Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

AHY Menjadi Menteri: Musim Dingin Demokrasi atau Rekonsiliasi Politik?

24 Februari 2024   10:37 Diperbarui: 24 Februari 2024   11:58 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat kenyataan saat ini, sesudah pemilu, dilantiknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi menteri agraria dan tata ruang -- pemimpin Demokrat yang selama hampir satu dekade berada di luar pemerintahan,  ingin membuktikan bahwa Jokowi memang membuat Gerakan Rekonsiliasi Politik untuk membuat dirinya aman dan damai, saat  meninggalkan kursi presiden. 

Selain itu,  estafet kepemimpinan negeri ini berjalan mulus, sehingga NKRI aman dari gonjang ganjing politik. Di koridor itu, seakan membenarkan kekuatan oposisi wajib diperlemah dengan cara merangkulnya. 

Pada sisi lain, nampaknya kata bijak Margaret Thatcher memang benar terjadi  atau tidak pada diri Jokowi, "Jika Anda hanya ingin disukai, Anda akan siap untuk berkompromi pada apa saja kapan saja, dan Anda tidak akan mencapai apa pun."  

Nampaknya pesan itu tidak selamanya tepat untuk Jokowi, sebab kompromi dengan Partai Demokrat, adalah langkah untuk  yang bijak, dan Jokowi mendapat dukungan untuk 'Soft landing' dan membuka tangga aman bagi Prabowo Gibran. Terjadi interaksi mutualisme, AHY untung, Jokowi-Prabowo Gibran juga untung. Itu dibolehkan di alam demokrasi Indonesia.  

Namun demikian, pada kondisi politik saat ini, menang Pilpres, belum jaminan kekuasaan akan mulus dan stabil, disinilah gunanya aliansi dan koaliasi pada system  demokrasi di negeri ini, kebijakan yang diambil presiden harus didukung suara mayoritas di parlemen. Untuk itu, koalisi harus dilakukan. Koalisi memungkinkan bagi-bagi kue lezat kekuasaan. Partai-partai akan ngiler dengan itu. Sebab sumber pendapatan partai memang lebih dominan sumbangan dari kader -kader yang mendapat kekuasaan baik di eksekutif maupun di legislative. Boleh percaya boleh tidak, pada dimensi ini, korupsi memang sulit diberantas. Oleh karena  menurut Lord Acton : " 'Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.-Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut korup secara mutlak.

Menggambarkan fenomena perpolitikan elit di Indonesia,  Sebuah tesis dari Gerth dan Mills, sebagai bentuk 'Disenchantment" benar benar diterjadikan oleh Jokowi, " Disenchantment" berarti pembuangan elemen magis dari pemikiran. Dalam hal ini dari pemikiran politik tanah air, yang selama ini, diliputi ketegangan. Pemikiran ketegangan dan dendam politik , antara Megawati dan SBY, serta petugas partai, ingin dipatahkan bahwa dalam kediriaan Jokowi , itu tidak berlaku.

Menurut Eu Jin Chua Editor Ensiklopedia Britannica, pengertian, 'Disenchantment" adalah Kekecewaan, dalam filsafat dan sosiologi, merupakan kondisi dunia setelah sains dan pencerahan telah mengikis pengaruh agama dan takhayul pada manusia. Sosiolog Jerman Max Weber berjasa mempopulerkan istilah ini dalam kuliahnya yang diberikan pada tahun 1918.

Kekecewaan atas ditinggalkannya  AHY , oleh Anies Baswedan,    menjadi 'a blessing in disguise' berkah keberuntungan tersembunyi bagi AHY dan Partai Demokrat. Maka , AHY  kini bisa lebih moncer dan sangat menarik, atau mendapat panggung yang tepat, banyak pihak mengharapkan AHY yang cerdas dan ganteng, apa lagi ketua Partai demokrat, yang berada di Middle partai, memang masih memiliki pendukung yang fanatik. Dengan para kader yang kuat dalam berargumentasi, tentu akan selalu membela kepentingan Jokowi, serta Prabowo Gibran. Dengan adanya kondisi demikian, suara nyinyir dari pihak Demokrat dapat dieliminasi.

Apa lagi, AHY dan Gibran merupakan sebuah generasi yang diharapkan memasuki era baru membawa Indonesia maju. Koalisi ini diharapkan terus berlanjut di masa depan. Walaupun nanti Gibran masuk menjadi pemimpin dari  partai lain selain PDIP.

Ketika kekecewaan politik terus mengkristal memang harus dibuat saluran yang dapat memberikan jalan untuk menampung aspirasi, ikut membangun negeri ini. Sebab kalau hanya omongan dan bersuara tanpa solusi, sejatinya hampa. Kondisi ini memberikan etika dan moral yang selama ini dianggap cacat untuk sebagian tokoh-tokoh masyarakat pun akan memudar dengan sendirinya. Benarkah demikian? Kita menunggu gerakan-gerakan yang membuat publik  tercengang sehingga  menjadi lupa terhadap kejadian sebelumnya.

Itu sebabnya, analisis tentang refleksi Krisis: Kekecewaan Politik, Kehancuran Moral, dan Integritas Politik yang dituduhkan sebagian tokoh-tokoh masyarakat kepada Jokowi, akan semakin melemah dengan dibangunnya " rekonsiliasi" AHY,ke dalam pemerintahan, Apakah benar terjadi demikian? Entahlah?

Paling tidak kita bisa menduga sementara berdasarkan tulisan "Tillyris, D. (2018). Reflections on a crisis: political disenchantment, moral desolation, and political integrity. Res Publica, 24, 109-131. Dia mengemukakan bahwa menurunnya tingkat kepercayaan politik dan jumlah pemilih, peralihan ke politik populis yang ditandai dengan seruan kepada 'rakyat' dan penolakan terhadap 'politik seperti biasa', hanyalah beberapa dari manifestasi budaya ketidakpuasan politik yang sering dilakukan untuk bisa berbagi kekuasaan (sharing power).

Politik demokrasi seperti terjadi negara berkembang, dan di Indonesia, menurut mereka, sedang berada dalam krisis. Meskipun banyak energi telah dikerahkan untuk meratapi status politik kita dan memikirkan rekomendasi untuk mengatasi krisis ini, di tengah banyaknya keluhan dan solusi, terdapat kebingungan yang diperankan oleh Jokowi dan termasuk keluarganya. Sejatinya merupakan tarian dari drama demokrasi yang sedang bertumbuh secara menyeluruh, termasuk di dalamnya, " karakter siap menang dan siapa kalah , secara ksatria.

Maka kita perlu harus berupaya mengeksplorasi pertanyaan yang terabaikan mengenai apa saja sebenarnya yang tercakup dalam krisis yang kita hadapi, dan, dengan melakukan hal tersebut, berupaya untuk mengurai kebingungan yang kita hadapi.

Dengan mengambil contoh dari Machiavelli dan pewaris nilai pluralismenya, saya berpendapat bahwa ada kesenjangan antara kehidupan politik yang baik secara moral dan kehidupan politik yang baik. Kegagalan untuk menghargai kemungkinan ini menyebabkan narasi krisis salah menafsirkan kekacauan moral dalam politik sehingga membuat kita salah memahami bagaimana kita harus menanggapi kekecewaan.

Memang, Secara khusus, Tillys, D. berpendapat bahwa: (i)  terdapat krisis moral dalam politik karena publik mempunyai pemahaman idealistis yang tidak memuaskan mengenai integritas politik; dan (ii) suatu kesalahan untuk membayangkan bahwa pemurnian moral dalam politik adalah mungkin atau diinginkan. Sederhananya, krisis yang dihadapi bukanlah krisis moral, namun lebih bersifat filosofis: krisis ini berkaitan dengan konsep-konsep yang digunakan---kualitas karakter dan konteks yang diasumsikan ketika merenungkan integritas politik.

Menurut, Russell Brand dalam artikel The New Statesman, mengungkapkan ketidakpuasannya dengan politik demokratis dan para prakteknya: 'Saya sama seperti kebanyakan orang kecewa dengan politik. Seperti kebanyakan orang, yang menganggap politisi sebagai penipu dan pembohong. (Merek 2013).

Deklarasi mereka mencerminkan arus pemikiran modern dan umum perasaan, sering kali dicirikan sebagai semacam 'kekecewaan'. Colbert (2015, hal. 468) menulis, menangkap 'fatalisme yang melingkupi kepentingan popular persepsi dunia politik kontemporer': 'kepercayaan umum yang menyatakan bahwa semua hal politisi 'pada dasarnya berkompromi [dan] tidak jujur'. Meskipun tampaknya luar biasa, pernyataan Colbert sesuai dengan keadaan politik kita dan semangat literatur yang berkembang tentang kekecewaan politik: meningkatnya tingkat ketidakpercayaan politik, peningkatan protes politik, pergeseran ke arah politik populis,yang ditandai dengan seruan kepada 'rakyat' dan penolakan terhadap 'politik seperti biasa', adalah beberapa di antaranya manifestasi yang sering dikutip dari budaya ketidakpuasan politik ( Boggs 2000).

Perbedaan pendapat mengenai besarnya dan gejala Terlepas dari kekecewaan, para cendekiawan, komentator, dan politisi dari semua kalangan sepakat sejauh ini: politik demokratis berada dalam krisis yang luar biasa dan memerlukan pembaharuan. Banyak energi yang telah dikeluarkan untuk tugas meratapi status tersebut politik kita dan merenungkan rekomendasi kebijakan untuk mengatasi persepsi ini krisis. Namun, di tengah banyaknya keluhan dan solusi, terdapat kebingungan; jelas kami keakraban yang besar dengan kekecewaan menyembunyikan kebingungan (Taylor 1992; Stocker dan Hay 2015).

Banyak yang telah ditulis mengenai krisis politik yang diakibatkan oleh manifestasi kekecewaan yang disebutkan di atas-defisit demokrasi', 'krisis demokrasi', 'musim dingin demokrasi", "kematian demokrasi", atau "pasca-demokrasi" adalah beberapa contoh yang sering terjadi frase-frase yang digunakan sebagai kependekan dari kegelisahan politik.

Kekecewaan, melainkan dengan dugaan krisis yang memicu kekecewaan dan kita pertama-tama adalah kelesuan politik yang terkait---keyakinan luas akan hal itu politik demokratis dilanda krisis moral yang luar biasa: yaitu kebaikan moral, kebajikan dan integritas telah terkikis oleh keburukan moral; bahwa mengejar kepentingan Bersama kebaikan telah digantikan oleh fragmentasi moral dan konflik.Mengambil contoh dari Machiavelli dan ahli warisnya yang pluralis nilai---khususnya,Isaiah Berlin, Stuart Hampshire, Martin Hollis, dan Bernard Williams---saya akan melakukannya mengeksplorasi kemungkinan yang terabaikan. Saya berpendapat bahwa ada perbedaan dan diskontinuitas antara kehidupan politik yang terpuji secara moral dan kehidupan politik yang berbudi luhur.

Kegagalan untuk menghargai kemungkinan ini menyebabkan narasi-narasi krisis moral salah mengartikan moral kekacauan politik yang membuat kita salah memahami bagaimana kita harus meresponsnya terhadap kekecewaan politik.1 Secara khusus, saya menyarankan bahwa: (i) perasaan kita terhadap krisis adalah, tingkat yang signifikan, salah arah: kita berpikir bahwa kita dihadapkan dengan sebuah krisis moral yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam politik sebagian karena kita mengalami kondisi yang tidak memuaskan pemahaman idealis tentang moralitas dan integritas politik; dan (ii) suatu kesalahan untuk membayangkan bahwa pemurnian moral dalam kehidupan masyarakat---yang menyeluruh penghapusan keburukan moral dan konflik dari politik---sebagaimana adanya mungkin atau diinginkan sering diasumsikan. Sederhananya, krisis yang kita alami bukanlah krisis moral, melainkan krisis filosofis di alam: ini berkaitan dengan konsep yang kita terapkan---kualitas karakter dan konteks yang kami asumsikan sambil merenungkan moralitas dan integritas politik

KEKECEWAAN POLITIK DAN KRISIS MORAL

Keyakinan akan adanya krisis moral dalam politik merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan aspek kekecewaan politik. Rasa kecewa, Charles Taylor tulisnya, adalah salah satu 'kerugian dan kemunduran': pemiskinan moral demokrasi politik---kegagalannya untuk memuaskan aspirasi moral kita---, yang mendorong kita untuk melakukan pencarian akan hal tersebut penarikan diri dari politik, atau, setidaknya, penolakan terhadap 'politik seperti biasa'. Politik kekecewaan, Taylor (1992, hal. 1) menyatakan, 'sebagian besar berasal dari' moral malaise yang menimpa politik modern.

Taylor tidak sendirian dalam mengungkapkan gagasan ini. Pada tahun 2010, Bunting dkk. diterbitkan sebuah pamflet berjudul Etika Warga Negara di Saat Krisis, yang menyampaikan makna secara langsung krisis moral: Dalam jajak pendapat yang dilakukan Forum Ekonomi Dunia ... dua pertiga dari sepuluh orang Negara-negara G20 percaya bahwa resesi ekonomi disebabkan oleh a krisis etika... Temuan jajak pendapat menunjukkan bahwa masih terdapat krisis yang meluas harapan publik yang harus ditunjukkan oleh mereka yang berada pada posisi... kekuasaan integritas... Ini adalah inti dari krisis ini... 'Ini salah' sudah lama terjadi tidak lagi memiliki validitas sebagai pernyataan politik ...Nilai-nilai [telah] menjadi sebuah bentuk putaran. (Bunting 2010, hal.5)

Ini hanyalah sebagian dari sekian banyak pemaparan gagasan tentang politik dilanda krisis moral (Vernon 2010; Pullman 2010; Williams 2010a, b, c; Meier 1994; Sandel 2009, 2010). Sementara saya tidak ingin menawarkan secara menyeluruh tipologi cara ide ini diartikulasikan---atau, sajikan hasilnya diskusi seperti itu---Saya ingin menguraikan dua cara yang saling terkait dalam gagasan ini diungkapkan, yang masing-masing menempatkan sumber penyakit moral kita dalam domain tersebut politik professional.

KRISIS MORAL, HARMONI DAN INTEGRITAS

Untuk bisa memahami krisis moral, harmoni dan integritas, menarik menelaah pemikiran yang termuat dalam "The Crooked Timber of Humanity", Berlin mengemukakan pemikiran yang paling utopis yang dicerca Machiavelli, ia mengulangi kisah yang bermanfaat namun vulgar: Dahulu kala ada keadaan yang sempurna, kemudian terjadi bencana besar tempat... kesatuan yang murni terguncang, dan sisa sejarah umat manusia adalah sebuah upaya terus-menerus untuk menyatukan fragmen-fragmen ini untuk memulihkan ketenangan, sehingga keadaan sempurna dapat terwujud kembali. (Berlin 1990, P. 23)

Kisah ini meresapi sebagian besar pemikiran filosofis sejak awal permulaan (Berlin 1990, hlm. 21--23, 46). Padahal cerita ini berbeda versinya berbeda satu sama lain dalam hal konten spesifiknya, semuanya mengikuti pembedahan pola: pada t0 terdapat keadaan harmonis; pada t1, harmoni ini bersifat sementara hancur; dan, pada t2, kesatuan telah atau dapat dibangun kembali. Apa yang menopang pola ini? 

Berlin berpendapat, adalah visi romantis tentang kesempurnaan di bawah naungan harmoni---sebuah visi tentang apa yang dianggap normal dan mungkin---yang intinya terletak sebuah asumsi filosofis yang menggoda: nilai-monisme. Monisme, mendalilkan bahwa 'semua hal-hal yang benar-benar baik ... tidak mungkin bertentangan'; 'itulah realisasi polanya yang dibentuk oleh mereka adalah satu-satunya tujuan sebenarnya dari semua aktivitas rasional, baik publik maupun privat. (Berlin 1969, hal.x). 

Hal ini mencakup 'gagasan tentang keseluruhan yang sempurna, solusi akhir, di mana semua hal baik hidup berdampingan' (Berlin 1990, hal. 13). Monisme, Hampshire menambahkan, mengandaikan bahwa harus ada 'dasar yang sama', 'satu alasan di baliknya','an keselarasan tertinggi di antara semua 'klaim moral' (Hampshire 1983, hal. 118). Disinilah berlaku, Hal-hal baik akan datang pada orang-orang yang menunggu, tapi hal-hal yang lebih baik akan datang untuk orang-orang yang keluar untuk mengejarnya.

Kembali saya kutipan tentang kebijakan politik --- Dwight D. Eisenhower " Politics ought to be the part-time profession of every citizen who would protect the rights and privileges of free people and who would preserve what is good and fruitful in our national heritage." - Politik seharusnya menjadi profesi paruh waktu bagi setiap warga negara yang akan melindungi hak dan hak istimewa orang-orang yang bebas dan yang akan melestarikan apa yang baik dan bermanfaat dalam warisan nasional kita.) Moga bermanfaat****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun