Suara buru menyertai diskusi kami, dan  kami terus menghitari kebun, dia menambahkan,menjurus ke cara berpikir filsafat,  perlu engkau tahu, bahwa dadan yang terbuat dari lima unsur alam ini lemah dan pasti, akan hancur.Â
Walaupun masa hidup manusia ditentukan sekitar seratus tahun, kita tidak dapat memastikannya. Manusia dapat meninggalkan raganya kapan saja, entah pada masa kanak-kanak, masa muda, atau masa tua. Kematian itu sudah pasti. Karena itu, sebelum badan ini binasa, manusia harus berusaha mengetahui sifatnya yang sejati.
Nasihatnya membuat  saya memandang alam sekitar semakin damai dan indah, di koridor itu  ia mengeluarkan sebuah kata-kata bijak lagi, Kita menghirup dan menghembuskan napas. Kita menyantap makanan, mencernanya, dan mengeluarkan ampasnya.Â
Demikian pula manusia tidak boleh hanya mencari harta, tetapi juga harus menggunakannya untuk tujuan yang benar. Janganlah engkau mengumpulkan dan menyembunyikannya. Yang harus kaujaga bukanlah kekayaan, melainkan kebajikan (darma).Â
Darma adalah harta kita yang sejati dan langgeng. Inilah kebenaran yang harus kausadari hari ini. Saya tersenyum, guru saya, melanjutkan ceritanya dengan mengutip kisah bijak yang banyak diceritakan para guru  suci.
Sambil duduk di bercerita dengan semangat, Di suatu desa tinggallah dua bersaudara yang sangat kikir, begitu kalaimat yang muncul dari bibirnya. Saya memandangnya dan mendengarkannya dengan seksama.Â
Dia melanjutkannya, Â Walaupun sudah mengumpulkan banyak harta, mereka tidak mengeluarkan serupiah pun. Mereka bahkan tidak makan kenyang. Mereka tidak mau menyalakan lampu lebih dari lima menit agar jangan menghabiskan minyak lebih banyak.
Sekali peristiwa ada orang meninggal di desa tetangga yang berjarak sepuluh kilometer jauhnya. Sebagaimana adat masa itu, salah satu dari kedua bersaudara tersebut harus pergi ke desa itu untuk menghibur keluarga yang kehilangan.Â
Saudara yang lebih tua bangun awal fajar untuk berangkat dengan berjalan kaki karena kalau pergi dengan bus, berarti ia harus mengeluarkan uang. Ia memberi tahu adiknya agar menyalakan pelita sehingga ia dapat menyimpan beberapa pakaian di tasnya. Begitu ia berangkat meninggalkan rumah, adiknya memadamkan pelita untuk menghemat minyak.
Setelah berjalan kira-kira tiga kilometer, sang kakak pulang lagi dan mengetuk pintu. Adiknya bertanya, Siapa yang mengetuk pintu?" Sang kakak berkata, "Aku abangmu." Adiknya bertanya mengapa ia kembali. Sang kakak berkata, "Ketika meninggalkan rumah, aku tidak memberi tahu engkau agar memadamkan pelita. Karena itu, aku pulang untuk memeriksa apakah pelitanya masih menyala."Â
Kemudian adiknya menjawab, "Bang, apa Abang kira aku tidak punya cukup akal sehat? Begitu Abang meninggalkan rumah, pelita langsung kupadamkan. Tetapi, Abang telah berjalan pulang balik demikian jauh untuk mengingatkan aku tentang hal ini.Â