Saya mulai dengan sebuah kata yang enak didengar: Untung.
Untung di kekristenan ada KEPERCAYAAN bahwa Yesus Kristus tidak menikah, mati muda di tangan kolonial Romawi. Ihwal bagaimana fakta sejarahnya, biarlah orang bebas cari tahu sendiri. Lagipula, apapun fakta sejarahnya yang bisa diungkap, orang Kristen umumnya memilih untuk mempertahankan keyakinan itu, bahwa Yesus tidak pernah kawin dan tidak pernah punya keturunan.
Tapi tetap harus diingat, sekalipun Yesus dipercaya tidak kawin, selibat tidak dipuja oleh umat Kristen, bahkan juga oleh, sebagai contoh, umat Gereja Roma Katolik yang para rohaniwannya menjalankan kehidupan selibat hingga saat ini dan sejauh saya tahu.
Yang sudah jelas dan pasti, ini: Tak pernah ada kasus apapun, sejak kekristenan lahir hingga kini, tentang orang yang mengklaim atau diklaim sebagai SEDARAH SEDAGING dengan Yesus, sebagai KETURUNAN ke sekian Yesus. Kalau Yesus punya keturunan darah dagingnya sendiri yang juga punya keturunan lagi dst, dst, waah bisa rame juga tuh dunia ini dengan klaim-klaim yang diajukan orang bahwa mereka keturunan Yesus, untuk mencapai berbagai tujuan dan memenuhi segala kepentingan mereka masing-masing.
Kalau itu terjadi, wah kejadiannya bisa jauh lebih rumit lagi ketika orang menyamakan KRISTOLOGI dengan BIOLOGI.
Jelas, Yesus diberi banyak gelar oleh gereja-gereja awal dulu, terutama atau lebih banyak setelah kematiannya, termasuk gelar “Tuhan yang bangkit dari kematian” (ini digolongkan sebagai gelar-gelar “pasca-Paskah”). Gelar paling puncak (bukan paling akhir dalam trajektori teologi Kristen perdana) diberi kepada Yesus ketika Yesus dipercaya dan diseru sebagai Tuhan (Yunani: kurios), bukan sekadar tuan. Maka sebagai Tuhan, kalau Yesus punya anak dan cucu dan cicit dst dst dst, orang-orang yang mengklaim diri sebagai keturunan Yesus pun akan diberi atau memakai gelar Tuhan untuk mereka sendiri-sendiri. Tuhan melahirkan Tuhan melahirkan Tuhan melahirkan Tuhan, dst.
Kondisi ini berubah jadi jauh lebih runyam, ketika, dengan tanpa pengetahuan, alias dengan naif, kristologi diubah begitu saja jadi biologi dan juga jadi ginekologi atau ilmu kandungan dan kebidanan.
Dengan diubah begitu, olok-olok pun muncul: Loh Tuhan melahirkan Yesus sebagai Anak Tuhan, bahkan bukan cuma sebagai Anak, tapi sebagai Tuhan sendiri. Kok Tuhan Kristen bisa hamil, bisa bunting, bisa mengandung, lalu beranak? Di situlah kristologi diubah jadi biologi dengan aneh dan tidak wajar.
Si pengubah, siapapun mereka, dan berapa banyakpun mereka, jelas tak tahu bahwa gelar Anak Tuhan atau gelar Tuhan ada dalam dunia teologi, persisnya dunia kristologi, bukan dalam dunia biologi. Selain itu, kita juga perlu tahu gelar “Anak Tuhan” itu tidak satu makna, tapi ada beberapa, jika dipahami dengan latarbelakang politikoreligius Yahudi dan non-Yahudi. Bangsa Israel kuno sebagai satu kolektivitas, misalnya, disebut juga sebagai “anak Tuhan”. Orang-orang Yahudi yang dipandang suci, yang hidup kurang lebih sezaman dengan Yesus tapi tidak dikisahkan dalam Perjanjian Baru, juga diberi gelar “anak Allah”, misalnya sosok suci Hanina ben Dosa.
Mungkin sekali para pengolok itu tidak paham apa itu kristologi. Baiklah saya dengan rendah hati mau bantu memberi penjelasan, diterima alhamdulilah, tidak diterima juga alhamdulilah. Saya tidak mau ucapkan kata astagafirullah.
Kristologi itu masuk wilayah teologi, dan semua teologi masuk wilayah IDEOLOGI, bukan wilayah sains.