Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seluk-beluk Orientasi Seksual LGBT (Bagian 2)

13 Juli 2016   13:31 Diperbarui: 9 Maret 2018   16:41 1591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nah, untuk orang-orang lain yang suka melecehkan bahkan membenci para homoseksual, umumnya karena alasan-alasan keagamaan yang kolot dan karena memang tidak mengikuti perkembangan kajian-kajian sains atas homoseksualitas, saya mau kutipkan pernyataan Paul Henry Gebhard dalam sebuah artikelnya di Encyclopaedia Britannica yang berjudul “Human Sexual Behaviour”, bahwa

“Setelah segalanya diperhitungkan, maka seperti semua aspek penting lainnya dalam kehidupan manusia, seksualitas juga harus ditangani pada level individual dan level sosial, dengan sekaligus memakai rasionalitas, sensitivitas, dan toleransi. Hanya dengan sikap seperti ini, masyarakat dapat menghindari masalah-masalah individual dan sosial yang muncul dari kebodohan dan kesalahan konsep.”/46/

Kalau anda memakai dalil-dalil agama untuk menolak hak hidup dan hak bermasyarakat kalangan LGBT, berilah juga ruang lebar untuk orang bersikap simpatik dan empatetik terhadap kalangan ini atas dasar temuan-temuan ilmu pengetahuan modern tentang orientasi seksual dan atas nama kemanusiaan global.

Tokh kita semua sudah tahu, ilmu pengetahuan itu tidak memihak ideologi apapun (meskipun para politikus dan para pengpeng kerap juga berusaha keras untuk mencari dan memperoleh banyak keuntungan pribadi dari dunia sains), tetapi berlaku universal, dan dinamis, dan kini sudah dan sedang masuk ke semua bidang kehidupan kita, bahkan mengendalikan kehidupan kita sampai ke hal-hal yang paling personal.

Di tangan para saintis agung, ilmu pengetahuan (dan teknologi sebagai terapannya) menjadi suatu wahana paling cerdas untuk memajukan peradaban manusia, bukan hanya di planet Bumi ini, tetapi juga demi mempertahankan kehidupan spesies Homo sapiens ketika nanti spesies ini, dalam proses evolusi mereka (yang alamiah dan yang dirancang sendiri lewat teknologi), akan membangun sebuah peradaban sistem Matahari, yang akan disusul dengan sebuah peradaban galaktik dan seterusnya.

Soal LGBT hanyalah soal setitik debu partikel dalam kosmos kita yang tanpa batas dan terus mengembang makin cepat, dan abadi. Masih ada segunung persoalan lain yang sangat jauh lebih besar yang kita semua sedang dan akan hadapi dengan cerdas.

Meski hanya isu sebesar satu titik debu dalam jagat raya, di planet Bumi dan di Indonesia khususnya perjuangan untuk menerima dan menyayangi para LGBT adalah suatu perjuangan besar, sebab akan tetap ada usaha-usaha dari para ideolog anti-LGBT untuk menjahati dan mengkriminalisasi kelompok minoritas LGBT. 

Terkait berbagai usaha legal dalam beberapa tahun terakhir ini untuk mengkriminalisasi LGBT, kita sudah mengetahui ihwal bahwa Mahkamah Konstitusi RI sudah mengambil suatu keputusan yang patut.

Di Jakarta, Kamis, 14 Desember 2017, Mahkamah Konstitusi RI memutuskan menolak LGBT (dan hubungan di luar nikah) dikriminalisasi, karena bukan wewenang MK sebagai suatu lembaga yudikatif untuk merumuskan tindak pidana baru yang menjadi wewenang pembentuk UU (yakni DPR dan Presiden, sebagai "positive legislator"). Sejauh menyangkut UU, MK memiliki wewenang hanya sebagai "negative legislator" yang dapat menolak suatu UU jika terbukti UU tersebut bertentangan atau tidak konsisten dengan UU lain yang lebih tinggi.

Dari 9 hakim MK, yang mendukung keputusan itu 5 orang hakim (Saldi Isra, Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, M. Sitompul, dan Suhartoyo), sedangkan 4 hakim lainnya mengambil sikap berbeda.

Keputusan MK tersebut diambil sebagai respons atas permohonan uji material atas KUHP pasal-pasal 284 (tentang perzinahan), 285 (tentang perkosaan), dan 292 (tentang percabulan anak) yang diajukan AILA (Aliansi Cinta Keluarga Indonesia) yang diketuai Rita Hendrawaty Soebagio, dengan salah seorang anggotanya Prof. Euis Sunarti (guru besar bidang ketahanan keluarga Institut Pertanian Bogor). Pada sisi lain, Dian Kartikasari, seorang anggota Koalisi Perempuan, menyatakan bahwa keputusan MK itu menunjukkan MK "memenangkan akal sehat."

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun