Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Prof. Franz Magnis-Suseno dan Ahok sekitar Relokasi

26 April 2016   13:21 Diperbarui: 30 April 2016   00:12 5197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari kawasan kumuh diubah ke Rumah Deret dan Rumah Susun. Ini manusiawi. Tidak membunuh, malah memperpanjang umur warga. Sumber: http://otomotipsntricks.blogspot.co.id/2015/02/wtf-siapa-suruh-datang-jakarta.html.

Beberapa hari lalu, 22 April 2016, rohaniwan Gereja Katolik di Indonesia, yang juga bekerja sebagai seorang mahaguru di STF Driyarkara, Rawasari, Jakarta, Rm. Franz Magnis-Suseno (FMS), menyatakan sesuatu di sebuah koran online Teropong Senayan tentang usaha relokasi penduduk kawasan Luar Batang oleh Pemprov DKI./1/

Rm. FMS melihat hal yang sedang terjadi adalah “penggusuran”, “pengusiran”, “kejahatan”, “kebiadaban”, “ketidakmanusiawian”. Beliau juga menghimbau atau, mungkin lebih tepat, memprovokasi warga mapan DKI untuk tidak “berpartisipasi dalam kebiadaban”, tapi harus berkeberatan dan melawan usaha-usaha penggusuran orang miskin yang sedang dijalankan Gubernur Ahok.

Saya dan banyak orang lain bertanya, apakah hal yang ditulis dalam Teropong Senayan itu otentik, atau hanya sebuah hoax, atau aspal? Pertanyaan ini akan saya jawab pada bagian akhir tulisan ini.

Hemat saya, Rm. FMS tidak tepat kalau bermaksud mendorong warga mapan DKI untuk bangkit lawan Ahok. Lagian, tak akan ada yang mau. Kalau mau unjuk pendapat, sebaiknya beliau datang saja langsung ke Balai Kota, debat ilmiah di sana dengan Gubernur DKI Pak Ahok. Adu mulut juga boleh. Asal jangan adu jotos.

Kekumuhan itu tidak manusiawi, tidak beradab, sumber banyak penyakit, TBC misalnya. Juga banyak bakteri yang kalau mendiami tubuh anak-anak, tubuh mereka lambat besar, ceking dan daya imunitas tubuh lemah. Kondisi ini umumnya akan bisa membuat kecerdasan anak-anak tidak dapat berkembang sehat. Kekumuhan tidak akan menjadikan bangsa dan NKRI maju dan hebat di masa depan, tetapi menghancurkannya.

Jangan juga dilupakan bahwa di negeri kita ini kekumuhan dan kemiskinan apapun dan dimanapun bisa dengan lihai dan licik dijadikan mesin-mesin pencetak uang oleh sejumlah kalangan yang tak punya nurani lagi. Tentang ini, anda bisa cek sendiri. Bahwa kawasan-kawasan kumuh melahirkan banyak penjahat dan kejahatan sudah kita semua ketahui; tidak mengejutkan, saya kira. 

Hal yang betul-betul membuat kita kaget dan marah adalah bahwa gedung-gedung megah lembaga-lembaga negara sudah terbukti juga bisa menjadi sarang para penilep uang negara besar-besaran! Gedung-gedungnya jelas modern, besar, bersih, jauh dari kekumuhan; tetapi sejumlah orang terhormat yang menggunakan gedung-gedung itu ternyata dapat berjiwa kumuh sekumuh-kumuhnya. Sangat tepat dan jitu jika Rm. FMS menudingkan dua telunjuknya kepada mereka sambil berkata keras, “Hai kalian, pelaku kebiadaban”!

Kita semua bertanya, Bagaimana kota megapolitan Jakarta jadi bisa semakin kumuh dari hari ke hari selama berdekade-dekade? Apakah ada jalan untuk mengatasinya? Perhatikan dua deskripsi berikut ini yang saya kutip dari suatu sumber online./2/

“Derasnya arus urbanisasi dan lemahnya pengawasan, telah membuat wajah Jakarta kian kumuh dan memelas. Semua tanah kosong terutama yang ada di bantaran-bantaran sungai dan waduk, rel-rel kereta api, bawah jembatan dan jalan layang, lahan-lahan tidur, jalur-jalur hijau, tempat pemakaman umum (TPU), dll, dengan sengaja mereka duduki dan huni secara liar dan semena-mena dengan mendirikan gubuk-gubuk liar dalam lingkungan super jorok, penuh sampah dan kumuh. Akibatnya: kondisi sungai-sungai dan waduk-waduk penuh sampah, makin dangkal dan sempit, sehingga begitu memasuki musim hujan, hanya dengan hujan yang sebentar Jakarta sudah banjir parah!”

“Terhadap komplek hunian kumuh yang legal dan tidak mengganggu sungai dan waduk, dilakukan pembongkaran, penataan dan pembangunan ulang dalam bentuk kampung deret yang lebih rapi, teratur dan manusiawi. Terhadap komplek hunian kumuh yang liar dan mengganggu kelestarian sungai dan waduk, dilakukan penggusuran bangunan, dan pemindahan bekas penghuni ke rumah-rumah susun ‘fully furnished’ yang lebih bermartabat dan manusiawi, yang bisa ditempati secara sewa dengan biaya super murah. Sungai-sungai yang sudah dibebaskan segera dinormalisasi (diperlebar, diperdalam, ditanggul dengan ‘sheet pile’ dan dibuatkan jalan inspeksi di kedua sisinya), sedangkan waduk-waduk yang telah dinormalisasi akan dilengkapi dengan taman-taman hijau dan sarana olah raga (minimal ‘jogging track’).”

Gubernur Ahok mau meniadakan kekumuhan. Bukan menggusur manusia, tetapi membongkar bangunan-bangunan kumuh. Bukan mengusir penghuni lama bangunan-bangunan kumuh itu, tapi merelokasi mereka.

Ketahuilah, di Jakarta sekarang ini ada 360 perkampungan kumuh, dari yang lumayan kumuh sampai yang sangat kumuh. Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Ahok sudah dan sedang merealisasi rencana untuk dalam 1 tahun 100 kampung kumuh akan ditata dengan anggaran Rp. 30 M sampai Rp. 50 M per kampung. Dalam penataan ulang ini, perkampungan-perkampungan kumuh itu akan berubah menjadi rusun-rusun (yang menciptakan jauh lebih banyak ruang yang bisa didiami ketimbang rumah deret), ruang terbuka hijau (RTH), perpustakaan, komplek umum olah raga, dengan ditopang sistem drainase air yang baik, alhasil rusun-rusun itu akan layak huni dan bebas banjir.

Tak pelak lagi, Rm. FMS salah, kalau bilang Gubernur Ahok menggusur orang atau mengusir manusia. Ahok bukan Soeharto. Ahok merelokasi penduduk yang mendiami tanah-tanah negara dengan ilegal atau kawasan-kawasan yang oleh hukum di atasnya dilarang dibangun rumah-rumah asal jadi, yang dengan cepat berubah menjadi kawasan-kawasan kumuh.

Penduduk di sana dipindahkan ke rusunawa (rumah susun sederhana sewa) atau rusunami (rumah susun sederhana milik sendiri) di tempat-tempat lain, yang dilengkapi dengan berbagai sarana-prasarana dan fasilitas lain yang menunjang. Tentu saja ada “S dan K” yang diberlakukan dengan terkontrol untuk menetapkan siapa yang berhak berdiam di rusunami dan siapa yang akan menghuni rusunawa, demi tertib administrasi dan memenuhi ketentuan hukum dan keadilan sosial.

Jadi, bukanlah suatu permainan kata jika yang dipakai kata “relokasi”, bukan kata “menggusur” atau “mengusir”.

Banyak orang mencurigai bahwa Gubernur Ahok sebetulnya mau mendirikan mall-mall baru atau kondominium-kondominium baru atau apartemen-apartemen baru bagi kalangan kaya di atas lahan-lahan yang telah dibebaskan lewat penggusuran, dengan sang gubernur ini kongkalikong bersama para konglomerat pengembang. Curiga terus! Kapan habisnya?

Orang yang selalu mencurigai orang lain mustinya mencurigai dirinya sendiri dulu, apa dirinya sendiri jujur atau tidak jujur, apa dirinya sendiri baik atau jahat, apa dirinya sendiri masih makan nasi atau malah sudah lama dengan nikmat memakan kertas-kertas berharga warna-warni tanpa pernah kenyang hasil tilepan.

Setahu saya, Gubernur Ahok sudah menetapkan larangan untuk sebuah mall baru dibangun lagi di DKI yang hanya akan banyak menguntungkan para kapitalis pengembang dari berbagai latarbelakang etnis. Selain itu, Jakarta juga memerlukan lebih banyak lahan atau ruang terbuka hijau (RTH) yang luas, yang berfungsi utama sebagai lahan serapan curahan air hujan untuk ikut mengatasi banjir di DKI.

Nah, kalau anda (yang selalu curiga dan paranoid terhadap Ahok) mau tahu mana fakta (Pemprov DKI) dan mana fiksi (ciptaan Yusril dan FPI) tentang penataan kawasan Luar Batang dan kawasan Pasar Ikan, baik yang sudah dijalankan maupun yang sedang dan akan dilakukan berdasarkan suatu perencanaan yang matang, infonya sudah dibeberkan oleh Pemprov DKI dengan gamblang dan terang. Dalam hal ini, oleh Deputi Gubernur bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jaya, Oswar Muadzin Mungkasa. Silakan klik link ketiga yang saya cantumkan di akhir catatan pendek saya ini./3/

Kalau anda atau, misalnya, Rm. FMS, masih juga tidak percaya setelah mengetahui fakta-fakta yang sudah dibeberkan itu, ya jalan satu-satunya yang masih tertinggal adalah ini: lewat doa yang khusuk, anda tanya langsung ke Tuhan di langit yang sunyi tanpa ada demo apapun di sana, mana yang faktual dan mana yang fiksional.

Nah, terkait relokasi apapun, tentu masih ada soal-soal lain yang tidak bisa dengan secepat kilat terselesaikan, sama seperti kalau kita pindah ke sebuah rumah lain di kota lain atau di luar negeri. Perlu waktu untuk betah. Untuk adaptasi diri. Untuk cari pekerjaan atau usaha baru. Untuk bergaul dan berbudaya baru. Pendek kata, untuk hidup baru, bukan untuk mati berkali-kali.

Kerap terjadi apa yang dinamakan kejut budaya atau “culture shock” kalau orang pindah ke kawasan baru yang asing, khususnya kalau kita pindah ke suatu negeri lain yang penduduknya berbicara dalam bahasa asing dan hidup berbudaya yang berbeda, dan kita kehilangan kawan-kawan lama dan sanak-saudara lama, dan harus mengubah gaya hidup dan kebiasaan lama. Kejut budaya ini memerlukan waktu panjang untuk dapat diatasi, lewat banyak tahapan. 

Nah semua tahap dalam beradaptasi, bersosialisasi dan menjalani suatu kehidupan baru di lingkungan yang baru ini, harus bisa dihadapi dan dilewati dengan melibatkan bantuan para profesional lintasbidang. Pemprov DKI tentu saja sama sekali tidak naif dalam hal-hal ini. Ada banyak tim ahli yang membantu Gubernur Ahok dalam berbagai bidang.

Jadi, lebih baik sebagai seorang rohaniwan, Rm. FMS terlibat dalam penanganan soal-soal sosiopsikologis itu yang muncul pasca-relokasi alih-alih memprovokasi warga mapan DKI untuk melawan Ahok. Sekali lagi, apa ada yang mau?

Saya sungguh kecewa kalau betul Rm. FMS berpandangan seperti yang terbaca dalam tulisan di Teropong Senayan tersebut di atas. Kelihatan beliau tidak tahu duduk persoalan sebenarnya yang memang tidak simpel. Saya sendiri diam-diam terus mempelajari langkah-langkah Gubernur Basuki dalam program-program relokasi penduduk di wilayah-wilayah tertentu DKI yang sedang diayunkannya.

Rm. FMS tentu punya kebebasan berpendapat. Tetapi sebagai seorang akademisi juga, mustinya beliau berpijak pada data dan fakta sebelum mengajukan pendapat negatif tentang relokasi penghuni kawasan Luar Batang. Pak Ahok punya segudang data di kantornya. Kunjungilah Gubernur Ahok di sana. Tukar pikiran tentang arah dan tujuan ke depan dari relokasi tersebut. Itu jauh lebih baik ketimbang sang romo ikut menyiram bensin ke dalam kobaran suasana yang sudah cukup panas untuk membakar lebih besar lagi.

Nah, kembali ke pertanyaan yang saya sudah ajukan di atas, otentikkah pendapat Rm. FMS dalam Teropong Senayan itu? Banyak orang meragukannya lantaran citra negatif telah ditempelkan pada Teropong Senayan yang kerap dipelesetkan menjadi Kedondong Senayan. Buah durian itu penuh duri di bagian permukaan luarnya; tetapi daging di dalamnya lembut dan lezat betul. Sebaliknya, kedondong itu licin di luarnya, tetapi daging di dalamnya keras dan penuh duri tajam. Sebagai manusia, kelihatannya Gubernur Ahok itu sebuah durian! 

Saya sudah cari info ke beberapa pihak yang kenal dekat Rm. FMS untuk memastikan apakah pendapatnya yang sudah viral sekarang ini otentik atau hoax atau aspal. Sampai detik ini, saya belum bisa memastikan.

Ada yang beri saya info, bahwa tulisan atau pendapat itu otentik, namun ditulis Rm. FMS di tahun 2003, ketika DKI dipimpin Gubernur Sutiyoso (6 Oktober 1997 hingga 7 Oktober 2007), tapi juga dibumbui oleh editornya dengan opininya sendiri di tahun 2016. Salah seorang yang berkeyakinan demikian adalah Andreas Yewangoe, mantan Ketum PGI. Tetapi, dalam hal ini, Yewangoe memandang Rm. FMS yang berbicara lewat Teropong Senayan 2016 itu adalah Rm. FMS era Gubernur DKI Fauzi Bowo (2007-2012). Apapun juga, artinya, Yewangoe tidak percaya kalau Rm. FMS dapat bersikap sangat antagonistik, berpandangan demikian negatif tentang relokasi di tahun 2016 ini saat DKI dipimpin Gubernur Ahok.

Tetapi, ada seorang romo kolega Rm. FMS yang kepada saya kemarin telah menyatakan bahwa betul itu pendapat Rm. FMS saat diwawancara beberapa hari lalu, 22 April 2016, yang kemudian diterbitkan dengan diberi banyak bumbu tak sedap oleh si jurnalis pewawancara. Meskipun demikian, sang kolega FMS yang telah berkomunikasi dengan saya itu menegaskan bahwa “KTP-ku tetap buat Ahok sebab Ahok jauh lebih baik dibandingkan orang-orang lain yang mau mencalonkan diri!”

Susahnya, sekali lagi, susahnya, saya sudah mendapat pemberitahuan bahwa Rm. FMS membisu abadi ketika seorang kolega beliau lainnya di pagi hari, 24 April 2016, dengan tatap muka memberitahu reaksi-reaksi yang sedang muncul terkait pendapat-pendapatnya tentang relokasi yang dimuat di Teropong Senayan sekaligus bertanya apakah pernyataan-pernyataan Rm. FMS itu otentik. Padahal mustinya Rm. FMS proaktif memberi klarifikasi. Ini jelas sangat membingungkan. Bukan mencerahkan.

Sikap membisu itu sangat bisa ditafsirkan bahwa Rm. FMS memang tetap konsisten dengan sikap dan pendiriannya sejak 2003 hingga 2016 bahwa beliau menolak setiap usaha penggusuran atau pengusiran orang miskin dari tempat-tempat tinggal mereka selama ini, sekalipun tempat-tempat tinggal mereka itu kumuh.

Dengan sikapnya ini Rm. FMS jadinya menutup mata terhadap perbedaan sangat mencolok antara sikap Soeharto (dan penerusnya) dan sikap Gubernur DKI, Pak Ahok, terhadap orang miskin yang berdiam di kawasan-kawasan pemukiman kumuh atau di kawasan-kawasan yang oleh hukum dilarang dijadikan tempat tinggal.

Seorang penulis menyatakan bahwa Rm. FMS memang konsisten sejak dulu anti-penggusuran; dan apa yang ditulis di Teropong Senayan, menurutnya, sejalan dengan sikap dan pendirian Rm. FMS sekarang. Si penulis ini berusaha menjelaskan ihwal mengapa Rm. FMS bersikap dan berpendirian anti-relokasi (atau “anti-penggusuran”) dengan berpaling ke sejarah kehidupan keluarga Magnis Suseno dulu di Eropa. Saya kutipkan suatu bagian tulisannya yang saya lihat paling penting dan ringkas mendeskripsikan “suasana hati” Rm. FMS. Tulis si penulis itu,

“Mungkin jauh di dalam lubuk hati Romo Magnis, seandainya Hitler tak pernah mendirikan Reich Ketiga dan seandainya Sekutu dalam Konferensi Postdam tak perlu mengizinkan pengusiran terhadap penduduk sipil Jerman yang tak memiliki kaitan secara langsung dengan kekejaman semasa Perang Dunia II, mungkin saat ini dia sedang hidup di istana yang indah, menikmati hari tua bersama anak-anak cucunya yang bermain di ladang pertanian yang luas dan mereka akan lebih banyak berkiprah dalam membangun negara Jerman, seperti para pendahulunya.”/4/

Saya cukup kaget membaca seluruh tulisannya, khususnya bagian yang saya telah kutip di atas. Jika analisis latarbelakang sejarah keluarga Rm. FMS itu betul, kesimpulannya adalah bahwa Rm. FMS anti-penggusuran karena dia traumatik dengan peristiwa-peristiwa di masa lalunya, yang seandainya tidak terjadi, dia akan menjadi seorang bangsawan besar di Eropa. Jika memang itu yang mau diungkap si penulis, saya jadi bertanya, apakah tulisannya itu sebuah ejekan, suatu sarkasme, atau suatu empati kepada Rm. FMS? Susah untuk menjawabnya. 

Pada sisi lain, jika memang begitu sikonnya, maka Rm. FMS sebetulnya tidak sedang memihak rakyat miskin yang direlokasi (atau menurutnya “digusur”), tapi sedang terus-menerus marah dan traumatik hingga di tahun 2016 ini karena beliau jadi tak bisa hidup di sebuah istana megah lantaran keluarganya di Eropa dulu pernah digusur. Saya sungguh tidak berani untuk menilai apakah penjelasan psikologis ini benar atau salah. Terserah si penulisnya saja.

Hal terpenting adalah kita semua pasti setuju bahwa tugas utama seorang gurubesar di bidang keilmuwan apapun adalah menyebar pencerahan dan kearifan, bukan kegeraman dan ketidaktahuan. Memberi bukan opini tanpa pijakan fakta dan data, tapi evaluasi ilmiah yang cerdas dan berintegritas.

Tetapi, apapun pendapat dan sikap Rm. FMS, itu urusannya sendiri. Yang penting, kita harus menentukan sikap dan pendirian kita berdasarkan nurani kita sendiri, kecerdasan, nalar, pengetahuan yang luas dan benar, dan marwah diri yang tidak boleh kita jual.

Salam,
Jakarta, 26 April 2016
ioanes rakhmat


Sumber-sumber:

/1/ Ini link-nya http://www.teropongsenayan.com/37268-frans-magnis-suseno-penggusuran-adalah-kejahatan-di-kota-beradab.

/2/ Ini link-nya “Sapa Suru Datang Jakarta”, http://otomotipsntricks.blogspot.co.id/2015/02/wtf-siapa-suruh-datang-jakarta.html.

/3/ Ini link-nya http://www.beritateratas.com/2016/04/pernyataan-deputi-gubernur-bikin-haru.html.

/4/ Baca lengkap Hanafi Wibowo, “Romo Magnis dan Penggusuran”, Qureta, 24 April 2016, pada http://www.qureta.com/post/romo-magnis-dan-penggusuran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun