Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Balada Dagang Nasi Kuning

23 April 2020   09:34 Diperbarui: 23 April 2020   09:44 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasi kuning, adalah identitas budaya. Dia hadir  dalam berbagai bentuk. Bentuk tumpeng  misalnya berarti  pertanda ada kejutan, bahagia, suasana   meriah,  ada syukuran, puncak  dari usaha. Bukti sebuah keberhasilan  menuju bahagia, sebab dengan tumpeng diyakini  banyak harapan lancar menjadi kenyataan. Dia merupakan piranti doa yang kasat mata.

Tafsir lain yang penulis renungkan dengan sederhana, wujud tumpeng pertanda bahwa kebahagian akan muncul ketika hidup manusia sadar meruncingkan diri dalam ketajaman pikiran dan akal, sehingga laku  mengolah rasa agar peka dan tajam, merupakan terminal akhir yang kerap dimuliakan dalam bermasyarakat. 

Tetua di Bali kerap mengajarkan dengan beragam simbolis, Tumpeng kuning  banyak diwujudkan dalam banten upacara tradisi, yang merupakan perwujudan harapan doa, seperti banten "perangkatan" dan  banten  ajuman yang menunjukkan penghormatan pada Hyang widi, selain itu ada 'ayaban' (persembahan'saat  hari Banyu pinaruh, sehari setelah hari Saraswati, sebagai bentuk " labaan" (hadiah)  setelah melakukan anyuci laksana(menyucikan diri)  - di sumber air- yang disantap dengan hati penuh syukur.

Manusia diajak  sadar bahwa ilmu pengetahuan bisa didapatkan ketika kita melihat  sifat air mengalir, ke tempat yang rendah. Artinya orang rendah hati lebih mudah mendapat ilmu pengetahuan dari pada orang tinggi hati. 

Bentuk lain, "Sulanggi" juga berisi nasi kuning, bermakna sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Tri Purusa yang kita mohonkan hadir dengan bersifat Satyam, Siwam dan Sundharam, yaitu menganugerahkan keteguhan iman, kesucian dan kemakmuran kepada umat manusia, sehingga memunculkan, sebuah tekad baru.

Tekad itu adalah dalil,  bahwa ketaatan mengikuti kebenaran, mengulang-ulang nama Tuhan (japa), dan meditasi dapat diibaratkan dengan pekerjaan meluku(membajak) serta meratakan tanah. Kasih adalah air yang harus menggenangi ladang itu, membuat tanahnya gembur dan subur. Nama Tuhan adalah benihnya, dan bakti adalah kecambah yang tumbuh. Nafsu keduniawian (kma) dan kemarahan (krodha) adalah ternak, sedangkan disiplin adalah pagarnya, kebahagiaan jiwa (nanda) adalah panennya.

Namun, nasi kuning kalau  hanya di bungkus dalam campuran saur kacang, sedikit sayur dan sambel,  dia merupakan pengganjal perut, biasanya cocok  untuk sarapan pagi, atau teman begadang bagi mahasiswa.Dia dicerna oleh api kekuatan yang ada dalam lambung dan usus, dalam konsepsi Bhagawad Gita disebut sebagi perwujudan kekuasaan Tuhan, "Aham Weswanaro bhutwam", yang ada dalam diri semua mahluk, dalam bentuknya yang Ilmiah dikenal sebagai  enzim-enzim pencernaan dan HCl, yang mendegradasi biomolekul seperti: Karbohidrat , protein, lemak, asam nukleat, menjadi  energi dan komponen sederhana sebagai prekursor untuk  membentuk biosintesis tubuh makhluk hidup.

Maka, nasi kuning  sebagai  pengganjal perut, biasanya dijual pagi dan malam hari. Aroma bumbu yang khas dengan sedikit santan dalam adonan nasinya, akan terasa gurih, namun kini nasib penjual nasi kuning tidak seindah tampilannya, karena wabah Covid-19, membuat perubahan drastis.

Penjual nasi kuning selalu menyisakan cerita yang menarik, sebab semasih orang lapar maka nasi kuning akan tetap diburu. Walaupun kini, terjadi pasang surut, namun tetap saja mengeliat sebagai sumber pendapatan rakyat kecil.

Pasang surut itu adalah ciri kehidupan, yang kekal adalah perubahan. COVID-19 menyerang, dagang nasi kuning selalu tersenyum bak kisah. Sebagaimana kegelapan membuat cahaya tambah terang, masalah membuat pedagang nasi kuning selalu bangkit,dan penuh harapan semoga besok menjadi lebih baik. 

Itu sebabnya rakyat kecil dalam sektor informal, berusaha mencari celah agar bisa hidup dalam  desakan kesusahan akibat wabah yang tak diundang ini. Virus hadir memberikan pesan yang dalam' tantangan, dan menghadapinya adalah proses mendaki gunung, kata-kata bijak berpesan, "The best view comes after the hardest climb."  Pemandangan menakjubkan datang setelah pendakian yang melelahkan.

Pendakian untuk memandang yang lebih luas, bisa disaksikan dalam setiap sudut kehidupan. Saya terantuk pandangannya pada usaha kecil dagang nasi kuning. Seorang dagang nasi kuning di pinggir jalan ramai di salah satu sudut pemukiman, terlihat wajahnya berkeringat, tangannya dengan cekatan melayani pembeli, keterampilannya berjualan nasi kuning nampaknya  sudah menjadi aktivitas rutin dan refleks.

Pembeli menyebutnya Bu Ayu Sri sudah melakoni berjualan nasi kuning sejak 20 tahun silam. Rentang waktu yang tak pendek, sebelumnya cukup ramai, walaupun begitu, tidak seperti biasanya, tanggal 22 April 2020, sejak sudah hampir satu bulan lebih social distancing, omset penjualannya menurun, dia tetap tenang, sedikitpun tak tampak  kebingungan. Walau kini pembeli sudah semakin berkurang,, dia tetap menjalani roda kehidupan.

Tak berbdea jauh, pagi itu, matahari kian merangkak  naik, namun  jumlah pembeli tak banyak, omset harian berjualan selalu terjun bebas, sejak siswa belajar di rumah dan orang tua Work from Home (WFH). Praktis orang tua ada waktu untuk menyiapkan sarapan anak-anak mereka , sehingga tidak  perlu pergi membeli ke warung. Itulah alasannya sepi. Nasib pedagang nasi kuning pun juga terhempas wabah covid-19.

Selain siswa, SMA  SMP dan  SD,  Ibu Ayu Sri ini, juga memiliki pelangga dari kalangan  mahasiswa, maklum, lokasi tempat berjualan memang wilyah tempat kos-kosan Mahasiswa yang Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) ketika aturan belajar di rumah dilakukan, mereka memilih  pulang kampung, sehingga dagang nasi kuning sering terpaku,  sebab jumlah  Mahasiswa Universitas pendidikan Ganesha yang ada di Singaraja miliki mahasiswa dikisaran 13.000 orang. Jumlah yang bisa membuat roda perekonomian kota Singaraja di sisi Utara pulau  Bali itu  berputar hidup.  Mahasiswa Undiksha menghidupkan berbagai sektor bisnis lain,seperti  foto copy, warung pecel lele dan juga nasi kuning itu jua.

Saya  sering membeli nasi kuning ke tempat itu, alasannya  rasanya  cocok di lidah dan ada tambahan sayur urabnya. Komposisi  ini yang tidak ditemukan di tempat lain. Saya memperhatikan betapa Bu Ayu sudah sangat profesional dalam berjualan, tangannya cekatan membungkus nasi kuning dengan berbagai campuran, mie, sayur dan kacang tanah goreng  dan ayam suwir, serta  sedikit urab. Sayur urab menjadi suplemen yang banyak diminati pembeli, termasuk saya. 

Saya sudah mencoba pada penjual yang lain, dan keluarga sepakat kalau mau sarapan pagi ya, kita akan membelinya di Ibu Ayu ini.

Ibu Ayu tak menduga akan ada wabah seperti ini. Dalam keadaan biasa dia buka mulai jam 06.00 pagi sampai jam 10.00, namun kini mulai jam 08.00 sesuai surat edaran Bupati Buleleng, pasar dan toko di buka pukul 08.00-16.00.

Apakah ada pengaruh bu? tanya saya menelisik.

"Wah tentu pak, biasanya saya membuat 6 termos besar, isi 5 kg, kini 2 saja  tak habis, menurun drastis. Saya selalu berdoa dan berharap semoga wabah ini  cepat berlalu. Lakukan sesuatu hari ini yang mana kita akan berterima kasih padanya di masa depan nanti). Saya tidak berjualan sore hari, katanya lirih, hanya pagi saja. Pedagang nasi kuning, tidak hanya ada pada pagi hari, kota Singaraja yang dominan mahasiswa. Nasi kuning di jual juga malam hari."

Kalau anda kebetulan berjalan melintas di jalan utama Kota Singaraja banyak yang berjualan. Kini, ketika aturan  pedagang buka sampai jam 16.00, praktis dagang nasi kuning malam hari tak berjualan. Tentu bukan hanya  dagang nasi kuning saja yang tehempas, semua makanan untuk makan malam tak ada yang menjual seperti:  pecel lele, nasi goreng dan lain-lain,  memang mereka inilah yang paling terpukul ketika wabah  Covid -19 terjadi.Nampaknya mereka inilah yang perlu dibantu saat ini.

Bu ayu adalah satu di antara pedagang yang masih bisa jualan pagi hari, dan yang lain harus bisa memeras otak untuk mengubah cara untuk bisa bertahan hidup.Tentu harapan kita adalah segera wabah berakhir, dan ada bantuan yang sifat darurat pada warga yang seperti ini.Papa sisi ini wabah Corona, mengajarkan ke kita bahwa hidup harus berbagi, dan ini saatnya untuk berbagi tanpa pamerih.

Hidup memang seakan menjadi saksi betapa kehidupan selalu berubah. Perubahan-perubahan harus dibiasakan dalam hidup, namun saat ini perubahan terus ke arah yang lebih berat, Bu ayu berkata lirih, "Semuanya terkena dampak, dan aturan social distancing, sudah dihadapi bersama, dan aturan sudah tidak pilih kasih, ya kita sebagai rakyat kecil harus terima, demi keselamatan kita semuanya."

Dia menambahkan lagi , "Saya pasrah. Dagang banyak tidak laku, namun harga bahan pokok, sudah mulai merambat naik, bumbu yang didatangakan dai luar Bali (antar pulau) sejak Covid-19, makin jarang  ada pasokan, maka kenaikkan terus terjadi, walaupun masih di atas wajar.

Sebagai rakyat kecil, rakyat sesungguhnya, memang patuh. Hidup menyisakan banyak derita dan suka duka, dalam keringat yang mengucur dari pedgang nasi kuning itu, seakan memesankan bahwa tekadnya bulat untuk hidup hari ini dan esok masih ada harapan.

Semangatnya mengkhabarkan bahwa hari kemarin telah selamanya pergi. Manfaatkan sebaik-baiknya hari ini dan esok jika kita ingin menebus waktu yang hilang, perasaan seperti itu  terus bergulat dengan  cekatan dan  ditunjukan dengan cepat meladeni pembeli.

Asap nasi kuning, yang mengepul, karena termosnya terbuka bau arum nasinya membuat ngiler bagi yang menghirupnya.

Saya pas datang pagi itu, untuk membeli dua bungkus nasi, dia tersenyum dengan tulus, dan mengangguk, "Saya tidak bisa memakai masker, sesak," bebekan katanya, ketika saya menyinggung kenapa tidak pakai masker. 

Sambil memesan dua bungkus, Dan, satpol PP yang menyemprot disinfektan di wilayah itu, segera memberi tahu dan memberikan masker, "Ibu itu wajib memakai masker". Kata petugas, yang berhenti sambil membeli makanan dan makan bersama di warung itu.

Saya tersenyum, ibu itu berkata lagi, "Inilah kehidupan Pak, kalau kami tak kerja, tidak ada untuk biaya hidup anak-anak kami, semuanya tergantung dari hasil penjualan ini." Nasi kuning itu seakan menunjukkan bahwa manusia memiliki kekuatan untuk merubah pemikirannya ke dalam realitas fisik, manusia bisa bermimpi dan mewujudkan mimpinya.

Wabah Covid-19, seakan merubah banyak hal, baru kali ini perubahan drastis terhadap usahanya yang telah lama digeluti. Ekonomi rakyat kecil ambruk dengan wabah  Covid -19,  walaupun demikian pedagang nasi kuning itu, tetap tersenyum, karena ini musibah wabah kadang tak bisa di duga datangnya.

"Berjualan adalah pekerjaan saya, saya harus tetap optimis bisa bangkit, semasih orang lapar saya akan tetap di butuhkan." Ketika saya mendekat untuk mengambil  dua nasi bungkus, pesanan saya, Dia berucap, "Saya selalu bersyukur masih sehat, moga dijauhkan dari bahaya yang lagi melanda  dunia dengan virus corona ini. Masalah hidup seperti ombak tepi pantai, ia akan datang tapi pada saatnya ia akan pergi."

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun