Pendakian untuk memandang yang lebih luas, bisa disaksikan dalam setiap sudut kehidupan. Saya terantuk pandangannya pada usaha kecil dagang nasi kuning. Seorang dagang nasi kuning di pinggir jalan ramai di salah satu sudut pemukiman, terlihat wajahnya berkeringat, tangannya dengan cekatan melayani pembeli, keterampilannya berjualan nasi kuning nampaknya  sudah menjadi aktivitas rutin dan refleks.
Pembeli menyebutnya Bu Ayu Sri sudah melakoni berjualan nasi kuning sejak 20 tahun silam. Rentang waktu yang tak pendek, sebelumnya cukup ramai, walaupun begitu, tidak seperti biasanya, tanggal 22 April 2020, sejak sudah hampir satu bulan lebih social distancing, omset penjualannya menurun, dia tetap tenang, sedikitpun tak tampak  kebingungan. Walau kini pembeli sudah semakin berkurang,, dia tetap menjalani roda kehidupan.
Tak berbdea jauh, pagi itu, matahari kian merangkak  naik, namun  jumlah pembeli tak banyak, omset harian berjualan selalu terjun bebas, sejak siswa belajar di rumah dan orang tua Work from Home (WFH). Praktis orang tua ada waktu untuk menyiapkan sarapan anak-anak mereka , sehingga tidak  perlu pergi membeli ke warung. Itulah alasannya sepi. Nasib pedagang nasi kuning pun juga terhempas wabah covid-19.
Selain siswa, SMA  SMP dan  SD,  Ibu Ayu Sri ini, juga memiliki pelangga dari kalangan  mahasiswa, maklum, lokasi tempat berjualan memang wilyah tempat kos-kosan Mahasiswa yang Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) ketika aturan belajar di rumah dilakukan, mereka memilih  pulang kampung, sehingga dagang nasi kuning sering terpaku,  sebab jumlah  Mahasiswa Universitas pendidikan Ganesha yang ada di Singaraja miliki mahasiswa dikisaran 13.000 orang. Jumlah yang bisa membuat roda perekonomian kota Singaraja di sisi Utara pulau  Bali itu  berputar hidup.  Mahasiswa Undiksha menghidupkan berbagai sektor bisnis lain,seperti  foto copy, warung pecel lele dan juga nasi kuning itu jua.
Saya  sering membeli nasi kuning ke tempat itu, alasannya  rasanya  cocok di lidah dan ada tambahan sayur urabnya. Komposisi  ini yang tidak ditemukan di tempat lain. Saya memperhatikan betapa Bu Ayu sudah sangat profesional dalam berjualan, tangannya cekatan membungkus nasi kuning dengan berbagai campuran, mie, sayur dan kacang tanah goreng  dan ayam suwir, serta  sedikit urab. Sayur urab menjadi suplemen yang banyak diminati pembeli, termasuk saya.Â
Saya sudah mencoba pada penjual yang lain, dan keluarga sepakat kalau mau sarapan pagi ya, kita akan membelinya di Ibu Ayu ini.
Ibu Ayu tak menduga akan ada wabah seperti ini. Dalam keadaan biasa dia buka mulai jam 06.00 pagi sampai jam 10.00, namun kini mulai jam 08.00 sesuai surat edaran Bupati Buleleng, pasar dan toko di buka pukul 08.00-16.00.
Apakah ada pengaruh bu? tanya saya menelisik.
"Wah tentu pak, biasanya saya membuat 6 termos besar, isi 5 kg, kini 2 saja  tak habis, menurun drastis. Saya selalu berdoa dan berharap semoga wabah ini  cepat berlalu. Lakukan sesuatu hari ini yang mana kita akan berterima kasih padanya di masa depan nanti). Saya tidak berjualan sore hari, katanya lirih, hanya pagi saja. Pedagang nasi kuning, tidak hanya ada pada pagi hari, kota Singaraja yang dominan mahasiswa. Nasi kuning di jual juga malam hari."
Kalau anda kebetulan berjalan melintas di jalan utama Kota Singaraja banyak yang berjualan. Kini, ketika aturan  pedagang buka sampai jam 16.00, praktis dagang nasi kuning malam hari tak berjualan. Tentu bukan hanya  dagang nasi kuning saja yang tehempas, semua makanan untuk makan malam tak ada yang menjual seperti:  pecel lele, nasi goreng dan lain-lain,  memang mereka inilah yang paling terpukul ketika wabah  Covid -19 terjadi.Nampaknya mereka inilah yang perlu dibantu saat ini.
Bu ayu adalah satu di antara pedagang yang masih bisa jualan pagi hari, dan yang lain harus bisa memeras otak untuk mengubah cara untuk bisa bertahan hidup.Tentu harapan kita adalah segera wabah berakhir, dan ada bantuan yang sifat darurat pada warga yang seperti ini.Papa sisi ini wabah Corona, mengajarkan ke kita bahwa hidup harus berbagi, dan ini saatnya untuk berbagi tanpa pamerih.