Pemilu semakin dekat, hanya tinggal hitungan hari, banyak insan akademisi kampus (guru besar) Â mulai bergerak mengajukan petisi ke pemerintah Jokowi. Mulai dari UGM, UII, UNAND, dan Unhas-Makasar. Â Beberapa hari kedepan mungkin disusul oleh perguruan tinggi lain, agar tidak dianggap tidak peduli? Entahlah... orang takut dianggap tidak ambil bagian dalam suatu prosesi bersejarah, agar bisa ditunjukkan kepada anak cucu di kemudian hari.Â
Dunia politik semakin bergairah, seiring dengan bergairahnya kehidupan di banyak dimensi, yang disebarkan oleh medsos secara masif, dengan segala daya tariknya. Para akademisi juga ikut bergoyang untuk mencari panggung untuk bisa dianggap berperan menentukan arah politik di Indonesia. Namun banyak pihak berpesan hati-hati, dengan meminjam nasihat Napoleon Bonaparte," Dalam politik, kebodohan bukanlah cacat."Sebuah pesan yang memang menarik dan mengisyafkan bagi para akademisi, yang Sebagian adalah orang terhormat karena intelektualitasnya.
Kaum intelektual harus bisa lebih tajam apakah pemerintahan saat ini sudah otoriter atau tidak sama sekali. Â Pemerintah otoriter takut pada kaum intelektual. Negara otoriter totaliter tidak menginginkan intelektual sejati bertumbuh karena akan menjadi ancaman bagi kekuasaan alias akan mengekspos kebohongan-kebohongan kekuasaan.
Akademisi tak perlu larut ke politik sebab dunia politik, dia sejati berumah di angin, seperti kata Rendra, harus ada disemua golongan. Intelektual harus nya menjadi pengarah untuk menunjukkan kebenaran kepada siapapun. Sarannya memang kearah penguasa. Perlu diketahui bahwa kekuasaan penuh lipatan. Di lipatan-lipatan kekuasaan, ada dominasi dan monopoli yang bisa mengubur banyak mimpi. Di balik kekuasaan juga ada dominasi dan monopoli yang bisa membuahi banyak mimpi. Pada bagian akhir itulah peran intelektual kampus untuk membuka tabir kebenaran.Â
Pada akhirnya, seperti diungkapkan oleh Henry Ford, presiden Amerika serikat- " The only motive that can keep politics pure is the motive of doing good for one's country and its people- Satu-satunya motif yang dapat menjaga kemurnian politik adalah motif berbuat baik untuk negara dan rakyatnya.
Mencari muka atau sekedar mencari panggung, greget emosi petisi itu, tak banyak masyarakat dan mahasiswa berminat, sehingga terkesan akademisi mencari panggung sulit dihindarkan, dan banyak yang menduga segelintir akademisi berpolitik, sebab beberapa ketimpangan dari dulu alpha disuarakan oleh insan kampus itu.
Yang lebih elegan ITB, yang menyodorkan kepakarannya untuk berkontribusi pada bangsa dan Negara dengan tajuk Webinar Kontribusi ITB untuk Bangsa "Peluang dan Tantangan untuk Menuju Indonesia Emas" (Masukan ITB untuk Calon Presiden RI 2024). Forum Guru besar memberikan masukan karena kompetensinya untuk bangsa , sesuai dengan keahliannya (https://fgb.itb.ac.id/)
Saya menangkap, ini adalah contoh baik, dan saya berharap cara ini dilakukan oleh PT yang lain juga, namun belum ada . Kontribusi ini bisa dilakukan oleh Guru besar-guru besar lain di perguruan tinggi lain. Paling tidak dimana PT itu berada, yang memiliki budaya dan potensi lokal, sehingga pembangun tidak disamaratakan oleh Pemerintah yang terpilih nantinya, sehingga pembangunan berhasil guna dan berdaya guna, sampai disini ITB layak dijadikan contoh.Â
Mengapa demikian, satu alasan yang paling mungkin adalah, Jabatan Guru Besar merupakan mandat penugasan yang diberikan oleh Pemerintah kepada seorang dosen di perguruan tinggi berdasarkan pengakuan kepakaran dan kecendekiaan dalam suatu disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, seni, atau humaniora.
Lebih lanjut harapannya saya bahwa , dengan kepakaran dan kecendikiaannya, Guru Besar mempunyai tanggung jawab yang ditunjukkan dalam kepemimpinan di bidang keilmuannya, serta kemampuannya untuk memupuk dan mengembangkan keunggulan dalam pelaksanaan Tridharma Pendidikan Tinggi.
Namun kondisi itu belum dilakukan, mereka masih bereoporia dengan dukung paslon A atau B, sehingga banyak pihak menuduh para akademisi atau intelektual itu seakan akan melakukan politik praktis, atau mendorong dan menyeret kampus mereka berpolitik praktis. Ini tak banyak berguna, selain meruntuhkan kehormatan intelektual kampus, dia tidak menjadi menara api, Â dan intelektualnya harus netral, bisa memberikan penerangan dan kehangan pada semua lapisan dan golongan masyarakat.Â
Padahal, demikian pula Guru Besar mempunyai tanggung jawab mengembangkan dan menjaga nilai-nilai akademik, dan berkontribusi dalam pengembangan institusi. Selain itu, seorang Guru Besar diharapkan mempunyai kapasitas dan tanggungjawab untuk mengembangkan konsep dan pemikiran tentang keilmuan masa depan, serta berperan dalam pengembangan peradaban dan penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan dunia.
Dan itu sangat kentara , mengapa demikian, momennya saat ini tidak dari dulu-dulu, padahal kalaulah terjadi penyimpangan , seharus mulai sejak awal dikritisi, pada aspek keberanian bersuara, saya masih simpatik dengan Rocky Gerung' yang terus bersuara mengkritisi kebijakan Jokowi. Namun yang lain belum sepenuhnya punya nyali.
Kondisi demikian, sangat terbaca oleh masyarakat bahwa para professor dan kaum akademik mencari panggung, dan memberikan petisi yang menurut saya sangat memihak, sebagai Gerakan moral harus memberikan solusi yang bijak.
Maka Gerung, sejatinya menyadarkan kita bahwa "Kebebasan tidak terdiri dari melakukan apa yang kita sukai, tetapi memiliki hak untuk melakukan apa yang seharusnya kita lakukan
Sorotan para kaum akademisi kampus itu , lebih disebabkan oleh keberpihakan pada paslon sulit terbantahkan karena para kandidat memang dekat dengan pencetus petisi di masing-masing PT tersebut, sebut Ganjar sebagai ketua alumni UGM, denganmudah memobilisasinya, makan tudingan seperti itu tidak salah.
Kajian para akademis memang kerap terbawa alur media on line, serempak untuk cenderung memojokkan dan partisan. Kemunculan media yang lebih partisan berkontribusi terhadap polarisasi politik dan menyebabkan public mendukung kebijakan dan kandidat yang lebih partisan.
Intelektual dan dunia akademik condong menggunakan beberapa media baru dan telah menambahkan lebih banyak pesan partisan ke dalam pasokan berita yang sebagian besar berhaluan paslon.
Meskipun sikap politik sebagian besar kaum akademisi masih cukup moderat, bukti menunjukkan adanya polarisasi di antara mereka yang terlibat secara politik.
Menjamurnya pilihan media menurunkan jumlah pemilih yang kurang berminat dan kurang partisan, sehingga menjadikan pemilu lebih partisan.
Namun bukti adanya hubungan sebab akibat antara pesan-pesan yang lebih partisan dan perubahan sikap atau perilaku masih beragam. Masalah pengukuran menghambat penelitian mengenai paparan selektif partisan dan konsekuensinya. Pemberitaan yang bersifat sepihak secara ideologis mungkin terbatas pada kelompok kecil masyarakat, namun sangat terlibat dan berpengaruh. Tidak ada bukti kuat bahwa media partisan membuat masyarakat kita menjadi lebih partisan.
Kalau tudingan politik dinasti, mengapa hanya ke Jokowi saja, banyak partai politik elitnya mengusung anggota keluarganya menjadi caleg DPRD, DPRI atau DPD. Kalau memang begitu teruslah bersuara, agar rakyat tidak memilih calon-colon  yang ada kaitannya dengan kekerabatan itu. Lihat di PDIP baik di daerah maupun dipusat, silahkan Cek Keluarga mbak Puan, lihat juga di partai  Golkar, dan partai lain, semuanya membangun semacam  "dinasti politik,"
Namun  predikat "Dinasti politik"  dalam alam demokrasi tidak harus ada, karena filternya adalah dipilih oleh rakyat, keputusan rakyat yang tidak bisa dianulir, rakyat dewasa yang menentukan siapa yang hendak dipilih. Kalau itu dianggap dinasti politik, ya... jangan dipilih" itu saja. Koq repot.  Keluarga elit politik juga warga negara yang berhak dipilih dan dipilih karena dibenarkan oleh demokrasi.
 Demokrasi atau kerakyatan adalah bentuk pemerintahan yang keputusan-keputusan penting, baik secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari masyarakat dewasa.
Dinasti politik yang dihasilkan dari rekayasa demokrasi dengan serangan fajar dan menunggangi bansus, maka sejatinya inilah yang harus digugat. Sejauh ini memang perlu dikritisi, sebab Sang penguasa yang memiliki kekuasaan bisa menjadi sumber kebahagiaan publik, tetapi juga bisa menjadi sumber penderitaan banyak orang, bila bantuan itu untuk menutupi korupsinya. Kekuasaan bisa mendatangkan bencana karena satu kebohongan.
Akhirnya saya kutitipkan pesan Mahatma Gandhi, Sebagai manusia, kehebatan kita tidak banyak terletak pada kemampuan untuk mengubah dunia yang mana itu adalah mitos pada zaman atom tapi pada kemampuan untuk mengubah diri kita. Moga bermanfaat****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H