Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Adakah Nilai-nilai Catur Kotamaning Nrpati di Antara Jokowi dan Prabowo?

10 Maret 2019   08:56 Diperbarui: 3 Juli 2021   04:34 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nilai-nilai Catur Kotamaning Nrpati di Antara Jokowi dan Prabowo (unsplash/sigmund)

Catur Kotamaning Nrpati adalah salah satu konsep kepemimpinan, pada era Majapahit, yang dimuat dalam sebuah buku tata negara Majapahit karya Prof. M. Yamin Parwa III, halaman 102, nilai-nilai kepemimpinan itu nampaknya bersifat universal, dan tak lapuk oleh zaman, dan menarik untuk diketahui sebagai bahan referensi ketika kita hendak memilih seorang pemimpin. 

Alasannya sederhana memilih pemimpin ibarat mengambil mutiara dari gunungan kerang, dan tentu bukanlah perkara mudah, pemimpin apalagi presiden, tentu daya seleksinya sangat  tinggi, selain berani, juga berwibawa, taat beragama dan syarat syarat lainnya,

Bagi negeri ini, pemilihan presiden untuk memimpin negeri bak , menentukan  nahkoda kapal, memiliki tanggung jawab besar  bernama NKRI, membawa penumpang 265 juta lebih,  walaupun penuh dengan logistik (buminya subur) , namun tak jarang para penumpang, juga berebut ingin  menentukan arah, sehingga pantai idaman negara dengan adil makmur bisa terancam . 

Oleh karena itu  bila pemimpinnya tak kuat sulit dibayangkan cita-cita negara adil dan makmur itu bisa tercapai. Oleh karena itu titik kritisnya, ada pada  visi dan misi serta hubungan  antara pemimpin dengan  rakyat  yang harus padu.

Sebuah hubungan timbal balik  antara kekuasaan   dan ketergantungan, seperti yang dituliskan oleh Emerson (1962) dapat menjadi suluh dalam perjalanan memilih pemimpin yang amanah. 

Namun hubungan tersebut kerap membuat benak pemimpin, masuk ke wilayah apa yang disebut struktur jaringan pertukaran sosial, yang mengedepankan apakah keuntungan yang didapat dari kontribusi dalam proses interaksinya, sehingga fenomena  dyadic change (interaksi antara sepasang individu) menjadi indikator kualitas seorang pemimpin. 

Baca juga : Peranan Hukum Tata negara dalam Pandemi Covid-19 Menuju Arah ke New Normal

Interaksi seperti ini, kerap muncul membangun jaringan yang merupakan representasi mental, yang kerap gagal manakala benak pemimpin  tak awas. Akibatnya sang pemimpin rawan masuk ke zona apa yang disebut semantogenic  disorder, yang menurut Steffy, R. A. (1993). 

Sebuah gejala penafsiran yang keliru, karena pengaruh emosional akibat ketergantungan pada keindahan 'kekuasaan yang memberikan dimensi aktualisasi diri yang tiada banding, dari sisi kemewahan materi dan kehormatan. 

Pengaruh emosional juga kerap terjadi pada sang rakyat dalam menentukan pilihannya, sebab mata rakyat kerap silau dengan tampilan fisik semata.

Disini pandangan Descartes  atas pikiran sang rakyat sebagai  benda yang berpikir (res cognisitas) harus segera  ditinggalkan dan direformasi, dan seyogyanya menuju wilayah ' proses'  untuk memahami  unsur-unsur kepemimpinan adalah resultante  beragam fungsi, selain genetika, keperibadian, penampilan, juga fungsi waktu/zaman.

Baca juga : Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Lain dan Sumber HTN

Saat ini dalam dimensi apa yang orang sebut sebagai zaman revolusi industri 4.0, merupakan ruang melek terhadap peran  dunia internet (daring) dengan laju komunikasi  yang tak terbatas, seperti yang diramalkan oleh Castell (1993)  sebagai kultur virtulitas riil, benar-benar  menjadi kebutuhan manusia, termasuk negeri ini. 

Manakala pemimpin gagap mengantisipasi ini, maka  negara akan tergilas, sebab menurut  Castel lagi bahwa negara harus mampu memunculkan inisiasi baru dalam bentuk bangkitnya, ekonomi informasional dalam wujudnya nyatanya berupa network enterprise. 

Untuk itu, pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki superioritas tertentu itu, sehingga dia memiliki kewibawaan dan kekuasaan untuk menggerakan orang lain untuk  melakukan usaha bersama guna mencapai sasaran tertentu, sebuah syarat yang abstrak, dan  diharapkan bisa terukur secara riil di lapangan.

Baca juga : Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Lainnya Beserta Sumber-sumber Hukum Tata Negara

Di terminal itu,  sebuah tesis yang dianggap paling jitu adalah : pemimpin menjadi suri tauladan yang lebih kuat saat mereka belajar, bukan saat mereka mengajar, sebagai panutan dalam kancah patronase, pemimpin akan tetap ditiru dan digugu. 

Artinya bisa jadi bahwa   pemimpin memang sudah selesai dengan dirinya dan keluarganya. Itu sebabnya  pemimpin tidak memaksa orang lain untuk mengikutinya -- dia mengundang orang untuk ikut dalam sebuah perjalanan panjang membawa negara mencapai cita-cita luhur proklamasi 

Ketika menatap cita-cita luhur proklamasi, Saya tertarik,mengingat  kata kata indah Emha Ainun Najib dalam opini plesetannya di salah satu koran yang ketika itu  menjadi sarapan bagi saya sebelum bekerja penelitian di PAU ITB akhir tahun 1990 an , yang kerap menginspirasi saya,  Beliau menulis:  Pemimpin yang terbaik adalah yang paling memiliki penguasaan diri untuk dipimpin. 

Maka seorang Pandito Ratu haruslah a man of nothing to loose. Tak khawatir kehilangan apa-apa. Jangankan harta benda, simpanan uang, seribu perusahaan, tanah, gunung dan tambang. Sedangkan dirinya sendiri pun sudah tak dimilikinya, sebab telah diberikan kepada Tuhan dan rakyatnya. Sebuah nasehat yang luhur ketika ingin menjadi pemimpin

Memang  kata bijak itu luar biasa, pemimpin  yang semata-mata mencari kekuasaan, cenderung rakus dan bukan untuk mengabdi  namun untuk menghilangkan kemampuan memiliki kediriannya, yang ada adalah keinginan besar untuk membuat rakyat memiliki segala sesuatu lebih besar. 

Artinya begitu bercita-cita jadi pemimpin adalah, memahami sebuah hakikat zaman bahwa di masa lalu, pemimpin adalah bos. Namun kini, pemimpin harus menjadi partner bagi mereka yang dipimpin. 

Pemimpin tak lagi bisa memimpin hanya berdasarkan kekuasaan struktural belaka. Namun dia harus merangkul hati sang rakyat,  Sehingga apa yang dikatakan Bung Karno memang tepat adanya, Janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat, dan bukan berada atas rakyat

Lalu di dimensi itu, dalam memilih pemimpin, perlu adanya pendekatan seperti layaknya tulisan ilmiah,  yakni justifikasi  teoritis dan emperis.  Secara kajian teoritis, sudah banyak sekali tentang teori kepemimpinan, mulai pemimpin otoriter, demokrasi dan laissez paiere, semua nya menjadi rujukan namun dalam kacamata empiris, seorang calon pemimpin harus ditelaah dari sudut pandang bukti-bukti hasil kerja yang dia pernah lakukan. 

 Tentu menarik ketika ajang pemilihan presiden  ada di negara ini,  secara  politik ketika memilih pilpres, kita dihadapkan pada sosok-sosok yang ditawarkan, kadang kita terlena dengan penampilan, kadang juga  terlena karena kekayaan , kita terlena pada garis keturunan, trah genetik, semua itu kerap menyilaukan kita sesaat, namun dalam khasanah sastra yang pernah diterbitkan di bumi pertiwi, nampaknya menarik mengulasnya gaya kepemimpinan  dari khasanah  itu.

Secara teoritis,  kembali ke judul tulisan ini dengan konsepsi  'Catur Kotamaning Nrpati, memiliki komponen-komponen antara lain  (1) memiliki pengetahuan yang luhur dan suci (Jana Wisesa Sudha) (2) memiliki rasa kasih sayang pada rakyatnya(Kaprahitaning Praja), (3) memiliki keberanian (Kawiryan), dan, (4) memiliki kewibawaan (wibawa). Uraiannya dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pertama, Jana Wisesa Sudha, artinya raja atau pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luhur dan suci. Dalam hal ini ia harus memahami kitab suci atau ajaran agama (agama ageming aji). 

Dalam aspek ini Joko Widodo dan Ma'ruf  Amin sangat memiliki nilai lebih tinggi, pertama ada Ma'ruf Amin yang tokoh  MUI, yang genggaman agamanya tak diragukan lagi, Joko Widodo juga demikian, peran dirinya dalam memajukan dan memelihara keberagaman dalam agama di negeri ini  memang sudah terbukti, dengan menetapkan Hari santri misalnya  di negeri tercinta, adalah bukti yang sulit dibantah. 

Pasangan Prabowo, walaupun kontroversial  saya lihat juga taat beragama, dan Sandi dengan kerja keras mengatakan bahwa keberhasilannya juga didasari nilai agama yang dianutnya, sungguh sulit, orang berhasil kaya tanpa didukung oleh nilai-nilai spiritual yang menjadi motivasinya, namun menarik memang seperti yang dikatakannya.

"Saya sekolah multikultural, multi religi, multietnis, saya pernah sekolah di luar negeri juga, fokus saya di ekonomi, merupakan representasi sebuah sosok yang patut menjadi inspirasi  (sumber : /www.viva.co.id/pemilu/berita-pemilu/1076715). Dalam beberapa kesempatan membangun konsep wisata syariah, paling tidak tetap  ingin memajukan nilai-nilai agama yang dianutnya.

Pada tataran itu, pemimpin yang baik harus siap berkorban untuk memperjuangkan kebebasan rakyatnya. Sifat utama pemimpin adalah beradab dan mulia hati. Menjadi hal yang sangat penting,  dalam hal ini,  rakyat tetap harus cerdas dalam memilih, pilihan anda menentukan masa depan bangsa dan negara. Keberhasilan pemimpin diukur dari kemampuan mereka dalam mensejahterakan umat yang mereka pimpin. 

Pada aspek ini karakter menjadi yang terpenting, itu sebabnya nasehat bahwa, kepemimpinan adalah karakter. Orang dengan karakter yang hebat, yang berkembang seiring pertambahan waktu, secara alami menjadi para pemimpin.

Kedua, Kaprahitaning Praja, artinya raja atau pemimpin harus menunjukkan belas kasihnya kepada rakyatnya.Disini pemimpin hendaknya menjadi pamong praja, dan bukan pangreh praja. Melayani masyarakat luas. 

Seperti melayani dulu baru dilayani, ungkapan menarik memang bijak untuk perihal ini "Jika apa yang Anda lakukan memberikan inspirasi kepada orang lain untuk bermimpi lebih, belajar lebih, melakukan lebih dan menjadi lebih, maka Anda adalah seorang pemimpin. 

Lalu disini akan berkibar tesis kepemimpinan, yaitu : Ujian terakhir dari seorang pemimpin adalah mewariskan kepada orang-orang yang dipimpinnya keyakinan dan kemauan untuk terus maju. 

Apalagi dalam zaman globalisasi saat ini, keberpihakan pemimpin seharusnya menjadi dominan pada sang rakyat, sebab  globalisasi tulis Friedman (1994)  menjanjikan pencampuran kultural ( practice cultural)  dengan efek yang sangat liar  yang dapat membentuk homogenizing ( Stiglitz, 2002), sehingga berhadapan dengan rakyat tak bisa didekati dengan pendekatan one size fits all, dengan tidak mempertimbangan perbedaan komponen nasional.  

Pemimpin (kepala negara dan  Raja ) yang mencintai rakyatnya akan dicintai pula oleh rakyatnya. Hal ini sebagaimana perumpamaan singa (raja hutan) dan hutan dalam Kakawin Nitisastra I.10 berikut ini : Singa adalah penjaga hutan, akan tetapi juga selalu dijaga oleh hutan. 

Jika singa dengan hutan berselisih, mereka marah, lalu singa itu meninggalkan hutan. Hutannya dirusak karena binasakan orang, pohon-pohonnya ditebangi sampai menjadi terang, singa yang lari bersembunyi dalam curah, di tengah-tengah ladang, diserbu dan dibinasakan.

Ketiga, Kawiryan atau keberanian yang harus  mampu muncul dalam diri setiap insan yang baik.  Pemimpin berwatak pemberani/ pantang menyerah sangat dibutuhkan. Tugas pemimpin negara ialah : membujuk, memimpin, berkorban, serta selalu mengajari rakyat. Tugasnya yang terpenting adalah mendidik, kata Franklin De Roosevelt. 

Maka dari itu, inilah pesan  Lao Tzu, Untuk memimpin orang, berjalan di samping mereka. Adapun pemimpin terbaik, orang-orang tidak memperhatikan keberadaan mereka. Terbaik berikutnya, orang-orang menghormati dan pujian. Selanjutnya, orang-orang takut; dan berikutnya, orang-orang benci. 

Ketika pekerjaan terbaik pemimpin dilakukan orang-orang berkata, 'Kami melakukannya sendiri' Artinya seorang raja atau pemimpin harus berwatak pemberani dalam menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan pengetahuan suci yang dimilikinya sebagainya disebutkan pada syarat sebelumnya. 

Keberanian untuk menumpas penjahat narkoba, pelanggar hutan dan perebutan aset asing bumi pertiwi telah ditunjukkan oleh Joko Widodo, mungkin ke depan lebih berani menumpas mafia mafia lain terus menggerayangi bumi pertiwi. 

Sedangkan Prabowo juga bisa berani memamerkan kegagahannya dalam berkuda, berani memprotes bahwa Indonesia akan  punah, tentu dibandingkan dengan saya, saya tak punya nyali untuk mengatakan demikian, pada aspek ini dia sungguh berani. 

Pertanyaan Gus Dur menarik diungkapkan kembali, yakni sanggupkah kita sebagai bangsa mengembangkan sikap meninggikan kepentingan bersama itu dan mengalahkan kepentingan pribadi para pemimpin bangsa kita?

Keempat, wibawa, artinya seorang raja atau pemimpin harus berwibawa terhadap bawahan dan rakyatnya. Pemimpin dengan pembawaannya, adalah  untuk dapat menguasai dan mempengaruhi dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik. 

Raja/pemimpin  yang berwibawa akan disegani oleh rakyat dan bawahannya. Di bingkai itu kewibawaan bukan dibangun karena harta dan penampilan, namun hati yang suci, seperti yang diamanatkan oleh Bung Hatta, Betul, banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, istimewa dalam tanah jajahan di mana semangat terlalu tertindas, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh daripada godaan iblis itu. 

Pemimpin yang efektif bukan soal pintar berpidato dan mencitrakan diri agar disukai; kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya, bukan atribut-atributnya. Seorang pemimpin adalah orang yang mengetahui jalan, melewati jalan tersebut, dan menunjukkan jalan itu untuk orang lain.

Lalu secara empiris  anda bisa membandingkan capaian-capaian yang telah dibuat Jokowi, dan juga Prabowo dalam bidang masing-masing, yang tentu sangat banyak untuk diulas disini.  

Akhirnya, pilihlah sesuai dengan hati, ketika pilpres berlangsung. Bagi  saya ada prinsip, siapapun yang menang adalah yang terbaik pilihan rakyat, mungkin tak berpengaruh banyak pada pendirian saya. 

Paling tidak  saya akan tetap menulis, dan tetap mengajar  tanpa ada pengaruh apa-apa, sebab bagi dosen,  mencerdaskan mahasiswa, dengan melaksanakan tridharma perguruan tinggi merupakan kewajiban (swadharma)  untuk negara, sebagai balasan gaji (uang) yang diberikan negara pada saya. 

Namun saya teringat pesan Albert Einstein  bahwa, "Seseorang yang ingin melakukan segalanya sendirian atau memonopoli pengakuan tak akan menjadi pemimpin besar. Hanya itu******

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun