrafi daerah seperti dari Jawa, Sumatera, Bali, dan lain-lain. Karya yang tampil, tentu saja, masih sangat langka karena selama ini masih banyak orang yang beranggapan bahwa kaligrafi hanya terdapat pada huruf Arab saja. Dan yang pasti, akan mempunyai nilai apresiasi tersendiri bagi masyarakat. khususnya pecinta seni.

Yang jelas, Gurat-Gurat Artistik Pasar Seni bukan sekedar hura-hura menyambut HUT PSJA Ke-16. Namun, sekaligus ikut menyukseskan VIY 1991 dan menyambut hadirnya bulan suci Ramadhan. Dan yang tak kalah pentingnya memberikan apresiasi tentang seni, tentang keindahan sebuah karya seni. Sehingga diharapkan dapat merenungkan keindahan ciptaan Tuhan. Dengan demikian, kita tergugah untuk lebih mencintai ciptaan-Nya (baca: alam semesta) dan tidak lagi sewenang- wenang dengan alam. Mencemari lingkungan atau merusak keindahan alam, misalnya. (hsc)

Sumber: majalah PESONA IMPIAN April 1991

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun