Pemilu sudah dihambang pintu, diharapkan  seluruh rakyat  Indonesia menyambut dengan gembira. Pesta pemilihan umum yang akan memilih presiden dan wakil presiden, serta anggoata DPR ( DPRD Tk II, DPRD Tk I dan DPR RI)  dan DPD. Tepat tanggal 14 Februari 2024, pas hari valentine, rakyat akan mencoblos sesuai dengan hati nurani.  Tentu dengan harapan pemilu berjalan jurdil,  bebas langsung dan bebas , dan rahasia.
Pemilu yang jurdil (jurjur dan adil)  sudah banyak disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat. Agar belangsung dengan damai. Namun, ada beberapa masalah yang kerap mengantui pelaksanaan pemilu , yakni  berbagai tindakan yang dilakukan beberapa oknum, dengan menyebarkan hoax,  saling fitnah, kampanye hitam, dan lain-lain, oleh karena itu perlu kewaspadaan kita semua, sehingga pelanggaran pemilu  dapat di minimalisir.
Jenis pelanggaran pemilu menurut UU Pemilu sangatlah beragam. Pelanggaran pemilu dapat terjadi sebelum, saat dan setelah pemungutan suara. Bentuk pelanggarannya pun bermacam-macam, mulai dari money politics, kampanye hitam, hingga penyebaran berita bohong atau hoaks yang dapat mempengaruhi hasil pemilu.
Jenis pelanggaran pemilu seperti money politics misalnya adalah bentuk pelanggaran pemilu yang terjadi ketika calon atau tim suksesnya memberikan uang atau barang kepada pemilih, untuk memengaruhi pilihan mereka.
Money politik, adalah riak-riak pemilu, dengan kasak-kusuk kandidat calon legislasif dengan antek-anteknya  yang siap menghedarkan uang dalam bentuk serangan pajar, untuk meraup suara pemilih. Jelas tindakan ini tidak dibenarkan dalam pemilu elektroal. Pembelian suara , transakasi suara Vote baying, memang laku dimana  kondisi ekonomi yang sangat buruk, mereka tak bisa membedakan dengan kasat mata , mana calon yang benar-benar baik dan jujura, karena di kaburkan oleh nikmatanya uang sesaat.
Paling tidak saya menemukan dua desa yang demikian dari pemilu ke pemiliu dapat memasukkan calon legislatifnyake DPRD  baik tingkat kabupaten , maupun  DPRD  provinsi dan DPR Pusat RI, sanat solid , satu desa ini satu jenis partai, desa yang lain unik semua terisi namun calon berasa dari partai berbeda-beda. Intinya fanatic terhaadap anggota masyarakatnya yang diusung dari Desa bersangkutan.
Keuntungannya apa? Bansos dan bantuanbantuan lancer, jalan-jalan mudah seklai diaspal hotmik. Bebrbeda dnegan desa-desa yang lain yang tidak ada anggota DPRDnya, Desa semacam ini
Walaupun  jumlah pemilih yang memenuhi sarat sama, namun tak ada wakil dari desa itu, suaranya lari dimanfaatkan oleh caleg-caleg dari desa lain. Dan ini, memang lebih banyak tidak ada ikatan ideologi, hanya kebutuhan sesaaat, masyarakatnya tidak kuat dalam menggolkan anggota masyarakatnya, mudah di ialihkan, fenomena kedua kerap berlaku istilah Vote buying, menjual suaranya ke  kandidat yang lain.
Kondisi demikian dalam teori sosial disebutkan sebagai teori ' klientelisme'. Berangkat dari laman  Wikipedia, disebutkan bahwa klientelisme, adalah, Klientelisme atau politik klien adalah pertukaran barang dan jasa untuk mendapatkan dukungan politik, sering kali melibatkan quid-pro-quo implisit atau eksplisit.Hal ini erat kaitannya dengan politik patronase dan jual beli suara. Klientelisme melibatkan hubungan asimetris antara kelompok aktor politik yang digambarkan sebagai patron, broker, dan klien. Dalam politik klien, kelompok minoritas atau kepentingan yang terorganisir mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan publik. Politik klien mungkin mempunyai interaksi yang kuat dengan dinamika politik identitas. Hal ini lazim terjadi dalam sistem pluralis, seperti di Amerika Serikat, di mana kelompok minoritas mempunyai kekuasaan besar dalam menentukan kebijakan publik. Kebalikan dari politik klien adalah politik 'kewirausahaan', atau politik keyakinan.
Meskipun banyak definisi klientelisme telah diajukan, menurut ilmuwan politik Allen Hicken, secara umum ada empat elemen kunci dari hubungan klientelistik: (1) Hubungan diadik: Sederhananya, ini adalah hubungan dua arah. (2) Kontinjensi: Pemberian layanan kepada warga negara oleh seorang politisi atau broker bergantung pada tindakan warga negara atas nama politisi atau partai di mana mereka menerima layanan. (3) Hirarki: Politisi atau partai mempunyai kedudukan kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan warga negara.(4) Iterasi: Hubungan ini tidak terjadi satu kali saja, melainkan berkelanjutan. (5) Kontingensi dan iterasi adalah dua komponen yang dimiliki oleh sebagian besar definisi klientelisme.[
Fenomen klientelisme kerap terjadi secara terus menerus dan memfosil. Sebab mereka sangat merasakan manfaatnya, ada bangunan balai banjar yang megah, kerap mendapat bansos, dan lain-lain, aspal di desa mengkilat, dan lain sebagainya. Â Ini yang kerap membuat demokrasi di negeri ini sakit, sakit bertambah sakit dan collapse Â
Vote buying (pembelian suara)  adalah  juga disebut sebagai klientelisme pemilu dan politik patronase yang  terjadi ketika partai politik atau kandidat mendistribusikan uang atau sumber daya kepada pemilih dalam pemilu mendatang dengan harapan bahwa pemilih akan memilih aktor yang memberikan imbalan berupa uang. Anda bisa mengecek siapa-siapa paslon dan kandidat yang menyebarkan uang dan barang-barang dan jasa dalam kampanyenya.
Pembelian suara dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti pertukaran uang, serta pertukaran barang atau jasa yang diperlukan. Â Praktik ini sering kali digunakan untuk memberikan insentif atau membujuk pemilih agar datang ke pemilu dan memberikan suara dengan cara tertentu. Meskipun praktik ini ilegal di banyak negara seperti Amerika Serikat, Argentina, Meksiko, Kenya, Brasil, dan Nigeria, prevalensinya tetap ada di seluruh dunia, dan di negara berkembang terus meningkat. Mengapa demikian, kuae manis kekuasaan sangat menggiurkan.
Sebagai contoh, Di beberapa wilayah Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir abad ke-19, anggota partai-partai yang bersaing akan bersaing, terkadang secara terbuka dan terkadang dengan lebih rahasia, untuk membeli dan menjual suara. Pemilih akan diberi kompensasi berupa uang tunai atau pembayaran rumah/pajak.
Untuk menjaga kerahasiaan praktik jual beli suara, partai-partai akan membuka toko jual beli suara dengan staf penuh. Partai-partai juga akan mempekerjakan para kandidat yang akan tampil ke masyarakat dan mencari pemilih mengambang (floating mass) dan melakukan tawar-menawar dengan mereka untuk memilih pihak mereka.
Di Inggris, dokumentasi dan kisah jual beli suara juga sudah dikenal luas. Peristiwa jual beli suara yang paling terkenal terjadi di Inggris pada abad ke-18, ketika dua atau lebih bangsawan kaya mengeluarkan uang berapa pun untuk menang. "Pemilu boros" terjadi di Northamptonshire pada tahun 1768, ketika tiga earl masing-masing menghabiskan lebih dari 100.000 untuk kandidat favorit mereka.
Pemilih dapat diberikan uang atau imbalan lain karena memilih dengan cara tertentu, atau tidak memilih. Di beberapa yurisdiksi, tawaran atau pemberian imbalan lain disebut sebagai "perjanjian elektoral". Â Perlakuan pemilu tetap sah di beberapa yurisdiksi, seperti di Seneca Nation of Indians.
Asal usul praktik ini telah ditelusuri hingga ke Roma kuno. Di sini hubungan antara patron (patronus) dan klien (cliens) dipandang penting untuk memahami proses politik. Meskipun kewajiban di antara mereka bersifat timbal balik, poin utamanya adalah bersifat hierarkis. Hubungan-hubungan ini sebaiknya dipandang bukan sebagai sebuah entitas melainkan sebagai suatu jaringan (klienela), dengan patronus sendiri mungkin berkewajiban kepada seseorang yang memiliki kekuasaan lebih besar, dan klien mungkin mempunyai lebih dari satu patron.
 Perluasan ini meningkatkan kemungkinan timbulnya konflik kepentingan. Meskipun familia adalah unit dasar yang mendasari masyarakat Romawi, jaringan yang saling terkait (clientela) bertindak sebagai pembatasan otonomi mereka namun memungkinkan berkembangnya masyarakat yang lebih kompleks. Sejarawan pada akhir abad pertengahan mengembangkan konsep ini menjadi feodalisme bajingan. Seperti biasa, terdapat ambiguitas dalam penggunaan terminologi politik dan istilah "klientelisme", "hubungan patron-klien", "patronase", dan mesin politik terkadang digunakan untuk menggambarkan konsep serupa atau terkait.
CONTOH SESJARAH
Pemerintahan Julius Caesar (49--44 SM) dan Tiberius (14--16 M) dianggap sebagai contoh klientelisme yang meluas. Pada tahun 1500-an, ahli teori politik Perancis tienne de La Botie tidak menggunakan istilah klientelisme, namun menggambarkan praktik kaisar yang menggunakan hadiah kepada publik untuk mendapatkan loyalitas dari mereka yang ingin menerima apa yang termasuk suap:
Para tiran akan membagikan sumbangan, satu gantang gandum, satu galon anggur, dan satu sesterce [koin]: dan kemudian semua orang tanpa malu-malu berseru, "Hidup Raja!" Orang-orang bodoh tidak menyadari bahwa mereka hanya mendapatkan kembali sebagian dari harta mereka, dan bahwa penguasa mereka tidak dapat memberikan apa yang mereka terima tanpa terlebih dahulu mengambilnya dari mereka. Seseorang mungkin suatu hari akan dihadirkan dengan seorang sesterce dan melahap dirinya sendiri di pesta umum, memuji Tiberius dan Nero karena kemurahan hati mereka, yang keesokan harinya, akan terpaksa meninggalkan harta bendanya karena keserakahan mereka, anak-anaknya karena nafsu mereka, hak miliknya. darah atas kekejaman kaisar yang luar biasa ini, tanpa memberikan perlawanan lebih dari batu atau tunggul pohon. Massa selalu berperilaku seperti ini---sangat terbuka terhadap suap.
BAGAIMANA MEKANISMENYA?
Susan Stokes dkk. membedakan klientelisme sebagai bentuk kebijakan non-program dalam politik distributif. Hal ini memenuhi kriteria karena gagal memenuhi dua persyaratan distribusi terprogram, yaitu (1) 'formal dan bersifat publik' dan (2) 'membentuk distribusi manfaat atau sumber daya yang sebenarnya'. Dalam kebijakan non-program, klientelisme kemudian dibedakan dari 'politik babi' di mana pemilih diberikan keuntungan atau dapat menghindari kerugian dengan syarat mereka membalas budi dengan memberikan suara. Sistem patron/klien dapat didefinisikan sebagai pengaturan timbal balik antara seseorang yang memiliki otoritas, status sosial, kekayaan, atau sumber daya pribadi lainnya (patron) dan orang lain yang mendapat manfaat dari dukungan atau pengaruhnya (klien).
Patron memberikan akses selektif terhadap barang dan peluang, dan menempatkan diri atau dukungannya pada posisi di mana mereka dapat mengalihkan sumber daya dan jasa demi keuntungan mereka. Mitra mereka -- klien -- diharapkan untuk membeli dukungan, dan dalam beberapa kasus, suara. Para patron menargetkan keluarga-keluarga berpenghasilan rendah untuk menukar sumber daya yang mereka perlukan dengan sumber daya yang melimpah: waktu, suara, dan keterlibatan dalam jaringan pendukung potensial lainnya yang dapat mereka pengaruhi. Namun, patron tidak dapat mengakses informasi yang diperlukan untuk membentuk pertukaran secara efektif; Oleh karena itu, mereka menyewa perantara, perantara, yang lebih siap untuk mencari tahu apa yang dibutuhkan oleh pemilih sasaran, pemilih mana yang tidak memerlukan banyak dorongan, dan apakah pemilih tersebut menepati janjinya. Seperti yang ditekankan oleh Stokes, Dunning, Nazareno, dan Brusco, broker pada gilirannya melayani para pemimpin politik, dan mereka mungkin juga tidak menargetkan sumber daya persis seperti yang diharapkan oleh para pemimpin; Masalah prinsipal-agen yang diakibatkannya dapat mempunyai implikasi penting dalam memahami cara kerja klientelisme.
Pemodelan standar klientelisme mengasumsikan bahwa politisi mampu memantau suara, dan pada gilirannya, memberikan penghargaan atau hukuman kepada pemilih berdasarkan pilihan mereka. Quid pro quo akan hilang jika tidak ada pemantauan seperti itu, sehingga menjadikan klientelisme sangat tidak efisien dan sama sekali tidak efektif dalam kondisi terburuk. Namun, bukti menunjukkan bahwa pemantauan sistematis terhadap pilihan pemilih di tempat pemungutan suara jarang terjadi.[
Patronase, pembelian jumlah pemilih, pembelian golput, dan pembelian suara adalah subkategori klientelisme. Patronase mengacu pada aliran manfaat intra-partai kepada anggota. Pembelian jumlah pemilih, yang dicetuskan oleh Nichter, mentraktir atau menyuap pemilih untuk datang ke tempat pemungutan suara, sedangkan pembelian abstain mentraktir atau menyuap pemilih agar mereka tidak pergi ke tempat pemungutan suara.
Pembelian suara adalah transfer barang atau jasa secara langsung, sebagai imbalan atas dukungan dan suara seseorang. Hasil dari kebaikan atau pelayanan adalah pertanyaan apakah Anda atau akankah Anda memilih saya? Kunci untuk memahami klientelisme mungkin muncul dengan menekankan tidak hanya hubungan pertukaran yang saling menguntungkan tetapi juga asimetri dalam kekuasaan atau kedudukan. Tersirat adalah adanya selektivitas tertentu dalam akses terhadap sumber daya dan pasar utama. Mereka yang memiliki akses, patron (dan/atau terkadang sub-patron atau broker) bergantung pada subordinasi dan ketergantungan klien. Sebagai imbalan atas penerimaan sejumlah manfaat, klien harus memberikan dukungan politik.
BENTUK-BENTUK KLIENTELISME
Politisi dapat terlibat dalam klientelisme pada salah satu (atau keduanya) tingkat kelompok atau individu. Salah satu cara klientelisme tingkat individu dapat terwujud adalah dalam hubungan jual beli suara: seorang politisi memberikan barang atau jasa kepada warga negara, dan, sebagai imbalannya, warga negara tersebut berjanji untuk memilih politisi tersebut pada pemilu berikutnya.
Klientelisme tingkat individu juga dapat dilakukan melalui pemaksaan dimana warga negara diancam kekurangan barang atau jasa kecuali mereka memilih politisi atau partai tertentu. Kondisi ini kerap  kita leihat kalau desanya tidak memilih kandidat itu, maka tidak akan dapat bantuan apapun dari negara , sehingga berlaku balas dendam politik. Namun kondisi demikian tidak terjadi pada Jokowi, Ketika suara pemilih rendah atau kalah di Sumbar, Jokowi tetap saja membangun dan memberi perhatian yang sama  ke Sumbar.
 Walaupun demikian, Hubungan tersebut juga dapat terjadi dalam arah yang berlawanan, di mana para pemilih menekan politisi untuk melakukan hubungan klientelistik dengan imbalan dukungan pemilu. Para pemilih kini sudah semakin cerdas, ada semacam fakta integritas dan kontra antara pemilih dengan politisi, agar tidak mudah mengucapkan janji, dan janji harus direalisasikan.
Kita bisa melihat Penelitian Stokes tentang klientelisme di Argentina, yang  berasumsi bahwa Partai Peronis memberikan dukungan finansial kepada calon pemilih untuk membeli suaranya. Ada hipotesis bahwa kelompok Peronis menargetkan pemilih yang memiliki oposisi moderat karena mereka dianggap mudah dibujuk untuk berpindah pihak dengan biaya minimal dari partai tersebut.
 Stokes menguraikan perlunya Partai Peronis untuk dapat melacak pelanggannya meskipun sistem pemungutan suara dilakukan secara rahasia. Argumen Stokes adalah bahwa potensi pembelian suara bergantung pada keakuratan partai pelindung, yaitu Peronis dalam kasus Argentina, dalam memantau suara. Dia menggunakan bukti untuk menunjukkan bahwa secara keseluruhan komunitas yang lebih kecil menawarkan lebih sedikit anonimitas, sehingga memudahkan pelanggan untuk mengetahui siapa yang berkomitmen untuk mendukung mereka. Dengan demikian, Stokes menyimpulkan bahwa hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa pembelian suara lebih sering terjadi di komunitas yang relatif kecil.
Alasan lainnya adalah komunitas yang lebih kecil umumnya lebih miskin. Selain itu, komunitas yang lebih kecil, yang umumnya lebih miskin dan membutuhkan sumber daya yang lebih besar, merupakan target yang lebih menarik.
KLIENTELISME DALAM KONTEKS KEKINIAN
Klientelisme mungkin tidak terlihat sama dari konteks ke konteks. Beberapa faktor individu dan tingkat negara dapat menentukan kapan dan bagaimana klientelisme terjadi di suatu negara, termasuk tipe pemimpin individu, status sosial-ekonomi individu, pembangunan ekonomi, demokratisasi, dan faktor kelembagaan. Dalam beberapa konteks, perilaku klientelistik hampir bisa diduga, karena interaksi tersebut dapat tertanam dalam struktur politik formal.
 Beberapa jenis pemimpin seperti pemimpin tradisional yang turun temurun, yang tetap berkuasa untuk jangka waktu yang lama, lebih efektif dalam menjalankan hubungan klientelistik dibandingkan yang lain seperti pejabat terpilih.
Penelitian juga menunjukkan bahwa politisi dapat mengambil manfaat dari hubungan klientelistik dengan mendapatkan dukungan dari mereka yang menerima barang dari mereka, namun ada juga potensi kerugian karena politisi klientelistik mungkin kehilangan dukungan dari pemilih yang lebih kaya, yang tidak terlibat dalam hubungan klientelistik. secara negatif. Tidak semua pemilih memandang perilaku klientelistik sebagai sifat positif politisi, terutama pemilih dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi. Singkatnya, tidak ada satu faktor pun yang menyebabkan klientelisme bertahan.
 KONSEKUENSI KLIENTELISME CONDONG  MENDUKUNG KORUPSI?
Klientelisme secara umum mempunyai konsekuensi negatif terhadap demokrasi dan pemerintahan, serta mempunyai konsekuensi yang lebih tidak menentu terhadap perekonomian. Hubungan akuntabilitas dalam demokrasi di mana para pemilih meminta pertanggungjawaban pejabat terpilih atas tindakan mereka, dirusak oleh klientelisme.
Hal ini karena klientelisme membuat suara bergantung pada pemberian kepada klien, dan bukan pada kinerja pejabat terpilih dalam jabatannya. Klientelisme juga merendahkan institusi demokrasi seperti pemungutan suara rahasia dan pengawasan administratif. Faktor-faktor tersebut melemahkan institusi demokrasi dan berdampak negatif terhadap efisiensi pemerintahan.
Korupsi dan persepsi korupsi juga terbukti berkorelasi kuat dengan sistem klientelisme karena berbagai alasan. Salah satunya adalah bahwa patron sering kali berada di atas hukum dalam banyak sistem klientelis. Selain itu, beberapa tindakan dalam sistem klientelis seperti jual beli suara, bisa jadi merupakan tindakan ilegal.
Yang terakhir, sumber daya yang dibutuhkan patron untuk mempertahankan sistem klientelis mungkin memerlukan cara terlarang untuk mendapatkan barang. Sebuah studi pada tahun 2021 menemukan bahwa pemilih dalam sistem klientelisme kurang bersedia menghukum politisi korup dalam pemilu.
Beberapa pakar percaya bahwa karena patron fokus pada penguasaan dan pengadaan barang-barang swasta, mereka juga mengabaikan barang-barang publik seperti jalan raya dan sekolah umum, yang membantu pembangunan ekonomi. Para ahli juga mencatat bahwa perburuan keuntungan dan korupsi, yang lazim terjadi dalam sistem klientelisme, juga dapat berdampak negatif terhadap perekonomian. Meskipun demikian, masih terdapat ketidakpastian besar mengenai dampak ekonomi klientelisme.
MASIH MENJADI KONTROVERSI?
Merupakan hal yang umum untuk mengaitkan klientelisme dengan korupsi; keduanya melibatkan aktor politik yang menggunakan sumber daya publik dan swasta untuk keuntungan pribadi, namun keduanya tidak sama. Korupsi umumnya didefinisikan sebagai "tindakan tidak jujur dan curang yang dilakukan oleh penguasa, biasanya melibatkan penyuapan", sedangkan klientelisme politik dipandang sebagai "distribusi keuntungan yang ditargetkan kepada individu atau kelompok sebagai imbalan atas dukungan pemilu". Mengasosiasikan keduanya merupakan hal yang umum karena keduanya cukup tumpang tindih. Ada berbagai bentuk korupsi yang tidak ada hubungannya dengan klientelisme, seperti intimidasi pemilih atau penjejalan suara. "Klientelisme dianggap negatif karena tujuannya adalah untuk menghasilkan pendapatan 'pribadi' bagi patron dan klien dan, sebagai akibatnya, menghambat pendapatan 'publik' bagi anggota masyarakat umum yang bukan bagian dari pengaturan patron-klien."
Klientelisme sebagai strategi organisasi politik pada dasarnya berbeda dengan strategi lain yang mengandalkan tujuan program yang lebih luas atau sekadar menekankan tingkat kompetensi yang lebih tinggi. Sering kali diasumsikan bahwa klientelisme adalah sisa dari keterbelakangan politik, suatu bentuk korupsi, dan bahwa modernisasi politik akan mengurangi atau mengakhirinya. Namun pandangan alternatif yang menekankan masih adanya klientelisme -- dan patronase yang terkait dengannya -- telah diakui.
Mekanismenya dilakukan oleh beberapa orang dan diminta mendata meminta KTP untuk dapil dimana dia berasal, suaranya tercatat dengan rapi, nanti kalau sudah selesai maka ada informasi bahwa suaranya sudah sesuai maka, pembayaran dilakukan dengan jelas. Lewat agen penghubung.
Agen penghubung juga , mendata tinggal menyerahkan beberap foto kopi di komunitas tertentu kemudian  di kasi uang lalu mencoblos. Agregat ini, juga menjadi semacam reaksi berantai pada tetangganya untuk bisa ikut dapat, sehingga seperti multi level markeing, jalur perekrutan  mereka yang membeli suara.
Apakah jual beli suara salah secara moral?  banyak  ahli  berargumen bahwa jual beli suara diperbolehkan secara moral asalkan penjualan suara tidak mengakibatkan pelanggaran terhadap kewajiban yang dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya. Jadi, jual beli suara pada dasarnya tidak salah. Jika secara akhlak seseorang boleh memilih cara tertentu dengan cuma-cuma, maka diperbolehkan memilih cara itu dengan mendapat bayaran. Namun, komodifikasi suara tidaklah netral secara moral. Meskipun menjual suara seseorang tidak dapat mengubah tindakan yang benar menjadi tindakan yang buruk, hal ini dapat memperbesar kesalahan dari tindakan yang salah. Jika seseorang dibayar untuk memilih secara salah, hal ini sering kali lebih buruk secara moral dibandingkan melakukannya tanpa bayaran.
Pada pemilu tahun ini, perlu diwaspai bahwa pratek jual beli suara  agar bisa diminimalisir dengan memperketat pengawasan semua pihak.  perlu batasan yang jelas bahwa  pemberia sesuatu dari  calon anggota legislatif, yang menjanjikan apa yang disebut 'uang transportasi' jika pemilih yang berada di dekat lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) memilih dia, harus  bisa diklarifikasi.  Pemberian 'uang transportasi' itu,  bakal diberikan lagi begitu pemilih tersebut dipastikan telah mencoblos namanya di surat suara dengan bukti berupa foto atau video. yang bisa di diambil lewat gadget yang mereka bawa ke bilik pencoblosan.Â
Namun perlu dipahami bahwa, dalam pemilu di seluruh dunia, sejumlah besar pemilih dipengaruhi oleh janji atau ancaman yang bergantung pada cara mereka memilih. Baru-baru ini, literatur ilmu politik telah mencapai kemajuan besar dalam memilah-milah klientelisme dalam dua dimensi: pertama, dalam mengenali keragaman aktor yang bekerja sebagai broker, dan kedua, dalam mengkonseptualisasikan dan memilah jenis-jenis klientelisme berdasarkan bujukan positif dan negatif dalam berbagai bentuk. Dalam tinjauan ini, kami membahas temuan-temuan terkini yang menjelaskan variasi dalam gabungan strategi klientelistik antar negara, wilayah, dan individu serta mengidentifikasi beberapa bidang yang perlu dikembangkan di masa depan, khususnya dalam menjelaskan variasi dalam penargetan bujukan yang dilakukan oleh politisi terhadap berbagai jenis pemilih.
KLIENTELISME PARTAI DAN MODERNISASI POLITIK
Hasil kajian pata ahli, menunjukkan bahwa meningkatnya spesialisasi aktivitas politik tidak mengakhiri praktik klientelistik. Tentu saja, nilai-nilai ini semakin terdepresiasi seiring dengan menyebarnya norma-norma kewarganegaraan dan sanksi hukum bagi korupsi pemilu yang diberlakukan. Namun demikian, perluasan intervensi yang dilakukan oleh pemerintah negara bagian dan lokal menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru bagi para politisi untuk mengontrol sumber daya publik dan, dengan demikian, memobilisasi dukungan pemilu. Kebijakan sosial, pembaruan kota, dan subsidi untuk pembangunan ekonomi dapat digunakan untuk menggerakkan "mesin politik" ini. Baik di kota-kota Amerika pada paruh pertama abad ke-20 atau di wilayah selatan Italia setelah Perang Dunia II, mesin-mesin ini mengoordinasikan distribusi barang kolektif yang bersifat klientelistik (perumahan, pekerjaan, subsidi) dalam skala besar untuk mendukung "lokal" lokal. bos."
Beberapa ilmuwan politik bahkan menggunakan istilah negara klientelistik untuk mengkualifikasikan sistem politik di mana partai dominan mengambil alih birokrasi, barang kolektif, dan distribusinya untuk mempertahankan hegemoninya. Analisis ini menyoroti kasus-kasus seperti Partai Revolusioner Institusional Meksiko, Partai Liberal-Demokrat Jepang, dan Partai Demokrat Kristen Italia, yang semuanya tetap berkuasa antara tahun 1950an dan 1980an. Dalam kasus ini, hubungan klientelistik berkembang di seluruh sektor (kementerian, organisasi bisnis, lobi, serikat pekerja, dll.)
Klientelisme atau politik klien adalah pertukaran barang dan jasa untuk mendapatkan dukungan politik, sering kali melibatkan quid-pro-quo implisit atau eksplisit. Hal ini erat kaitannya dengan politik patronase dan jual beli suara. Â Klientelisme melibatkan hubungan asimetris antara kelompok aktor politik yang digambarkan sebagai patron, broker, dan klien. Dalam politik klien, kelompok minoritas atau kepentingan yang terorganisir mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan publik. Politik klien mungkin mempunyai interaksi yang kuat dengan dinamika politik identitas. Hal ini lazim terjadi dalam sistem pluralis, seperti di Amerika Serikat, di mana kelompok minoritas mempunyai kekuasaan besar dalam menentukan kebijakan publik. Kebalikan dari politik klien adalah politik 'kewirausahaan', atau politik keyakinan.
Meskipun banyak definisi klientelisme telah diajukan, menurut ilmuwan politik Allen Hicken, secara umum ada empat elemen kunci dari hubungan klientelistik. Hubungan diadik: Sederhananya, ini adalah hubungan dua arah. Kontinjensi: Pemberian layanan kepada warga negara oleh seorang politisi atau broker bergantung pada tindakan warga negara atas nama politisi atau partai di mana mereka menerima layanan.Hirarki: Politisi atau partai mempunyai kedudukan kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan warga negara. Iterasi: Hubungan ini tidak terjadi satu kali saja, melainkan berkelanjutan.Kontingensi dan iterasi adalah dua komponen yang dimiliki oleh sebagian besar definisi klientelisme . Moga bermanfaat*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H