Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Emha Ainun Nadjib dan “Sang Tamu” Penyerobot Rumahnya

28 April 2016   11:17 Diperbarui: 9 Mei 2016   16:12 11076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buya Syafii Maarif yang kita semua segani menyatakan, “Aku tidak pernah meragukan keindonesiaan Ahok. Terobosan dia bukan hanya soal korupsi, tapi juga ada nilai-nilai yang lain.” Buya Maarif mengucapkan ini tanggal 3 Juli 2015.   

Sebagian rakyat miskin di DKI yang dicintai Gubernur Ahok ini semula membangun rumah-rumah seadanya di atas tanah milik negara atau kawasan-kawasan umum dan khusus yang oleh hukum dilarang dijadikan tempat tinggal. Kini, lewat program relokasi, banyak dari antara mereka telah pindah dan mendiami rusunawa (rumah susun sederhana sewa) atau rusunami (rumah susun sederhana milik sendiri) di tempat-tempat lain. Kedua jenis rusun ini didukung berbagai fasilitas dan sarana-prasarana lain untuk membuat mereka bisa hidup dengan baik setelah mengalami relokasi.

Tentu di tempat-tempat tinggal baru itu masih ada sejumlah persoalan lain sebagaimana lazimnya di dalam semua masyarakat manapun di dunia, dan khususnya masalah sosiopsikologis yang dinamakan kejut budaya (“culture shock”). 

Kejut budaya umumnya dialami orang-orang yang pindah tempat tinggal ke kota lain yang asing, teristimewa ke sebuah negara lain yang penduduknya berbicara bahasa asing dan menjalankan suatu kehidupan berbudaya yang sangat berbeda. Kehilangan teman-teman lama, sanak-saudara lama, dan keharusan melepaskan gaya hidup dan kebiasaan lama, ikut menimbulkan kejut budaya yang dialami seseorang. Mengatasi kejut budaya perlu waktu dan harus melibatkan para profesional lintasbidang kehidupan.

Juga kita perlu eling bahwa ada sangat banyak pekerja kecil penduduk DKI, atau karyawan kecil penduduk di kawasan-kawasan satelit DKI, yang berjuang sungguh-sungguh keras, banting tulang, siang dan malam, cari nafkah, dan hidup sangat hemat. Untuk apa? Untuk bisa memiliki sebuah rumah sederhana sendiri lewat kredit bank selama puluhan tahun. Sekali lagi, selama puluhan tahun! 

Kalangan pekerja keras yang berjuang untuk bisa punya rumah sendiri yang sah ini punya martabat. Mereka tidak mau menyerobot tanah negara atau kawasan-kawasan umum atau kawasan-kawasan khusus yang oleh hukum tidak boleh dijadikan tempat tinggal. Hanya orang yang tidak sadar hukum dan telah kehilangan martabat akan menyerobot lalu mendiami sendiri kawasan-kawasan ini dengan membangun rumah-rumah atau bedeng-bedeng seadanya, atau, lebih ganjil lagi, menyewakan rumah-rumah asal jadi ini ke orang lain.

Tidak adanya pengawasan dan tindakan yang legal dan konsisten dari pihak yang berwenang di DKI selama ini juga menjadi salah satu sebab kawasan-kawasan perkumuhan dapat berkembang dan meluas dan menjalar sangat cepat di DKI, dan tentu juga di kota-kota lain.

Di DKI perumahan-perumahan kumuh sangat banyak dibangun di bantaran-bantaran sungai, di area sekitar waduk-waduk, di kawasan-kawasan yang harus dilintasi arus deras air hujan, dan di ruang-ruang terbuka hijau yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan penyerapan curah hujan. Kondisi kacau balau ini juga menjadi salah satu penyebab kota Jakarta selama puluhan tahun terserang banjir terus-menerus.

Selama ini, gubernur-gubernur DKI berganti-ganti, tapi kondisi kacau balau dan semrawut ini tidak pernah sungguh-sungguh dibereskan sampai tuntas. Gubernur Ahok belum lama ini mengungkapkan, sebelum era kepemimpinannya ada disediakan dana tanggap darurat banjir DKI dengan jumlah luar biasa besar, lebih dari Rp. 1 T. Loh, menguap ke mana tuh banjir uang sebesar itu selama ini? Ke mana? Kok semua diam? Diam, apakah karena telah ikut menikmati lezatnya uang berjumlah besar ini? 

Setiap kali banjir merendam banyak wilayah di DKI, dari tahun ke tahun, masyarakat dan pemerintah dirugikan bermilyar-milyar rupiah. Selain itu, kesedihan, kedukaan dan azab yang ditimbulkan oleh banjir tidak bisa dihitung dan dinilai dalam jumlah berapa rupiah pun. 

Sejauh saya tahu, baru di era kepemimpinan Gubernur Ahok kondisi kacau balau ini dengan serius sedang diatasi dengan programatis. Hanya orang yang mau mengeruk berbagai keuntungan dari kekumuhan dan banjir, yang akan selalu menentang Gubernur Ahok, lewat anekaragam cara. Kekejian mereka lebih keras menerjang ketimbang terjangan arus banjir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun