Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Balik Kisah Saput Poleng Tanpa Tepi

16 Februari 2021   23:56 Diperbarui: 17 Februari 2021   00:08 2546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manatap sejarah perjalanan masa lalu, adalah cemeti dalam menghayati  pergerakan peradaban. Kerap di sana ditemukan mutiara yang berpendar dengan  sebuah pesan, yang identik dengan makna sejarah, yaitu sejarah adalah suatu perjanjian di antara orang yang sudah meninggal, mereka yang masih hidup, dan mereka yang belum dilahirkan. Maka sejarah kerap berisi sisi suka dan duka, kita dipersilahkan memilihnya untuk dijalani.

Duka adalah karena rasa sakit yang menganga, harus disadari, bahwa rasa sakit  sejarah sedang menghaluskan kekotoran jiwa di dalam hati, rasakan pelan namun pasti, bahwa di lingkungan alam ini beragam kisah hal yang suci dan bening. 

Luka dan susah karena penyakit pun  membawa pesan suci sejarah yang berulang, sebab Kesucian di luar kemudian membimbing o banyak orang menemukan kesucian di dalam hatinya. Dan di antara semua wajah kesucian di dalam, yang tersuci adalah hati yang selalu bersyukur. Bersyukur adalah simbol hati yang damai.

Di bingkai itu, manusia memang bisa membuat simbol, simbol membuatnya bisa dikenal, sehingga manusia identik dengan predikat animal symbolicum' seperti kata Ernst Cassirer, seorang filsuf Yahudi yakni makhluk yang mengerti serta membentuk simbol. Simbol dan makna diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat, melalui nilai-nilai kearifan lokal. Manusia selalu menggunakan simbol dalam menyampaikan pesan, pesan masuk sebagai data untuk menguak relung sejarah peradaban.

Saput poleng adalah identitas, yakni  hitam putih, merupakan dua sifat yang berdiri diametral, baik dan buruk selalu berdampingan, baik itu ada karena ada pembandingnya buruk. Rwa bineda, dan selalu menjadi ciri sifat benda di bumi. Sama seperti entitas  dwi wara, "menge dan pepet", kosong dan berisi. Dan di antara kosong dan berisi berasimilasi dalam satu  konsep baru luwang (ekawara). Kesempatan, kosong berisi. Tak ada definisi  dalam bahasa manusia.

Namun makna saput poleng tanpa tepi, artinya  sebuah saput tanpa ujung, atau tanpa garis tepi. Sebab ketika ada tepi maka sesungguhnya 'terbatas" hitam dan putih itu, sejatinya tak ada ujungnya, kalau seseorang bergerak mencari pembanding, atau perbedaan, maka dia akan terus menerus (kontinu)  sebagai sosok samsara, dan tak pernah mencapai moksha.

Ketika seseorang menganggap tanpa tepi, maka sesungguhnya antara baik dan buruk itu sama. Kepribadian itu sebagai simbol bagi pemakainya. Ketika dia bertepi, maka sejatinya  dia telah diskontinu, tidak bersinambung, dengan sang maha jiwa, dan kekosongan yang berisi tak pernah mengejawantah dalam dirinya.

Saput poleng tanpa tepi , tersurat dalam babad 'Dalem Tarukan' (Putra kedua Raja Sri Kresna Kepakisan yang diangkat oleh Raja Majapahit di Bali) pencirian pakaian atau busana ida dalem ketika 'menampilkan diri' dalam keseharian, dalam meniti kehidupan sebagai sosok yang menabur benih kebajikan (memula sari=pulasari, Dalem Tarukan menurunkan Klan  Pulasari di Bali ), sebab ketika menabur benih kebajikan maka akan tumbuh bunga yang indah. 

Bunga-bunga indah yang berwarna warni, tidak pernah berdoa agar dicium lebah dan kupu-kupu indah. Bunga cukup mekar indah, kemudian lebah dan kupu-kupu indah akan datang berkunjung ditemani ciuman indah merasakan madu dari kebajikan itu sendiri.

******

Siang itu udara sejuk melintasi kawasan Puri Samparangan, yang indah , yang dikelilingi sawah berundak yang ditumbuhi padi bali yang subur. Tepat  di Bale tengah, tak terduga,  mimik bibi pengasuh yang telah setia ngayah itu  kaget karena I Dewa Gde Muter datang menghampirinya dengan wajah sedih. Dia mengutarakan rasa rindunya,  ingin mencari sang ayah ke arah utara, sebab sudah hampir 16 tahun  berlalu, Sang ayah   telah pergi menuju ke arah gunung. 

Sang ayah itu adalah Ida Dalem Tarukan, anak kedua Raja Sri Kresna Kepakisan itu. Dipaksa berpisah dengan istri sedang hamil tua itu, karena  intrik politik kekuasaan yang kejam, sehingga keluarga harmoni menjadi terpecah belah, memilukan bagi keluarga  kerajaan Bali ketika itu.  Ida Dalem Tarukan meninggalkan istri Beliau, mengungsi ke arah utara, agar tidak terjadi perang saudara, antara Ida dalem Samprangan dengan Ida dalem Tarukan, sebab keduanya memiliki pengikut setia yang fanatik.

Sebuah perpisahan yang menyakitkan, dan I Dewa Gde Muter  tak mengenal  bagaimana wajah sang ayah,  kesedihan ditinggal sang ayah, serta ibu mendadak 'newata saat' melahirkan dirinya. Perasaan duka lara selalu menghiasa hari-hari I Dewa Gde Muter, menapaki hari demi hari sampai umur 16 tahun itu.

Ida dalem Samprangan, juga merasakan kesedihan keponakannya, ditinggal ibu dan ayah, namun apa boleh buat, kata-kata telah dikeluarkan oleh dirinya, selaku  raja pantang di tarik kembali, sewaktu-waktu ida dalem Samprangan juga merasa sedih, memikirkan adiknya, Ida Dalem Tarukan, mengapa keputusan untuk menghancurkannya keluar dari bibirnya.

Demikianlah yang tergurat indah dalam babad, kisah  putra sulung Ida Dalem Tarukan itu, yang masih dalam kandungan harus berpisah dengan sang Ayah. Karena peristiwa getir titah Raja untuk memberangus Puri Tarukan.

Dewa Gde Muter menatap langit lalu memandang ke arah utara  terlihat Gunung agung yang hijau rapi dan gagah, lalu dia berucap, "Ayah.... Di manakah engkau berada, aku ingin memeluk mu, aku ingin mencium kakimu yang suci, bahwa aku adalah bagian darimu, mudah-mudahan engkau masih hidup.

Dalam benak  Dewa Gde Muter, terbersit betapa seorang ayah adalah pigur yang selalu menjadi tumpuan hidup anak-anaknya,  yang lahir dari rahim sang ibu yang harmoni dengan dirinya.  Dia bertekad, "Sosok ayah menjadi pencarian yang terus bergerak dalam jiwaku, " Aku hanya ingin membuatmu bangga, meski yang terjadi tak selalu bisa sama dengan apa yang aku harapkan. "Sosok yang selalu mengestimasi adalah ayah" "Ayah, yang tak banyak bicara terkesan tidak peduli, tetapi sesungguhnya yang ada dalam hatimu sejatinya adalah diriku, aku merasakan itu ayah". Desah  I Dewa Gde Muter.

Sang bibi berkata, " Ayah paduka, Ida Dalem Tarukan,  tinggi tegap berwibawa, wajahnya tidak jauh berbeda dengan Paman mu, Ida Dalem Samprangan, namun kulitnya agak lebih jernih  dan  lembut serta cerah mengkilap, rambutnya berombak, karena ibu beliau  adalah salah satu dari keturunan Gusti Gajah para, tokoh yang agung  dari kerajaan Maja Pahit, yang berasal dari Jepara.  Kalau Paduka memaksa untuk berangkat, berangkatlah bibi persiapkan semua perbekalan yang memadai.

Oleh karena itu, kalau menurut bibi berangkatlah besok pagi, sebab berjalan menurut arah utara sangat baik kalau hari senin wage  dan urip nya 4, puja lah dewa Wisnu, arah utara, pasti terberkati. I Dewa  Gde Muter mengangguk tanda  setuju. Beliau pun bersiap-siap  berangkat tidur agar besok pagi bisa segar berangkat menuju arah utara. 

Fajar menyingsing pagi hari , ayam berkokok bersahutan di serambi ruang istana Dalem Samprangan, sebab beliau berada di wilayah istana, sejak ditinggalkan oleh Ayah beliau, perjalanan pun dimulai I Dewa Gde Muter berjalan menyusuri jalan setapak ke arah utara , dan perjalanan terus meninggalkan banyak desa dan dusun, banyak orang yang ditanya dan diamati tak satu pun sama dengan kata-kata bibi pengasuhnya, dan tak ada orang yang mau mengatakan pernah bertemu dengan Ida dalem Tarukan.

Masyarakat dusun tahu bahwa Ida Dalem Tarukan itu  sedang bersembunyi, dan  dikejar oleh pihak istana. Kesetiaan warga dusun tetap teguh untuk menyelamatkan Ida Dalem Tarukan.

Akhirnya bertemulah dia dengan seorang petani yang membajak sawah. Disana I Dewa Gde Muter berdiri dan terjadi sesuatu yang mengagetkan, sapi-sapi yang digunakan membajak, rengas, lari kebarat ke birit, kondisi ini membuat petani itu  marah lalu , bertanya"

Eh.... Siapa namamu dan yang membuat sapi-sapi ku  kaget dan lari tunggang langgang? Apa yang mau kau lihat, I Dewa Gde Muter  diam dan terus memandang saput poleng yang dipakai  petani itu , namun belum sempat memandang dia sudah didekati terjadilah perkelahian sengit  antara petani itu dengan  I Dewa Gde Muter, tak ada yang kalah semuanya kuat, dan keduanya kelelahan, dan keduanya berpikir jernih, siapa namamu nak? Petani itu adalah Ida dalem Tarukan yang sedang membajak sawah untuk persiapan menanam padi  di salah satu dusun Giri penida.

Dan Ide Dalem kemudian memandangnya, koq kamu mirip anakku I Gusti Gede Sekar, dan ketampanannya mirip dengan wajah I Gusti  Gede Pulasari?  Siapa sesungguhnya dirimu? I Dewa Gde Muter menangis? Aku kelelahan, dan rindu aku hidup sendiri tanpa ayah dan ibu, aku ingin mencarinya dimana pun berada, aku berharap anda tadi dapat membunuh ku, agar aku bisa bertemu Ibuku di surga, Kata I Dewa Gde Muter?

Mendengar itu Ida Dalem Tarukan, yang ini melakoni sebagai petani di Pedukuhan Bunga, menjadi iba, sebab beliau merasakan bahwa beliau ingat  memiliki putra, dan bagaimana  wajah dan nasibnya sekarang .

Ida Dalem bertanya, siapa nama ayahmu.... Siapa tahu dia ada di tempat kami? Aku tidak mengenalnya dan wajahnya pun aku tak tahu, kata bibi pengasuhku.... Ayahku bernama " Ida Dalem ...Tarukan:", ketika mengatakan itu, sontak Ida dalem Tarukan berkata'  Anakku, maafkan ayah, engkaulah yang aku rindukan, anakku,  akulah ayahmu, Dalem Tarukan.

Bereka berpelukan melepas rindu, Nak, nasib membuat ayah begini, lacur ajik,  terluta-lunta di dusun, dan meninggalkanmu masih dalam kandungan, ibumu sangat sedih dahulu, demi kehidupan ini terus berjalan untuk menuntaskan karma ayah mengabdi pada rakyatku dengan mempelajari Weda,  ayah harus hidup, nak sekali lagi  inilah nasib ayahmu, seorang putra raja, namun agar tetap bertahan hidup, aku melakoni menjadi petani dan menjauh dari kekuasaan raja"

Anakku, ayah pikir, petani selalu mengabdi pada ibu pertiwi, dan mengharap belas kasihan angkasa sebagai simbol ayah. Sang ayah akan memberikan kasihnya pada tanaman dalam bentuk hujan' anakku. Sehingga menjadi subur. Aku memilih petani jauh dari hiruk pikuk politik kerajaan, karena politik, poly artinya banyak  dan "tik" itu adalah taktik atau strategi, dan itu yang ayah tidak bisa lakukan, penghancuran puri Tarukan adalah karena 'politik itu tadi" dan ayah menjadi tersangka' atas sebuah kesalahan kecil. Mengawinkan kakakmu Kuda Penandang  Kajar dengan sepupumu putri Raja Dalem Samprangan, Wa mu itu marah besar pada ayah.

Anakku,  aku bahagia bisa bertemu dengan mu? Ya ayah.... Aku juga bahagia bisa bertemu dengan ayah, ? Sejk pertama bertemu, aku sudah curiga.... Sepanjang jalan aku diminta oleh bibi  yang menjadi ciri-cirimu adalah pakaiannya selalu memakai " saput poleng tanpa tepi" itu menjadi ciri khas mu, namun tadi saat aku memandangmu, dan melihatnya saput ikut engkau lipat sehingga tepinya tidak kelihatan.

Ida Dalem Tarukan berkata, anakku Tuhan itu mengatasi perbedaan hitam dan putih, ketika kita berada di zona membedakan atau membandingkan, maka kita masih masuk di tataran dualitas. Maka sesungguhnya berhentilah maka aka bertemu, dengan yang satu, sehingga eka wara, ngaran luwang, kosong. Ketika kosong maka berisi. Itulah makna hitam putih dan tanpa tepi, tidak ada batasnya, ketika kita mencari terus maka jiwa tidak akan pernah bersatu pada yang Maha tunggal.

Anakku ingatlah ini, begitulah kata Ida Dalem Tarukan pada I Dewa Gde Muter, anakku, engkau harus tahu bahwa  Kelaparan dapat menutupi kebajikan dan kebenaran, ia juga dapat melenyapkan keteguhan hati, dan lidah selalu 'ingat' dengan rasa yang enak inilah yang menyebabkan lapar. Maka  sebagai seorang pemimpin membuat rakyatnya tidak lapar menjadi sangat penting anakku, sediakan makanan yang banyak agar mereka menjadi sehat, maka mereka akan mudah diajak bekerja membangun mahligai masyarakat luas.

Lalu mereka berdua berjalan menyusuri pematang sawah dengan sapi-sapinya, menuju pedukuhan Bunga, lalu mereka disambut oleh para ibu mereka, dan  putra putra beliau yang lain:  I Gusti Gde Sekar, I Gusti Gede Pulasari, I Gusti Gde  Balangan, I Gusti Gde Dangin. I Gusti  Gde Belayu.

Lalu I da Dalem Tarukan memperkenalkan I Dewa Gde Muter ke saudara-saudaranya yang lain, "Anakku ini kakakmu dan memulai saat ini , aku beri nama kakakmu ini,   I Dewa Bagus Darma,  kemudian adik-adik beliau memberikan salam hormat. Karena semua putra sudah berkumpul Ida Dalem sudah merasa tenang dan kehidupan di tempat Wetaning Giri Panida ini oleh Ida Dalem Tarukan dinamai Dusun Pulasantun ( Pulasari, Bangli).

Beliau bahagia dan hidup  berkecukupan maka beliau tidak berniat lagi untuk kembali ke Puri kerajaan. Ibukota kerajaan telah berpindah ke Gegel swecapura pun tak membuat beliau risau. Belai menyadari bahwa tidak ada pohon rindang untuk berteduh yang lebih sejuk dari rasa berkecukupan di dalam. Hati menjadi sangat penting untuk di tata, sebab tindakan  terindah untuk  hati  dari pengaruh tidak positif kegelapan di luar, adalah dengan menerangi dengan cahaya kasih  kegelapan yang ada  di dalam"

Beliau menyarankan kepada putranya untuk tetap tinggal bersama di pedusunan jangan lagi pulang ke panegaran. Nasehat ini sangat dihormati dan dipatuhi oleh putra-putra Dalem semua. Mogi rahayu, pada liang ngastiti dharma.*******

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun