Mohon tunggu...
Iwan Permadi
Iwan Permadi Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja kreatif televisi dan Guru Bahasa Inggris

a freelance tv creative

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Reformasi Penyiaran, Reformasi Setengah Hati

1 Januari 2018   20:29 Diperbarui: 2 Januari 2018   15:18 1245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat Tahun Baru 2018. Selamat di tahun Reformasi ke 20 berlalunya pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, Mei 1998. Apa kabar Reformasi Undang Undang Penyiaran 2002 yang sudah 15 tahun dibahas tapi revisinya malah terkesan tidak tuntas-tas. 

Di zaman konvergensi media saat ini apakah RUU (Rancangan Undang Undang Penyiaran) isi dan visinya masih punya nilai visioner untuk masa depan atau ketinggalan zaman?

RUU Penyiaran lebih kental disebut sebagai aturan yang lebih dominan ke televisi karena inilah media yang masih dianggap paling berpengaruh dan berkonotasi ke ekonomi dan politik yang menguntungkan pemiliknya yang cuma segelintir dan berafiliasi ke kelompok tertentu baik sebagai pemimpin dan pendukung parpol (partai politik) tertentu.

Dibilang reformasi setengah hati karena pembahasan sejumlah butir aturan yang sensitif cenderung tertutup seperti kaya udang di balik batu, padahal banyak pengamat penyiaran telah menangkap secara kasat mata kepada siapa para pemangku kepentingan baik DPR, Asosiasi dan stakeholder lainnya akan berpihak. 

Publik sudah tahu kok frekuensi miliknya sedang dimainkan dan mungkin "dipermainkan" untuk kepentingan objek tertentu, namun tidak berdaya untuk mendebatkannya karena "betapa pentingnya" masalah ini bukanlah jadi prioritas pemerintah pusat untuk menyelesaikannya apalagi jelang pilkada, pileg dan pilpres 2018 & 2019, jadi diatur sebisa mungkin jangan gaduh lah.

Ada sejumlah hal yang melingkupi RUU Penyiaran saat ini yang diusulkan untuk direvisi yang menjadi memicu perdebatan publik.

Antara lain soal proporsi iklan yang minta dilebihkan ke 30 persen dari total durasi program (sebelumnya 20 persen), iklan rokok yang diperbolehkan (satu-satu negeri di Asean yang mengizinkan), lembaga penyiaran khusus (parpol dan banyak institusi bisa membuatnya), pengaturan informasi tentang kampanye atau berhubungan dengan pemilu (menjaring suara pemilih) memperbolehkan multimux (artinya bukan hanya wewenang lembaga tertentu yang ditunjuk pemerintah yang mengeluarkan seperti TVRI dan RRI untuk melakukannya/single mux), konten program yang berisi puja puji dan pemilik partai tertentu belum terkontrol dan kesannya suka-suka, fungsi KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang diletakkan sebagai pengontrol kontrol isi acara (konten) saja bukan kebijakan sehingga cuma jadi "macan kertas" dan aturan kepemilikan stasiun televisi dan lain-lain.

Di lain pihak, hasil survei terbaru penonton televisi yang memperlihatkan kecenderungan penonton masa depan televisi (usia 15 tahun ke bawah) sudah tidak menonton televisi lewat free on air (tayangan gratis yang dipancarkan transmisi lewat pesawat TV konvensional/tradisional) namun lewat gawai yang dimilikinya (yang kuotanya berbayar), seharusnya menyadarkan pihak pembuat RUU Penyiaran bahwa isi undang-undangnya apakah menangkap kecenderungan penonton yang sudah ogah dan tidak mau menerima siaran yang berciri one way information namun yang sudah berpadu atau beririsan (konvergensi) dengan media sosial, media digital, internet, dan aplikasi daring.

Pertanyaannya apakah RUU Penyiaran yang masih digodok ini hanya memperhatikan momen sesaat baik secara ekonomi dan politik pilkada namun tidak menangkap aspirasi penonton televisi masa depan?

Bila penonton muda yang merupakan potential buyer tidak masuk hitungan dalam kebijakan RUU Penyiaran bagaimana televisi akan bisa mendapatkan iklan untuk memproduksi program, jangankan 30 persen per durasi program, bahkan 10 persen saja tidak akan dapat dicapai bila setiap commercial break tidak ditonton?

Artinya dengan mengabaikan potensi penonton zaman now dan memberikan image betapa dangkalnya treatment televisi kepada mereka, apakah RUU Penyiaran bila kelak dijadikan undang-undang telah menggali lubang kuburannya sendiri?

Bila mindset-nya tetap menggunakan pendekatan lama ditambah aturannya juga masih lama yang tercermin dari terpisahnya undang-undang tentang telekomunikasi, internet dan penyiaran, maka gampang ditebak UU Penyiaran yang kelak akan disahkan akan "terasa baru", tapi dengan treatment lama, baru untuk kepentingan sesaat tapi ketinggalan zaman untuk penonton masa kini dan masa depan.

"On Friday night, I was reading my new book, but my brain got tired, so I decided to watch some television instead." (Pada Jum'at malam, saya sedang membaca sebuah buku, namun otak saya merasa lelah, jadi saya putuskan menonton beberapa program televisi)
-Stephen Chbosky

Dari berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun