Politik selalu menjadi arena perdebatan sengit. Pertukaran verbal yang jenaka, tajam, ironis, dan seringkali pedas adalah bagian dari wacana yang mendefinisikan persaingan politik dan menggambarkan hubungan kekuasaan antara aktor politik. Disini politik adalah seni mencari masalah.Â
 Pada saat yang sama, pertukaran semacam itu seringkali memberikan sinyal tentang apa yang diperbolehkan dalam wacana publik. Oleh karena itu, pilihan kata-kata seorang politisi dapat menahan dan mendamaikan, karena dapat menyebarkan perpecahan dan meningkatkan status ofensif dari yang tidak dapat diterima menjadi rutin dan biasa. Begitulah seharusnya seorang politikus, tulis Yannis Theocharis et al., (2020) , dalam sebuah artikel bertajuk " The Dynamics of Political Incivility on Twitter". Dunia maya menyediakan beragam platform untuk  memungkinkan melakukan perdebatan politik.
Dalam memaknai itulah, saya  berusaha menganalisis sepak terjang  Rocky Gerung  yang rajin  melemparkan amunisi  berat, sinis dan nyinyir dengan bahasa pedas,  dengan menyebut Presiden Joko Widodo "bajingan tolol".  Sebuah predikat yang luar biasa berani dan nampak kurang ajar  dalam tatanan adat ketimuran , yang menjunjung sopan santun dan keadaban itu , banyak yang kaget kaget, resah dan tidak bisa menerima , bak petir di siang bolong. Apakah  seorang  Rocky Gerung  ingin menyadarkan 'kita  semua akan sosok  Jokowi yang dicintai itu, apakah kita benar-benar memiliki ikatan kohesivitas yang tinggi cinta padanya, atau  cinta yang mudah luntur bak istana pasir, hilang sekejap dengan datangnya ombak besar? Entahlah.
Yang pasti, perasaan  rakyat yang mencintai presiden tentu panas, kaget,  atas  ujaran-ujaran yang tak elok seakan mengalir tanpa rasa malu,  dan  beberapa elemen masyarakat ' pun banyak melaporkan Rocky  ke pihak  kepolisianÂ
Rocky Gerung, telah memahami benar bahwa politik harus beroperasi di arena di mana bahasa dan argumentasi yang sangat tajam,  harus diciptakan dan sehingga  orang akan berharap bahwa politisi tidak akan terkejut dengan (dan tahan terhadap) hasil dari kapasitas publik yang baru diperoleh untuk menangani mereka secara langsung melalui saluran media baru, seperti melalui platform microblogging., Twitter atau Tiktok, dan Rocky menggunakan Youtube.
Kejelian Rocky, ingin memancing dan membuktikan apakah Presiden Jokowi itu memang tulus dicintai oleh rakyat dan orang-orang partai yang mengusung dan koalisi yang ada selama ini. Mengapa demikian? Betapapun tingginya persetujuan public pada  seorang politisi, bukan rahasia lagi bahwa warga negara bersikap sinis terhadap politisi, Ketika mereka tidak setia pada janji-janji yang diucapkannya. (Hay, 2007).
Dalam hal ini saya setuju dengan ucapan Oscar Ameringer ((1870 - 1943) " Politik adalah seni halus mendapatkan suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya, dengan menjanjikan perlindungan i satu dari yang lain. Lebih-lebih kini mendekati tahun politik, dan pemilu membutuhkan suara rakyat, hentakan-hentakan ke publik akan semakin sering kita saksikan. Disinilah dibutuhkan keahlian  untuk menerapkan strategi baru.
Di terminal itu, bagaimanapun, partai adalah institusi demokrasi yang cenderung paling tidak dipercaya dibandingkan dengan yang lainnya, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat (Capella & Jamieson, 1997; Torcal & Montero, 2006). Dengan demikian, platform anonim untuk komunikasi langsung dan terlihat secara publik dengan perwakilan seseorang dapat menjadi saluran alami bagi warga negara untuk mengomunikasikan sebagian dari rasa frustrasi ini dalam bentuk komentar yang memanas, termasuk komentar yang mendekati caci maki.
Kalimat- kalimat yang keluar dari mulut mulut Rocky Gerung  selalu membuat hati panas,tolol, bajingan, dan yang lain  banyak yang kaget  ketiga demonstrasi  menolak UU Kesejatan beberapa waktu lalu, ada kata bangsat' ditujukan kepada menteri kesehatan, oleh demonstran yang nota bene kumpulan para dokter. Sungguh menarik bahwa politik  caci maki menjadi kebutuhan untuk menyampaikan pesan.
 Sebuah  etika politik baru nampaknya semakin menguat  terjadi di alam demokrasi kita, yakni  insulting politicians,  meminjam istilah yang terus beredar di dunia gital,oleh  Francesca D'Errico  ddk  dalam artikel ilmiahnya yang berjudul " Aggressive Language And Insults In Digital Political Participation"Insulting politician adalah sebuah  model penyajian  sosio-kognitif diskredit dalam komunikasi politik yang  berfokus pada bahasa agresif dalam web untuk menganalisis berbagai jenis tindak tutur seperti hinaan dan komentar evaluatif, yang terus berbiak di negara yang sedang tumbuh demokrasinya.
 Insulting politicians  semakin menggila, ketika  sasaran tembak seperti Presiden Jokowi  menganggap cacian itu adalah  hal kecil, sehingga yang mencaci  tidak bisa diproses hukum,  karena kasus  semacam itu berasaskan delik aduan. Dimana Jokowi tidak mengadukannya. Presiden Jokowi membiarkannya, dan ada yang lebih besar dari itu untuk dipecahkan dalam bernegara dan mensejahterakan rakyat luas.Pak Jokowi semakin bersinar, karena kesabarannya dan sifat pemaafnya walapun belaiu zalimi. Tak bisa dipungkiri inilah yang membuat belaiu bersinar.Â
Rocky Gerung adalah sebuah sosok dengan tarian  insulting politicians, dengan Bahasa tolol, bajingan dungu dan lain sebagainya, kejadian itu mengaduk emosi masyarakat  dan  munculnya polarisasi reaksi terhadap agresi verbal pemimpin politik: yang hebat mayoritas pengikutnya memperburuk nada tetapi pada saat yang sama minoritas "aktif" tumbuh mengekspresikan kemarahan dan mencerminkan pada moralitas politik karena adanya  perbedaan" komentar.
 Tetapi bagaimana jika komunikasi ini  diungkapkan dalam bahasa sinis? Bagaimana jika interaksi ini tidak beradab dan melibatkan bahasa yang berprasangka buruk, menyakitkan, mengecilkan hati, dan merusak yang tidak dapat dicegah dan konstan? Inilah yang terus menjadi pemikiran kita semuanya, demokrasi  akan mencari bentuk untuk saling mendewasakan kita semua dalam bernegara.Â
Oleh karena itu  , Ketidaksopanan dan pelecehan online dalam komunikasi politik telah menjadi topik perhatian penting di kalangan politisi, jurnalis, dan akademisi. Meskipun fenomena meningkatnya ketidaksopanan dalam arena politik (Mutz, 2015; Uslaner, 1993) dan hubungannya dengan itu (Funk, 2001; Sigelman & Bullock, 1991) telah banyak dibahas (Mutz & Reeves, 2005), komunikasi media sosial telah menghidupkan kembali perdebatan ini dengan menyoroti aspek-aspek baru untuk dipertimbangkan karena kemampuan platform yang bervariasi.Â
Diberdayakan oleh kapasitas interaktif platform seperti Twitter atau Facebook, pengguna individu (tetapi juga bot) sekarang dapat secara langsung dan terbuka menyampaikan komentar kepada perwakilan mereka dalam kondisi anonimitas. Kapasitas media sosial untuk memperkuat hubungan antara perwakilan dan konstituen mereka telah lama dilihat sebagai potensi kemajuan besar menuju ruang publik yang lebih inklusif dan penguatan deliberasi publik (Coleman, 2005). Namun, bahaya ketidaksopanan---dan kekhawatiran lebih lanjut tentang normalisasi---di lingkungan anonim seperti itu tampak besar (Coe et al., 2014; Sobieraj & Berry, 2011) dan dapat memiliki konsekuensi penting bagi demokrasi.
Beberapa hasil  Penelitian menunjukkan  bahwa ketidaksopanan memiliki efek negatif yang kuat pada sikap dan perilaku di berbagai tingkatan (Anderson et al., 2013; Gervais, 2015; Massaro & Stryker, 2012). Pertama, paparan ketidaksopanan antara politisi telah dikaitkan dengan ketidakpuasan publik terhadap institusi politik dan sikap negatif terhadap politisi (Capella & Jamieson, 1997; Elving, 1994, tetapi lihat Brooks & Geer, 2007). Kedua, paparan ketidaksopanan online antara warga negara di tempat-tempat seperti blog dan forum online dapat menurunkan keterbukaan pikiran, kepercayaan politik, dan kemanjuran (Borah, 2012) dan mempolarisasi pandangan individu tentang suatu topik (Anderson et al., 2013; Lyons & Veenstra , 2016).
 Selain itu, pelecehan yang ditujukan langsung kepada individu, terutama kelompok minoritas dan rentan, cenderung membuat mereka lebih cemas akan keselamatan mereka dan membuat mereka tidak dapat bergerak (Henson et al., 2013; Hinduja & Patchin, 2007; Munger, 2016). Ketiga, di area penelitian yang paling tidak berkembang tentang interaksi tidak beradab, yaitu antara warga negara dan politisi, bukti menunjukkan bahwa meskipun kandidat politik kadang-kadang terlibat dalam keterlibatan timbal balik dengan warga negara (Enli & Skogerb, 2013; Tromble, 2018), mereka yang memanfaatkan Twitter lebih cenderung menerima tweet yang tidak sopan dan tidak sopan daripada mereka yang cenderung hanya "menyiarkan" (Theocharis et al., 2016).Â
Akhir kata saya kutipkan pesan  Kang Emil (Ridwan Kamil) " Politik itu mulia. Cara untuk memperjuangkan nilai. Politik praktis juga umumnya bising berintrik. Butuh nalar jernih & sabar dalam menavigasinya. Moga bermanfaat. ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H