Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

IDF 2019, Mencari Pekerjaan Idaman Tidak Semudah Dulu Lagi

23 Juli 2019   22:25 Diperbarui: 26 Juli 2019   00:25 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demikian kesimpulan yang saya bisa ambil dari perhelatan dua hari Indonesia Development Forum (IDF) di JHCC-Jakarta Hilton Convention Centre (Balai Sidang) Jakarta pada 22 dan 23 July 2019. Pemaparan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brojonegoro dan Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto secara gamblang mengungkapkan tantangan yang sedang dan akan dihadapi bangsa ini untuk meraih masa depan yang bisa saja sesuai rencana (sukses), biasa saja (stagnan) atau middle income trap (gagal).

IDF 2019 adalah kegiatan serupa yang dilakukan sejak dua tahun lalu yang mengusung tema "Mission Possible : Seizing The Opportunities of Future Work to Drive Inclusive Growth" (terjemahan bebasnya, Menangkap Kesempatan untuk meraih pekerjaan masa depan dan menghela pertumbuhannya secara menyeluruh didalamnya) yang menghadirkan ratusan nara sumber dan diikuti oleh ribuan peserta  ternyata sangat menarik untuk diikuti dan diamati. Kegiatan yang merupakan kerjasama antara Bappenas dan Pemerintah Australia banyak memberikan inspirasi dan pengetahuan kepada banyak peserta karena inilah permasalahan aktual sebenarnya (baca ekonomi/bisnis) dalam era ekonomi disrupsi dan transformasi digital.

Walau mengusung tema tentang profesi dan pekerjaan ideal untuk masa kini dan masa depan, ternyata itu tidak mudah diraih bila kemampuan lulusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar. 

Faktanya seperti informasi dari Menteri PPN dan Bappenas betapa lulusan Perguruan Tinggi Indonesia (PTI) sama baik dalam kualitasnya dengan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dari negeri Denmark. Ini seperti tamparan yang menyakitkan dan Bambang melanjutkan kurikulum SMK dan Politehnik Indonesia ternyata hanya sibuk dengan dunianya sendiri tapi tidak peka dengan kebutuhan pasar yang membutuhkan.

Bicara tentang partisipasi bersekolah di Indonesia rata-rata tinggi namun kualitasnya rendah. Berdasarkan laporan dari PISA (Programme for International Student Assessment) atau Program Penilaian/Pengukuran Kemampuan Pelajar dari OECD (Organization for Economic Co-operaton and Development) atau Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan, rata-rata siswa Indonesia dalam mata pelajaran matematika, membaca dan sains skornya jauh dari kemampuan pelajar dari negara-negara OECD lain.

Bicara tentang sejarah perihal hal ini, kemampuan  tiga hal ini tidak bisa secara instan dan cepat dapat dicapai untuk meraih nilai yang lebih baik atau sesuai standart.Dan menurut perhitungan rata-rata nilai "yang baik" atau standar baru bisa diraih oleh anak-anak Indonesia tahun 2065 (atau 20 tahun setelah ultah kemerdekaan Indonesia ke 100 tahun), dan saat ini mereka belum lahir. Lol.

Kenyataan memprihatinkan ini harus segera dibenahi dengan banyak membuat sekolah dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Bambang melanjutkan di negeri maju lain, siswa tidak dipacu meraih ijazah tapi justru berkompetisi untuk mendapatkan sertifikat kompetensi keahlian tertentu. Ini menurut penulis seharusnya menjadi perhatian Kemendikbud tentang pemahaman pendidikan apakah harus lewat sekolah formal berlama-lama dengan materi pelajaran yang kebanyakan dihafal tapi bukan diaplikasikan dimana setelah ujian dilupakan?

Tidak hanya di unsur pendidikan, tapi juga dalam urusan birokrasi pemerintah dan perijinan usaha di negeri ini ternyata masih panjang dan berbelit. Seperti yang diungkap oleh survey WEF (World Economic Forum-Executive Opinion Survey 2017 yang mengungkapkan  "Corruptions and bureucratic inefficiency are considered to be the most burdensome issue on doing business in Indonesia' dimana perizinan perlu 4 hari sementara Singapura setengah hari, Malaysia dan Thailand tidak lebih dari 3 hari.

Berbeda dengan Menteri PPN Bappenas yang secara kritis menyiasati tantangan pembangunan Indonesia, sebaliknya Menperin, Airlangga Hartarto berbicara dengan rencana Indonesia kedepan dengan mengunggulkan beberapa sektor yang harus digarap agar Indonesia bisa tetap bersaing dalam kancah ekonomi dunia kedepan. 

Sesuatu yang luput dari informasi Airlangga dan diutarakan oleh Bambang adalah penurunan industri manufaktur Indonesia yang memprihatinkan karena tulang punggung ekonomi Indonesia saat ini justru sama seperti tahun 70 dan 80an yang mengandalkan sumber daya alam seperti komoditas mineral (batu bara) dan kelapa sawit. 

Memang tidak salah namun mengandalkan hal ini akan sangat rentan karena bila harga komoditas ini yang bernilai US dollar turun, neraca perdagangan kita juga turun, seperti yang terjadi saat ini. 

Melihat neraca ekspor negeri jiran lainnya, ternyata Malaysia yang juga mengandalkan kelapa sawit ternyata juga mampu membangun industri manufakturnya di bidang elektronik dan permesinan.

Selain hal-hal yang mungkin minor tentang Indonesia, ternyata banyak start up company Indonesia ikut berpartisipasi dengan memberikan pengalaman suka duka berusaha di Indonesia dari yang mengorganisasi warung, toko kelontong, game dan pembuatan boneka oleh napi di penjara dan banyak lainnya sehingga sesuai dengan tema perhelatan ini yaitu menciptakan pekerjaan dan bukannya mencari pekerjaan.

Kegiatan yang pendanaannya disumbangkan oleh Pemerintah Australia ini harusnya juga jadi cermin bagaimana negeri Kangguru ini peduli untuk mengembangkan potensi populasi dan ekonomi Indonesia sesuatu yang seharusnya merupakan iniasi pihak Indonesia. 

Kepedulian kepada potensi anak bangsa ini juga tercermin betapa Yayasan Cinderella yang merupakan start-up company yang berdomisili di Batam, yang memproduksi boneka buatan narapidana justru mendapatkan bantuan dana dari Pemerintah Amerika Serikat dan Australia setelah memenangkan kompetisi start up (usaha rintisan) , dan ironisnya hingga sukses saat ini malah pemerintah Indonesia tidak membantunya.

Harapannya semua cita-cita mereka yang hadir dalam kegiatan ini, ada output nyata pada penyelenggaraan selanjutnya dan mereka yang sukses akan mempresentasikannya kelak pada ajang IDF berikutnya sehingga ini akan tolok ukur kemajuan perekonomian Indonesia secara umum dan mengurangi pengangguran yang semakin banyak dan menjadi beban negeri ini saat sekarang dan masa depan. 

Dilihat dari para pemimpin atau CEO usaha rintisan Indonesia,  mereka kebanyakan para milineal, fasih berbahasa Inggris dan lulusan Amerika Serikat, dan sisi positifnya ini menunjukkan mereka bukanlah kacang yang lupa pada kulitnya.  

Menteri Airlangga mengakui bahwa adanya transformasi digital akan menghapus sejumlah pekerjaan (menurut penulis akan semakin banyak terjadi terutama yang sifatnya mekanis karena nanti akan diganti oleh robot/mesin yang menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence) namun juga akan menciptakan pekerjaan baru. 

Menurut penulis pekerjaan baru dan keahlian baru itu perlu waktu cukup lama untuk mendidik dan mematangkannya. Disini tugas Kementrian Perindustrian, Kemen PPN/Bappenas dan Kemendikbud melakukan integrasi agar masalah populasi anak muda yang perlu lapangan kerja bisa diatasi.

Sebagai gambaran dunia masa depan, penggunaan smart phone (telpon pintar) akan sangat masif dimanfaatkan dan disitulah letak para pembeli/pelanggan berada, dan inilah saatnya anak muda yang potensial diberikan peluang untuk eksis dan berkembang lewat belajar digital secara gratis seperti belajar coding dan bagi mereka yang terpaksa harus berganti profesi karena tergerus digitalisasi pekerjaan mekanisnya,  Kemenperin dan Kemen PPN Bappenas bisa juga menyelenggarakan kursus singkat yang murah/gratis belajar tentang algoritma, data science, machine learning, bitcoin, blockchain, artificial intelligence, virtual reality, augmented reality  dan lain-lain.

Inspire,Imagine,innovate,Initiative are not enough yet, you need also intelligence and intellectuality.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun