Tatanama Administrasi Sebagai Penanda Nama Sebenarnya
Nama Administrasi atau Nama Diri
      Penanda unsur tatanama orang Bali ini merupakan sebutan nama administrasi (nama diri) atau nama sebenarnya yang tercatat sebagai orang Bali. Pilihan penggunaan nama sebenarnya ini pada dasarnya, baik yang laki-laki maupun yang wanita akan mengacu pada nama (1) yang sudah mentradisi/umum, (2) yang menggambarkan suatu peristiwa, (3) menggambarkan sebuah kenangan/keadaan, (4) menyatakan harapan orang tua, dan (5) mengacu nama tokoh tertentu dalam bahasa Jawa kuno atau bahasa asing (Inggris), serta (6) mengandung kekhasan atau khusus di suatu daerah.
Nama Sapaan atau Nama Panggilan (Nama Jelek)
      Selain nama administrasi (nama diri) di atas ini, juga ada nama panggilan atau nama sapaan, yang diistilahkan sebagai nama jeleknya. Nama panggilan ini merupakan nama yang sukar diubah kare¬na bersifat penuh keakraban, khas dan punya kenangan. Misalnya, I Gusti Angkasa dipanggil Aang, Ida Bagus Sutresna dipanggil Oyes, dan I Gusti Ayu Made Astuti dipanggil Made Selepug. I Gusti Putu Subagia dipanggil Tembem dan I Ketut Wijana dipanggil Pak Hitem.
      Contoh-contoh lain sebagai nama sapaan adalah Sontol, Bontot, Biket, Sarlem, I Pelung, Dongkol, Gebiyug, Plitir, Mongol, Lo¬bak, Melunying, Sebak, Koyog, Leleng, Gentong, Sumping, Plinir, Gedembor, Otong, Tempos, Oncer, Ketoprak, Mang Dus, Bontoan, Krenyet, Grobag, Unyil, dan lain-lain. Misalnya, anak yang lahir ketika ada pasar malem di sebuah kota lalu anak lelakinya diberi nama Sarlem (singkatan dari pasar malem). Diberi panggilan Bontot karena ada persamaan dengan keadaan ketika kecil, dia seperti bentuk kue dodol yang kecil pendek dan disebut bontot. Dipanggil Gebiyug karena gebiyug berarti gebyag-gebiyug (suka bangun tidur saja kerjanya), dan diberi nama panggilan Koyog karena badannya kurus dan badannya suka oyog-oyog (bergoyang-goyang) karena kurusnya.
Nama Pungkusan (Nama Panggilan Berdasar Anak)
      Dalam kehidupan masyarakat Bali terdapat penggunaan tatanama yang disebut sama pungkusan. Artinya, nama seorang ayah sama dengan anaknya Gede, lalu nama pungkusan ayahnya dipanggil Pan Gedene. Bila anaknya gadis bernama Rusmini, maka nama pungkusan ayahnya adalah Pan Rusmini atau ibunya Men Rusmini. Nama pungkusan merupakan nama lain dari seorang ayah pada se¬buah keluarga kecil. Nama pungkusan ini yang berarti nama aslinya yang dibungkus masih berlangsung di dalam lingkungan masyara¬kat desa adat atau desa pakraman dan sudah tidak dipakai (tidak dikenal) lagi bila mereka hidup dan berada di kota.
      Dahulu ada sebuah larangan (tabu, pemali) seorang anak memanggil nama diri orang tuanya. Bila anak memanggil ayahnya atau ibunya dengan nama diri orang tuanya tersebut, maka anak itu dianggap tulah (berjalan dengan kepala di bawah) yang bermakna terkutuk. Sebab cara tersebut dianggap kurang etis atau kurang bermoral. Akan tetapi, pantangan (tabu) kini sudah hilang karena bilamana ada testing lisan anak untuk masuk Taman Kanak-Kanak (TK) seorang anak harus sudah tahu nama orang tuanya. Sebaliknya anak akan tidak lulus dan tidak diterima bila anak tidak tahu nama diri orang tuanya. Misalnya, Ida Bagus Karang di Kekeran dipanggil dengan pungkusan Pan Ginding, atau pungkusan Meme Gara untuk menyebut Ibu Ni Luh Kompyang dari anaknya yang nama tersulung I Wayan Gara.
Tulisan disarikan dari Buku "Tata Nama Orang Bali" Karya I Gusti Putu Antara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H