Sang ayah itu adalah Ida Dalem Tarukan, anak kedua Raja Sri Kresna Kepakisan itu. Dipaksa berpisah dengan istri sedang hamil tua itu, karena  intrik politik kekuasaan yang kejam, sehingga keluarga harmoni menjadi terpecah belah, memilukan bagi keluarga  kerajaan Bali ketika itu.  Ida Dalem Tarukan meninggalkan istri Beliau, mengungsi ke arah utara, agar tidak terjadi perang saudara, antara Ida dalem Samprangan dengan Ida dalem Tarukan, sebab keduanya memiliki pengikut setia yang fanatik.
Sebuah perpisahan yang menyakitkan, dan I Dewa Gde Muter  tak mengenal  bagaimana wajah sang ayah,  kesedihan ditinggal sang ayah, serta ibu mendadak 'newata saat' melahirkan dirinya. Perasaan duka lara selalu menghiasa hari-hari I Dewa Gde Muter, menapaki hari demi hari sampai umur 16 tahun itu.
Ida dalem Samprangan, juga merasakan kesedihan keponakannya, ditinggal ibu dan ayah, namun apa boleh buat, kata-kata telah dikeluarkan oleh dirinya, selaku  raja pantang di tarik kembali, sewaktu-waktu ida dalem Samprangan juga merasa sedih, memikirkan adiknya, Ida Dalem Tarukan, mengapa keputusan untuk menghancurkannya keluar dari bibirnya.
Demikianlah yang tergurat indah dalam babad, kisah  putra sulung Ida Dalem Tarukan itu, yang masih dalam kandungan harus berpisah dengan sang Ayah. Karena peristiwa getir titah Raja untuk memberangus Puri Tarukan.
Dewa Gde Muter menatap langit lalu memandang ke arah utara  terlihat Gunung agung yang hijau rapi dan gagah, lalu dia berucap, "Ayah.... Di manakah engkau berada, aku ingin memeluk mu, aku ingin mencium kakimu yang suci, bahwa aku adalah bagian darimu, mudah-mudahan engkau masih hidup.
Dalam benak  Dewa Gde Muter, terbersit betapa seorang ayah adalah pigur yang selalu menjadi tumpuan hidup anak-anaknya,  yang lahir dari rahim sang ibu yang harmoni dengan dirinya.  Dia bertekad, "Sosok ayah menjadi pencarian yang terus bergerak dalam jiwaku, " Aku hanya ingin membuatmu bangga, meski yang terjadi tak selalu bisa sama dengan apa yang aku harapkan. "Sosok yang selalu mengestimasi adalah ayah" "Ayah, yang tak banyak bicara terkesan tidak peduli, tetapi sesungguhnya yang ada dalam hatimu sejatinya adalah diriku, aku merasakan itu ayah". Desah  I Dewa Gde Muter.
Sang bibi berkata, " Ayah paduka, Ida Dalem Tarukan,  tinggi tegap berwibawa, wajahnya tidak jauh berbeda dengan Paman mu, Ida Dalem Samprangan, namun kulitnya agak lebih jernih  dan  lembut serta cerah mengkilap, rambutnya berombak, karena ibu beliau  adalah salah satu dari keturunan Gusti Gajah para, tokoh yang agung  dari kerajaan Maja Pahit, yang berasal dari Jepara.  Kalau Paduka memaksa untuk berangkat, berangkatlah bibi persiapkan semua perbekalan yang memadai.
Oleh karena itu, kalau menurut bibi berangkatlah besok pagi, sebab berjalan menurut arah utara sangat baik kalau hari senin wage  dan urip nya 4, puja lah dewa Wisnu, arah utara, pasti terberkati. I Dewa  Gde Muter mengangguk tanda  setuju. Beliau pun bersiap-siap  berangkat tidur agar besok pagi bisa segar berangkat menuju arah utara.Â
Fajar menyingsing pagi hari , ayam berkokok bersahutan di serambi ruang istana Dalem Samprangan, sebab beliau berada di wilayah istana, sejak ditinggalkan oleh Ayah beliau, perjalanan pun dimulai I Dewa Gde Muter berjalan menyusuri jalan setapak ke arah utara , dan perjalanan terus meninggalkan banyak desa dan dusun, banyak orang yang ditanya dan diamati tak satu pun sama dengan kata-kata bibi pengasuhnya, dan tak ada orang yang mau mengatakan pernah bertemu dengan Ida dalem Tarukan.
Masyarakat dusun tahu bahwa Ida Dalem Tarukan itu  sedang bersembunyi, dan  dikejar oleh pihak istana. Kesetiaan warga dusun tetap teguh untuk menyelamatkan Ida Dalem Tarukan.
Akhirnya bertemulah dia dengan seorang petani yang membajak sawah. Disana I Dewa Gde Muter berdiri dan terjadi sesuatu yang mengagetkan, sapi-sapi yang digunakan membajak, rengas, lari kebarat ke birit, kondisi ini membuat petani itu  marah lalu , bertanya"