Ini sebuah catatan penting: Pengalaman merasa dihadiri oleh "suatu entitas yang transenden" (Tuhan atau Sosok Gaib atau Suasana takzim dan intens) ternyata juga dapat dialami oleh seorang yang memiliki kecerdasan logis matematis yang tinggi ketika orang ini terbenam dalam aktivitas-aktivitas saintifiknya, yang membuatnya "Hanyut" (mengalami "Flow") dalam arus motivasi-motivasinya yang kuat, yang memacunya bekerja begitu tekun dan terfokus, dan waktu dirasakan begitu cepat mengalir lalu bermuara pada prestasinya yang cemerlang.
Pengalaman masuk ke dalam "Flow" ini sekular, kodrati, sama sekali bukan pengalaman religius spiritual atau adikodrati, tapi sangat memukau dan mendorong orang maju makin jauh, ke dunia-dunia yang baru dan tidak biasa, lewat aktivitas pikiran dan kemampuan berkonsentrasi penuh.
Semua orang bisa mengalami "Flow" sejauh mereka bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaan mereka masing-masing. Dalam arti inilah bekerja tekun itu juga sebuah pengalaman transenden, pengalaman masuk ke dunia nilai-nilai yang lain, lebih tinggi, lebih mulia, lebih meaningful, dunia adinilai.
Oleh Mihalyi Czikszentmihalyi, "Flow" ("Hanyut") dilihat sebagai suatu keadaan mental ("state of mind") khusus yang menjadi sumber kinerja optimal seseorang ketika sedang mengerjakan tugas-tugas dan juga sumber rasa bahagia dan damai yang dialaminya.
"Flow" didefinisikan oleh Czikszentmihalyi sebagai "keadaan tersedot sepenuhnya ke dalam proses suatu aktivitas, alih-alih ke tujuan akhir aktivitas ini."
Ciri-ciri paling umum "Flow" adalah: perhatian kita seluruhnya tersedot ke dalam aktivitas yang sedang kita kerjakan dengan tekun; aktivitas yang sedang asyik kita kerjakan harus dipersepsi sebagai aktivitas yang punya arah, makna dan tujuan yang penting; kita harus terbuka menerima umpan balik yang langsung dan jelas atas apa yang sedang kita kerjakan; kita merasakan dengan real bahwa kita memegang kendali sementara kita berada dalam kondisi mental ini; kita kehilangan kesadaran-diri (maksudnya: kita tidak lagi mengalami diri kita terpisah dari apa yang sedang kita kerjakan, yang berinteraksi dengan diri kita); kita tak lagi merasakan jalannya waktu (entah cepat atau lambat)./20/ Dalam Hanyut ini, waktu seolah berhenti, dan keabadian dimasuki.
Alasan kedua, spiritualitas itu terhubung erat dengan, tidak dapat dipisahkan dari, suatu kepercayaan pada suatu agama atau suatu Allah pada umumnya, atau dari fanatisme seseorang pada suatu kepercayaan atau suatu sekte tertentu.Â
Seorang yang militan dan radikal dalam beragama mengklaim posisinya yang semacam itu lahir dari hubungannya yang sangat mendalam dengan Allah.
Namun, bagi orang yang membela toleransi dan HAM dalam beragama, pengalaman keagamaan kalangan militan radikal yang semacam itu, yang hanya membuahkan kekerasan atas nama agama bahkan atas nama Allah, sama sekali bukan suatu pengalaman spiritual bersatu dengan Allah. Mustahil orang yang mengalami kebaikan, kemurahan, kehadiran dan karunia Allah memperlihatkan sepak-terjang yang keras, jahat, durjana dan tidak memiliki cinta dan empati. Betul juga, teriak seorang teman saya!
Jadi, tulis Gardner, tidak ada spiritualitas yang universal, yang mempunyai basis empiris neurobiologis dalam otak manusia./21/ Â
Tapi, berbeda dari yang dikatakan Gardner, para neurosaintis sebetulnya sudah menunjukkan adanya basis-basis neurobiologis dan neuropsikologis bagi berbagai pengalaman keagamaan, meskipun mereka tidak menamakan berbagai pengalaman ini "kecerdasan spiritual"./22/