Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Ilmuwan - Science and culture observer

Seorang peneliti lintasilmu, terus berlayar, tak pernah tiba di tujuan, pelabuhan selalu samar terlihat, the ever-expanding sky is the limit.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sketsa Sikon Ilmuwan Perempuan Masa Pandemi Covid-19

15 April 2021   18:51 Diperbarui: 18 April 2021   13:09 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Alissa Stephens|Sumber: NYT

"adalah masa yang luar biasa sulit untuk menjadi seorang perempuan dalam dunia ilmu pengetahuan. Kami real ada di antara orang banyak. Kami sudah jatuh berlutut. Kami sudah letih. Eeh... sebuah makalah begitu saja ditulis, yang mendepak kami lewat ucapan, 'Kami mempunyai solusinya, yuuk kita pindahkan mahasiswa-mahasiswa untuk dibimbing hanya oleh para mentor lelaki senior."

Well, dalam kekristenan, patriarkhi dan misogini memang masih tetap kuat hingga di zaman modern ini. Perilaku tendensius misoginik ini memang memiliki akar-akar pada teks-teks skriptural Yahudi-Kristen.

Seorang bapak gereja pada abad kedua yang bernama Tertullianus, dengan berdasar kisah teologis etiologis dalam kitab Kejadian 3 Tenakh Yahudi, berkata sangat keras terhadap para perempuan di zamannya, yang dianggapnya juga berlaku untuk kaum perempuan di segala zaman dan tempat. 

Hardiknya,

"Kamu semua adalah pintu gerbang masuknya setan ke dalam dunia... kalian adalah Hawa yang membujuk Adam, yang setan tidak berani serang.... Tahukah kalian bahwa setiap orang dari antara kalian adalah seorang Hawa? Hukuman Allah terhadap gender kalian tetap berlaku dalam zaman ini; begitu juga, kesalahan yang dibuat Hawa bagaimanapun juga tetap ada" (Tertullianus, De Cultu Feminarum I, 12).

Tak dapat disangkal bahwa Tertullianus memperlihatkan bias seksisme dalam bentuk yang ekstrim, yang dinamakan misogini (Inggris: misogyny, dari dua kata Yunani miseô, "membenci", dan gynē, "perempuan"). Yakni kebencian terhadap perempuan yang sangat mungkin akan membuahkan kekerasan dan ketidakadilan yang parah terhadap kaum perempuan di mana pun dan kapan pun.

Jika dalam zaman sekarang ini kita mau melakukan tafsir ulang terhadap kisah teologis etiologis dalam Tenakh Yahudi tersebut, dengan mengubah perspektif tafsir dari yang semula perspektif budaya dominan, yakni "budaya lelaki", menjadi perspektif "budaya marjinal", yakni "budaya perempuan", maka Hawa, representasi simbolik kaum perempuan universal, akan tampil lain.

Hawa atau kaum perempuan pun jadi dapat kita lihat sebagai sosok-sosok yang berani mengikuti kuriositas mereka, rasa ingin tahu mereka.

Alhasil, Hawa mendapatkan mula-mula pengetahuan moral. Di kemudian hari, pengetahuan moral pun berkembang setahap demi setahap menjadi ilmu pengetahuan yang sarat dengan nilai-nilai kebenaran, kemajuan, penemuan, keagungan, kebajikan dan daya tahan dalam kehidupan kita semua.

Hawa, atau kaum perempuan, bukan saja ibu kehidupan, tapi juga ibu ilmu pengetahuan, seperti halnya Dewi Saraswati dalam kepercayaan Hinduisme.

Kalau dulu di Indonesia kaum perempuan dipandang hanya pantas berada di dapur, kini, di masa pandemi Covid-19 dan nanti di era pasca-Covid-19, mereka sudah waktunya berada juga di laboratorium riset selain di dapur. Untuk itu, mereka tentu harus berani dan mampu serta memiliki kesempatan untuk bersekolah tinggi, mendapatkan gelar Ph.D., di bidang ilmu-ilmu pengetahuan alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun