Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sekitar Teks Al-Maidah 51: Apa Akar Soalnya?

9 Oktober 2016   20:28 Diperbarui: 10 Oktober 2016   19:55 2039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh Teks Suci Kuno Asli. Papirus Bodmer VIII (1 dan 2 Petrus). Dipajang di Biblioteca Apostolica Vaticana. Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/New_Testament#/media/File:Papyrus_Bodmer_VIII.jpg

 

Kita semua tahu apa yang sedang berlangsung sekarang di NKRI, di DKI Jakarta khususnya, terkait surat Al-Maidah 51 di tengah suasana jelang Pilkada DKI 2017. Dalam sikon ini, sahabat saya MGR, seorang Muslim sekolahan, menulis di akun Twitter-nya (9 Oktober 2016) bahwa “Al-Maidah 51 konteksnya kekalahan di Perang Uhud, bukan kekalahan Pilpres 2014; konteksnya Peperangan, bukan Pilkada.”

Pertanyaannya: Kenapa sampai bisa terjadi teks Al-Maidah 51 seolah menjadikan suasana jelang Pilkada DKI 2017 suasana perang, tentu bukan perang fisik, tetapi perang ideologis yang memasukkan unsur-unsur SARA? Bukankah orang Indonesia dikenal ramah dan berpengalaman hidup rukun dalam segala bidang, dengan berlandaskan keberanian yang luhur, yang tegak di atas kesucian. Sang Saka Merah Putih adalah saksinya.

Hemat saya, salah satu akar terpenting masalahnya adalah ini: Umat tidak pernah dengan memadai dibekali ilmu tafsir historis, yaitu ilmu menyelidiki dan menemukan maksud atau pesan teks-teks suci dalam konteks sejarah dan sosiobudaya para penulis teks-teks itu dulu di dunia yang lain. Setiap teks suci selalu terikat dengan konteks sejarah dan konteks sosiobudaya zaman lampau, tidak pernah murni melayang turun sendiri dari suatu tempat di luar dunia yang tanpa konteks.

Karena tidak diajarkan dan dilatih ilmu tafsir historis, umat menjadi literalis. Artinya, bagi mereka, apa yang sudah tertulis di kitab suci apa adanya, berlaku abadi apa adanya di seluruh jagat raya, berlaku absolut kapan dan di manapun dan bagi siapapun. Inilah posisi literalis, posisi umum kebanyakan orang yang beragama apapun terkait kitab-kitab suci mereka masing-masing.

Baiklah kita andaikan saja bahwa makna atau pesan murni suatu teks suci pernah ada “dari langit”. OK-lah! Tapi, perlu ditegaskan, arti literal murni teks suci apapun sudah mustahil didapat, pertama karena setiap penerima pesan-pesan dari sorga atau orang-orang lain yang mewakili mereka harus berpikir dan menulis dalam bingkai alam pemikiran dan kebudayaan masyarakat mereka di zaman mereka. Tanpa kebudayaan, tidak ada teks apapun!

Selain itu, karena bahasa apapun, termasuk bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab suci, terus berubah sejalan gerak waktu dan tempat. Karena watak dinamis semua bahasa, tidak ada makna satu kata apapun yang tetap statis, tidak berubah ratusan atau ribuan tahun. Selain itu, ada sangat banyak kata yang lenyap dan juga ada banyak bahasa yang punah, tertinggal hanya sebagai bahasa-bahasa mati warisan zaman purba. Sebaliknya, ada banyak juga kata dan bahasa baru yang muncul sejalan gerak waktu dan perpindahan tempat.

Penerjemahan dari, misalnya, bahasa Arabik abad ke-7 M di tanah Arab ke bahasa Indonesia abad ke-21 di Nusantara juga tidak memungkinkan literalisme berfungsi. Setiap penerjemahan melibatkan penafsiran dan rekonstruksi bahasa, dari bahasa A ke bahasa B, dan sebaliknya, dan dalam prosesnya bahasa ibu si penerjemah juga ikut campur dalam usaha penerjemahan. Akibatnya: makna murni teks tidak bisa ada.

Jika bahasa asli zaman kuno di dunia lain dipelihara dan dipertahankan dalam edisi-edisi kitab-kitab suci di zaman sekarang, saat teks-teks kuno ini dibaca dan mau dipahami di NKRI abad ke-21, si pembaca jelas berpikir dalam bahasa ibu, tidak dalam bahasa asli teks-teks kitab-kitab suci.

Kemurnian pesan sebuah teks kuno juga tidak ada sebab semua orang memiliki otak yang tidak kosong saat sedang membaca dan mau memahami teks tersebut. Berhubung sebelumnya sudah ada ide-ide tertentu dalam otak pembaca yang berasal dari alam sosiobudaya NKRI abad ke-21, makna murni teks tidak ada. Alih-alih memperoleh pesan murni teks, si pembaca malah menyusupkan ide-idenya sendiri ke dalam teks yang lalu diklaimnya sebagai pesan murni teks.

Jadi adalah mitos jika ada orang yang mengklaim bahwa mereka tahu persis sepersis-persisnya makna dan pesan teks yang murni, yang langsung datang dari Allah sepenuh-penuhnya. Tidak ada satupun orang di dunia ini yang tahu sepersis-persisnya isi pikiran Tuhan yang mahatahu, sebab mereka juga harus menafsir, dan setiap tafsiran tidak pernah murni. Kondisi ini terjadi bukan hanya di masa kini, tetapi juga di masa kelahiran setiap agama yang segera disusul dengan kemunculan banyak aliran dalam satu agama yang dianut komunitas-komunitas paling awal yang ternyata sudah beranekaragam dan kerap berkelahi dan berperang satu sama lain.

Penting dicatat, pernyataan bahwa sebuah pesan teks “datang langsung dari Allah” adalah sebuah ide yang dipercaya saja, tidak dapat dibuktikan, tapi sudah tertanam dalam otak nyaris setiap anggota umat semua agama. Ini adalah suatu ide umum yang dipegang dan dipercaya oleh seluruh agama yang diklaim sebagai agama dari langit, agama-agama samawi, agama-agama wangsit.

Jika begitu, dari mana makna teks itu muncul? Makna teks-teks kitab suci apapun muncul tidak murni dari dunia kuno atau dari langit, tapi dari interaksi teks-teks tersebut dengan manusia, dulu, kini maupun di era yang mendatang, di setiap bagian dunia. Karena setiap masyarakat berjalan menurut suatu sistem yang ditetapkan bersama, yang kita sebut sistem sosial, maka makna kata-kata dan kalimat-kalimat dalam semua kegiatan komunikasi sosial masyarakat apapun selalu diberi oleh sistem sosial.

Jadi, mengenali dan memahami sistem sosial suatu masyarakat sangat diperlukan jika kita mau menemukan makna kata-kata dan kalimat-kalimat dalam komunikasi-komunikasi sosial yang berlangsung di dalam masyarakat itu. Sebaliknya juga betul: kata-kata dan kalimat-kalimat juga menggambarkan atau mencerminkan suatu sistem sosial masyarakat pemakai satu atau lebih bahasa. Dan ingatlah, semua sistem sosial selalu berubah, dinamis, tidak statis. Dengan begitu, makna kata dan kalimat juga tidak pernah diam, murni, tapi selalu dinamis, berinteraksi, berubah.

WNI abad ke-21 dipisah jurang sejarah dan jurang sosiobudaya yang lebar dan dalam dari para penulis kitab-kitab suci zaman kuno di manapun. Jurang sejarah yang berabad-abad lebarnya dan jurang curam sosiobudaya membuat makna murni teks suci apapun untuk abad ke-21 di NKRI tidak pernah ada. Waktu yang berjalan, dan kebudayaan yang berubah dan berkembang, membuat segala sesuatu, termasuk makna kata dan kalimat, terus berubah dan bergeser atau berganti.

Karena makna atau pesan murni teks suci apapun untuk Indonesia abad ke-21 tidak ada, maka akibatnya mudah sekali teks suci apapun digunakan semau-maunya oleh pihak-pihak manapun. Penggunaan teks-teks suci semaunya demi melegitimasi kepentingan sosio-religiopolitik sudah banyak terjadi di semua agama, dulu, kini dan seterusnya (selama agama-agama masih ada).

Jadi, sama sekali tidak mengejutkan jika ada teks-teks suci yang oleh manusia-manusia kerdil diolah begitu rupa untuk bisa melegitimasi perbudakan manusia, untuk menggerakkan perang, untuk menebar fitnah, untuk meraup uang dan kekayaan tanpa batas, atau untuk meninabobo manusia dan menghilangkan kesadaran kritis mereka, dengan kata lain: untuk mencuci otak. Sudah banyak kajian ilmiah yang membeberkan fakta-fakta yang menyedihkan ini.

Hal yang mengagetkan adalah ini: Jika dalam suatu negara modern yang demokratis dan majemuk seperti NKRI, pemakaian dan pengolahan teks-teks suci untuk tujuan-tujuan tidak baik masih ada, dan dibiarkan terus.

What next, then? Supaya kitab suci apapun dapat membantu manusia untuk hidup lebih baik dan peradaban bergerak maju, memahami kitab-kitab suci dengan metode ilmiah tidak terhindar. Suatu keniscayaan!

Menafsir teks-teks suci dengan bertanggungjawab dan profesional harus melibatkan interaksi kreatif berbagai disiplin ilmu pengetahuan, yang kemudian dibuat berkonvergensi menurut prosedur keilmuwan. Pendekatan keilmuwan ini memerlukan ilmu sejarah, ilmu politik, arkeologi, linguistik, filologi, semantik, etimologi, antropologi, kritik sastra, beranekaragam sosiologi, hermeneutik, dll., untuk memahami teks-teks suci kuno.

Interaksi dan konvergensi berbagai disiplin ilmu ini perlu untuk menghindari penggunaan dan manipulasi teks-teks suci yang dilakukan semena-mena. Barangsiapa mencintai kitab sucinya, orang ini akan memakai berbagai ilmu pengetahuan yang memadai untuk memahaminya. Cinta kepada Tuhan Allah membuat orang cinta kepada ilmu pengetahuan. Tidak mungkin seorang yang mengasihi Tuhan Allah akan membenci dan mencurigai ilmu pengetahuan. Allah itu mahatahu; karena itu, segala ilmu pengetahuan adalah jalan-jalan mulia untuk masuk ke pengetahuan-pengetahuan Tuhan yang tanpa batas dan tanpa akhir.

Ilmu pengetahuan, bukan politik kotor, menuntun kita untuk dapat mendengar apa firman Tuhan tempo dulu di sana (yang ditemukan lewat media ilmu pengetahuan), dan apa firman Tuhan di masa kini dalam NKRI di sini (yang juga ditemukan lewat perantara ilmu pengetahuan). Tanpa pengetahuan yang benar, kita akan nyasar berjalan.

Usaha ilmiah untuk menemukan pesan sebuah teks suci di era dulu di dunia lain, dinamakan EKSEGESE (Gerika), artinya “menarik keluar” pesan teks. Kebalikan eksegese adalah EISEGESE, yaitu “memasukkan ide dan kepentingan sendiri ke dalam teks”, lalu mengklaimnya dan mengabsolutkannya sebagai firman Allah. Jalankan eksegese, dan jauhkan diri dari eisegese, jika anda mencintai kitab suci dan Tuhan anda.

Setelah lewat eksegese pesan suatu teks dalam konteks sejarah dan konteks sosiobudaya kuno si penulisnya didapat, kita selanjutnya masuk ke hermeneutik. Hermeneutik (kata kerja Gerika: hermeneuein) adalah suatu usaha ilmiah mendialogkan pesan teks-teks kuno dulu di sana dengan sikon masa kini di NKRI yang memiliki pola pikir dan cara hidup sosbudpol yang berbeda. Lewat hermeneutik, akan ditemukan apakah suatu teks suci masih relevan atau sudah tidak relevan di masa kini NKRI dan di masa depan juga. Hanya Tuhan yang abadi; teks-teks tentang Tuhan ya bukan Tuhan.

Hermeneutik memerlukan pengenalan dan pemahaman yang akurat dan mendalam tentang sikon NKRI masa kini dan corak iklim sosiobudaya dan sosiopolitiknya. Ini tentu saja memerlukan orang bersekolah untuk mempelajari dan memahaminya. Sekolah, sekolah, sekolah, yang cerdas, dialogis dan terbuka. Bukan indoktrinasi atau cuci otak.

Langkah yang paling masuk akal ke depan demi NKRI yang lebih baik adalah: Jadikan eksegese dan hermeneutik subjek-subjek studi wajib di sekolah-sekolah yang relevan.

Mari kita lakukan dengan bersemangat dan optimistik. Jadikan agama-agama unsur pemersatu bangsa dan NKRI yang jaya, bukan unsur pemecahbelah dan persengketaan. Kerja keras, tekun, cerdas dan ikhlas diperlukan untuk tiba di situ. Bersatu kita kuat. Bercerai kita kesepian dan sebatangkara di antara reruntuhan dan puing-puing kebangsaan dan kenegaraan.

Tulisan saya ini hanya sebuah petunjuk jalan yang perlu ditempuh jika orang-orang yang beragama apapun ingin dapat menangkap pesan-pesan teks-teks suci dalam kitab-kitab suci mereka masing-masing dengan profesional dan bertanggungjawab. Alhasil, tercegahlah penggunaan teks-teks suci apapun untuk keperluan-keperluan yang tidak sejalan dengan kasih sayang Tuhan Allah. Tulisan ini akademik, jadi berlaku universal, tidak partisan.   

Jakarta, 9 Oktober 2016

The Speaking Silence
ioanes rakhmat

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun