Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pertanyaan Salah Kategoris: Jika Tuhan Hamil, Siapa Bidannya?

8 Januari 2017   18:26 Diperbarui: 10 Januari 2017   20:54 1938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: coschedule.com

Ketika diberitakan dalam kisah-kisah Natal Perjanjian Baru bahwa INSAN Bunda Maria mengandung janin Yesus meskipun dia tidak punya seorang suami, kisah-kisah ini sama sekali bukan catatan-catatan medis seorang dokter kandungan atau ginekolog atau ibu bidan tentang Bunda Maria. Kisah-kisah itu adalah kristologi yang pesannya jelas betul, dan tidak asing bagi orang yang hidup di Laut Tengah kuno pada abad-abad pertama Masehi: Yesus sejak dikandung adalah sosok yang suci. Roh Kudus sumbernya. Yesus ada dalam dunia karena Allah, bukan manusia, yang berinisiatif, dus Yesus berasal dari Tuhan Allah.

Memakai ungkapan prolog Injil Yohanes, diberitakan bahwa Yesus berasal dari surga, yang dari kebersamaannya dengan Allah di surga sejak “pada mulanya”, Yesus datang atau turun ke dalam dunia sebagai Sang Kalam (Yunani: ho logos) yang menjelma atau menitis sebagai manusia, “menjadi daging” (Yunani: sarks egeneto). Ini dikenal sebagai teologi inkarnasi.

Tentu saja, inkarnasi (Latin: “incarnatio”, dari gabungan dua kata “in-caro”, artinya “di dalam daging”) tidak masuk kategori wilayah sains, jadi tidak bisa diperdebatkan secara ilmiah. Banyak orang yang menerima kristologi inkarnasi mengalami kesulitan ketika mau menerangkan keyakinan mereka ini kepada orang dari keyakinan lain yang menolak kepercayaan bahwa Allah yang adikodrati, yang transenden, terlibat dalam urusan manusia, apalagi MENJADI MANUSIA yang bernama Yesus.

Sebetulnya tidak sulit untuk menggambarkan inkarnasi sejauh kita memperlakukan bahasa inkarnasional sebagai bahasa metaforis, bukan bahasa sains. Begini, misalnya: Karena dipercaya Allah itu cinta kasih, maka Yesus menjadi inkarnasi Allah karena di dalam dan lewat kehidupan Yesus orang Nazareth itu orang melihat dan mengalami cinta kasih Allah dengan REAL, PENUH, TERCERAP OLEH LIMA INDRA (inilah maksud kata “empiris”), FAKTUAL dan OBJEKTIF.

Dus, secara fungsional Yesus memang betul inkarnasi Tuhan Allah, karena lewat sosok Yesus yang REAL, EMPIRIS, FAKTUAL dan OBJEKTIF, kasih Allah ditemukan dan dialami sebagai suatu realitas objektif. Apapun latarbelakang religiokultural dan politis anda, pastilah anda tahu dan bisa membedakan mana cinta kasih dan mana kebencian yang sedang diperlihatkan dan dilakukan seseorang kepada orang lain atau kepada anda sendiri. Patut diperhatikan, teologi inkarnasi ini tidak membuat penganutnya jadi jahat dan brutal, tapi justru terdorong untuk menyayangi semua orang dan berbuat bajik dan rahmani dan rahimi, sesuai dengan sifat Allah dan Yesus sebagai penjelmaan Allah.

Sekali lagi, hal-hal yang baru saya ungkap dalam beberapa alinea di atas adalah bahasa teologis atau lebih tepat METAFORA TEOLOGIS, yang berfungsi untuk menghubungkan kawasan surga dengan kawasan dunia insani, lewat Roh Kudus via Bunda Maria atau lewat Sang Kalam yang menjelma. Itu bukan terma-terma biologis atau ginekologis atau genetis.

Sesuai dengan arti harfiahnya, “metafora” teologis menghubungkan satu kawasan (ilahi) dengan kawasan lainnya (yang kodrati), atau membawa manusia dari kawasan dunia kodrati ke kawasan adikodrati, dan sebaliknya: Allah datang dan masuk ke dalam dunia manusia. Metafora itu ibarat sebuah kendaraan, yang menempuh trayek pulang pergi, pergi pulang.

Dalam menyusun metafora teologis ini, tidak ada pikiran sama sekali dulu dan kini, bahwa Allah hamil, atau Allah membuntingi Bunda Maria, dan juga tidak pernah ada pertanyaan yang ganjil bahwa jikalau Tuhan hamil untuk kemudian beranak atau melahirkan Anak Tuhan, maka siapa bidannya. Sungguh, pikiran dan pertanyaan ini ANEH dan GANJIL, TIDAK PADA TEMPATNYA dan SALAH SECARA KATEGORIS.

Dus, runyam, runyam jadinya, ketika pertanyaan di atas yang ganjil itu dilontar ke publik oleh orang, siapapun mereka, yang sangat tampak tidak memahami karakteristik esensial semua metafora teologis. Kalau ada peluang, belajar lagi deh hingga ke negeri China, malah hingga ke dunia antarbintang.

Akhirulkalam, saya perlu mengatakan sesuatu yang sudah sangat lumrah. Jika kita berbicara tentang Bunda Maria, INSAN perempuan yang sedang hamil tua, dan segera mau bersalin untuk melahirkan seorang bayi manusia, sosok berdaging, ke dalam dunia (yang ketika sudah besar, dan khususnya setelah kematiannya, diberi banyak gelar kristologis), tentu persalinannya dibantu beberapa orang, termasuk seorang bidan. Ini hal yang sangat lumrah. Juga kalau ditanya, siapa bidan persalinan INSAN Bunda Maria, ini pertanyaan yang lumrah juga, tapi ya tidak ada yang tahu jawabannya.

Tapi kalau yang dipersoalkan adalah TUHAN ALLAH YANG HAMIL untuk akhirnya BERANAK atau MELAHIRKAN ANAK TUHAN, lalu orang yang mempersoalkannya bertanya SIAPA BIDANNYA, kesimpulannya sudah jelas: orang itu tidak paham esensi metafora kristologis atau bahasa metaforis teologis, dan telah memperlakukan kristologi sebagai biologi, dus TELAH MELAKUKAN SUATU KESALAHAN KATEGORIS. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun