Mohon tunggu...
I Nyoman Suka Ardiyasa
I Nyoman Suka Ardiyasa Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di STAH N Mpu Kuturan Singaraja

Tinggal di Kota Singaraja Bali Suka Baca dan Traveling

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nama Orang Bali Sudah Sangat Lengkap

16 Juni 2020   23:55 Diperbarui: 16 Juni 2020   23:51 2302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemberian nama kepada seseorang merupakan sebuah anugrah yang sangat luar biasa, sejelek apapun nama yang kita miliki merupakan anugrah dari kedua orang tua kita.

Tidak mungkin nama yang diberikan kepada kita kebetulan saja, atau bahkan asal-asalan saja namun pasti memiliki latar belakang tertentu.

Terlebih-lebih kita sebagai orang Bali memiliki nama yang khas, sekali kita menyebutkan nama kita sudah tentu orang dengan mudah menebaknya.

Nama diri orang Bali dibentuk sesuai sistem tata nama diri dan penggunaan sistem tata nama ini bersifat mengikat masyarakat Hindu Bali. Sistem nama diri orang Bali dimulai dari penerapan 1) unsur penanda gender, 2) unsur penanda wangsa  (dikenal dengan istilah kasta), 3) unsur penanda genetis (wangsa ibu kandung), 4) unsur penanda urutan kelahiran, 5) nama tengah, dan 6) nama keluarga.

Keenam unsur nama pembentuk sistem tata nama orang Bali ini dinamakan sebagai formulasi nama. Keenam unsur nama pembentuk formulasi nama orang Bali tersebut dibagi menjadi tiga komponen nama, yakni konten nama depan, konten nama tengah, dan konten nama belakang.

Bagian konten nama depan dibentuk oleh empat unsur utama yang menjadi ciri khas nama orang Bali, yakni unsur penanda gender, unsur penanda wangsa, unsur penanda genetik, dan unsur penanda urutan kelahiran. Konten nama tengah berupa unsur nama yang dibuat dari hasil kreatifitas orang tua atau keluarga.

Lainnya, konten nama belakang merupakan konten nama yang dibentuk dari nama marga atau nama keluarga.

Pandangan di atas merupakan konsep dasar sistem tatanama berdasarkan keturunan ini hingga kini masih tetap diacu sehingga nama seorang anak menjadi turun temurun dan sangat bervariasi penerapannya di daerah Bali.

Kedudukan dan status seorang wanita  (istri), baik yang berkasta ataupun tidak berkasta akan sangat memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Bali, khususnya yang berdasarkan keturunan atau berdasarkan purusa (patriarchaat) atau mengacu pada caturwangsa.

Sebuah keluarga kecil di Bali akan menggunakan tatanama bayi atau putra-putrinya yang lahir disesuaikan dengan lingkungan keluarganya.

Pola pemberian nama anak atau cucunya dapat penulis kemukakan rinciannya bahwa cara pemberian nama anak meliputi enam unsur atau komponen.

Berdasarkan bagan tentang struktur tatanama orang Bali, jelas kelihatan penggunaan unsur-unsur yang ada pada tatanan nama orang Bali itu tidak sama penggunaannya. Penulis dapat mengemukakan bahwa ada enam unsur penanda tatanama ini sebagai berikut.

Unsur I = bagian ini menandakan gender (jenis kelamin)

Unsur II = bagian ini menandakan kasta/warna (tatagela

Unsur III = bagian ini menandakan genetis (melihat garis kasta/warna ibu kandungnya)

Unsur IV = bagian ini menandakan urutan kelahiran

Unsur V = bagian ini menandakan nama administrasi atau sebenarnya (nama diri)

Unsur VI = bagian ini menandakan nama kula (famili,keluarga,orang tua), sebagai satu famili.

Nama Depan Menunjukan Gender (Penanda I dan Ni)

Gender mengacu dua hal atau dikotomi : pria (laki) dan wanita (perempuan). Dalam istilah bahasa Bali dan adat istiadat, sebutan laki-laki sebagai pewaris disebut purusa, dan wanita disebut predana..

Penanda gendernya diletakkan pada awal penulisan namanya, yakni penggunaan I untuk laki-laki Bali dan Ni untuk perempuan Bali. Dalam hal ini penggunaan unsur gender laki-laki penanda I pada kasta Ksatria, hanya pada (I Gusti) dan (I Dewa, 1 Dewa Ayu) dan Sudra (I Putu, I Wayan, I Gede), sedangkan penanda gender perempuan Ni hanya pada kasta Ksatria (Ni Gusti) dan kasta Sudra (Ni Luh, Ni Wayan, Ni Made, Ni Komang).

Selain penggunaan I dan Ni tersebut sebagai unsur penanda gender, ada juga penanda yang sudah menyiratkan makna gender perempuan seperti penggunaan kata Ayu, Istri, Luh.

Kosakata Ayu bermakna cantik, yang acuan penggunaannya adalah kecantikan wanita, dan penggunaan kosakata istri (BBH-bahasa Bali halus) dan luh (BBK-bahasa Bali kasar) memang bermakna wanita atau perempuan.

Misalnya pada nama Dayu (Ida Ayu), Cokorda Istri, Si Luh, Dewa Ayu, Sang Ayu. Ada juga kosakata khusus untuk penanda perempuan dan nama ini langsung mengacu gender perempuan seperti pada kata Desak. Penggunaannya dalam susunan penulisan nama seseorang diletakkan pada unsur ke-3, setelah unsur ke-2 (kasta).

Akan tetapi tidak semua orang Bali ditandai dengan gender I dan Ni ini, karena pada nama seperti Anak Agung, Cokorda, Ida Bagus, Ngakan, Si, Sang, Bagus sama sekali tidak menggunakannya.

Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh nama yang menggunakan penanda I dan Ni sebagai penanda I (gender).

Tatanama Menunjukkan Unsur Penanda Tatagelar (Kasta, Kelas, Warna atau Soroh)

Tatagelar yang menyatakan kasta di Bali itu sudah baku, yang terdapat pada penanda kedua (lihat bagan di atas). Adapun identitas kasta masyarakat di Bali telah diberi identitas berupa simbol berbentuk bahasa (word atau kata-kata, bahasa). 

Menurut Cirlot (1962) dalam Dictionary of Symbols makna simbol dinyatakan dapat ditandai dengan tiga macam cara, yakni : words, code, a thing. Dengan ini, penanda (simbol) untuk membedakan antara triwangsa (yang berkasta) dengan yang tidak berkasta diberi unsur sistem tatanama ke-2 ini ialah dengan cara memberi tatanan gelar (kasta) pada namanya. Sistem itu diatur demikian.

  • Golongan Brahmana diberi identitas nama; Ida Contoh : Ida Bagus, Ida Ketut, Ida Wayan, Ida Ayu;
  • Golongan Ksatria : diberi identitas nama : I Gusti, Anak Agung, Cokorda, Dewa Contoh : I Gusti, Anak Agung, Cokorda, I Dewa (laki)
  • Ni Gusti Ayu, Anak Agung Istri, I Dewa Ayu (wanita)
  • Golongan Wesia : diberi identitas nama :
  • Contoh : Dewa, Sang, Ngakan, Bagus (laki)
  • Desak, Sang Ayu, Si, Ayu (wanita)
  • Golongan Sudra : hanya diberi identitas urutan kelahiran dan nama diri (administrasi)

Tatanama menunjukkan unsurpenanda urutan Kelahiran

            Penanda unsur tatanama orang Bali berdasarkan urutan kelahiran ini memang menunjukkan keunikan dan khas. Anak yang lahir dalam kehidupan masyarakat Bali meliputi : anak l, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 hingga anak yang terakhir. Mengingat KB (Keluarga Berencana) belum ada pada zaman dahulu, kemungkinan anak yang lahir dalam sebuah keluarga bisa lebih dari 4 (empat) orang, di antaranya ada yang punya anak sampai 10 orang. Anak-anak ini akan memiliki urutan nama sampai hitungan keempat, dan urutan lima ke atas diberi penanda Ketut saja, yakni:.

  • anak pertama= diberi penanda urutan Putu, Gede, Wayan, Luh
  • anak kedua = diberi penanda urutan Made, Kadek, Nengah
  • anak ketiga = diberi penanda urutan Nyoman, Komang,
  • anak keempat = diberi penanda Ketut.

            Anak pertama dimulai dari penggunaan kata Gede berarti besar, atau Wayan berasal dari kata wayah yang berarti tua atau Putu berarti anak atau juga Luh untuk nama wanitanya. Anak kedua diberi nama Made yang berasal dari kata madya berarti tengah, dan sapaannya sering disebut Kadek. Anak kedua juga disebut Nengah. Anak ketiga diberi nama Nyoman atau Komang, berasal dari kosakata anom berarti muda. Anak keempat disebut Ketut, yang etimologinya berasal dari kata kitut berarti ekor. Dari urutan nama anak ke-l, 2, 3, 4 itu akan terdapat urutan nama tahap kedua (tagel pindo) yaitu untuk anak ke-5, 6, 7, 8, dan urutan anak tahap ketiga (tagel ping telon), yaitu anak ke-9, 10, 11, 12, hingga selebihnya. Kalau istilah dahulu, bila anaknya sepuluh maka sebutan urutannya adalah anak ke-l (Putu, Gede, Wayan), anak ke-2 (Made, Kadek), anak ke-3 (Nyoman, Komang), dan Ketut untuk urutan anak 4 sampai ke-10.

Akan tetapi, untuk menjaga kesimpangsiuran di antara urutan anak ke-5 hingga ke-10 tsb diadakan perubahan sebutan, yaitu : urutan tahap pertama (5,6,7,8) diberi urutan Putu-Made-Nyoman- Ketut, dan urutan nama tahap ke (9-10) biasanya diberi urutan Kitut-Kitut-Kitut-Kitut saja. Anak tahap ketiga (anak ke 9 dan 10) diberi urutan Kitut dan Kitut juga. Cara atau model lama ini dewasa ini telah diubah agar tidak membingungkan yang mengenalnya karena terlalu banyak bernama Ketut pada satu keluarga. Perubahan itu dimulai pada nama-nama pada tahap kedua (tagel pindo) dan ketiga (ping telon). Artinya, nama pada tahap kedua (Ketut-Ketut-Ketut-Ketut) itu akan diganti dengan sebutan baru yaitu Putu, Made, Nyoman, dan Ketut. Urutan tahap kedua ini diistilahkan Putu tagel pindo, Made tagel pindo, Nyoman tagel pindo, dan Ketut tagel pindo, serta urutan ketiga anak ke-9 dan 10 (Ketut-Ketut) dengan sebutan Putu tagel ping telu, Made tagel ping telu. Isilah tagel berarti kelipatan.

Tatanama Administrasi Sebagai Penanda Nama Sebenarnya

Nama Administrasi atau Nama Diri

            Penanda unsur tatanama orang Bali ini merupakan sebutan nama administrasi (nama diri) atau nama sebenarnya yang tercatat sebagai orang Bali. Pilihan penggunaan nama sebenarnya ini pada dasarnya, baik yang laki-laki maupun yang wanita akan mengacu pada nama (1) yang sudah mentradisi/umum, (2) yang menggambarkan suatu peristiwa, (3) menggambarkan sebuah kenangan/keadaan, (4) menyatakan harapan orang tua, dan (5) mengacu nama tokoh tertentu dalam bahasa Jawa kuno atau bahasa asing (Inggris), serta (6) mengandung kekhasan atau khusus di suatu daerah.

Nama Sapaan atau Nama Panggilan (Nama Jelek)

            Selain nama administrasi (nama diri) di atas ini, juga ada nama panggilan atau nama sapaan, yang diistilahkan sebagai nama jeleknya. Nama panggilan ini merupakan nama yang sukar diubah kare¬na bersifat penuh keakraban, khas dan punya kenangan. Misalnya, I Gusti Angkasa dipanggil Aang, Ida Bagus Sutresna dipanggil Oyes, dan I Gusti Ayu Made Astuti dipanggil Made Selepug. I Gusti Putu Subagia dipanggil Tembem dan I Ketut Wijana dipanggil Pak Hitem.

            Contoh-contoh lain sebagai nama sapaan adalah Sontol, Bontot, Biket, Sarlem, I Pelung, Dongkol, Gebiyug, Plitir, Mongol, Lo¬bak, Melunying, Sebak, Koyog, Leleng, Gentong, Sumping, Plinir, Gedembor, Otong, Tempos, Oncer, Ketoprak, Mang Dus, Bontoan, Krenyet, Grobag, Unyil, dan lain-lain. Misalnya, anak yang lahir ketika ada pasar malem di sebuah kota lalu anak lelakinya diberi nama Sarlem (singkatan dari pasar malem). Diberi panggilan Bontot karena ada persamaan dengan keadaan ketika kecil, dia seperti bentuk kue dodol yang kecil pendek dan disebut bontot. Dipanggil Gebiyug karena gebiyug berarti gebyag-gebiyug (suka bangun tidur saja kerjanya), dan diberi nama panggilan Koyog karena badannya kurus dan badannya suka oyog-oyog (bergoyang-goyang) karena kurusnya.

Nama Pungkusan (Nama Panggilan Berdasar Anak)

            Dalam kehidupan masyarakat Bali terdapat penggunaan tatanama yang disebut sama pungkusan. Artinya, nama seorang ayah sama dengan anaknya Gede, lalu nama pungkusan ayahnya dipanggil Pan Gedene. Bila anaknya gadis bernama Rusmini, maka nama pungkusan ayahnya adalah Pan Rusmini atau ibunya Men Rusmini. Nama pungkusan merupakan nama lain dari seorang ayah pada se¬buah keluarga kecil. Nama pungkusan ini yang berarti nama aslinya yang dibungkus masih berlangsung di dalam lingkungan masyara¬kat desa adat atau desa pakraman dan sudah tidak dipakai (tidak dikenal) lagi bila mereka hidup dan berada di kota.

            Dahulu ada sebuah larangan (tabu, pemali) seorang anak memanggil nama diri orang tuanya. Bila anak memanggil ayahnya atau ibunya dengan nama diri orang tuanya tersebut, maka anak itu dianggap tulah (berjalan dengan kepala di bawah) yang bermakna terkutuk. Sebab cara tersebut dianggap kurang etis atau kurang bermoral. Akan tetapi, pantangan (tabu) kini sudah hilang karena bilamana ada testing lisan anak untuk masuk Taman Kanak-Kanak (TK) seorang anak harus sudah tahu nama orang tuanya. Sebaliknya anak akan tidak lulus dan tidak diterima bila anak tidak tahu nama diri orang tuanya. Misalnya, Ida Bagus Karang di Kekeran dipanggil dengan pungkusan Pan Ginding, atau pungkusan Meme Gara untuk menyebut Ibu Ni Luh Kompyang dari anaknya yang nama tersulung I Wayan Gara.

Tulisan disarikan dari Buku "Tata Nama Orang Bali" Karya I Gusti Putu Antara

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun