Menjual tanah bukan untuk dana pendidikan namun  terdesak karena dikurung oleh gaya hidup modern yang  membuat mereka masuk ke zona "simplification style" dalam hal penalaran, yang menurut Ludwig Von Bertalanty (dalam Capra, 1997) menyebutkan kemampuan membimbing diri  sendiri (self guiding), dan mengatur diri sendiri (self regulating) semakin rentan  dan lemah.Â
Tanah warisan leluhur, dengan konsepsi lebih baik " dijual saja" dan uangnya di tabung, dan hidup dari bunga uang saja"  semakin banyak diikuti, khususnya mereka yang memiliki tanah di wilayah padat ekonomi. Konsep berpikir demikian, sangat  sederhana dan mudah, namun yang kerap terjadi adalah, muncul kemalasan dalam kreativitas dan inovasi.Â
Selanjutnya, orang demikian, lebih cepat menjadi miskin kembali, pengeluaran uang yang tidak terkendali, boros, proses penghambur-hamburan  uang tak dapat dielakkan,  sehingga dalam hitungan  beberapa  tahun uang milliaran hasil menjual tanah ludes, di tajen, di caf, dan  minum-minuman atau kerap kena tipu  untuk nombok sana dan sini hanya sekedar  menjadi pegawai kontrakkan.
Dalam bingkai itu, kebudayaan materiil yang tidak terkelola, serta  tidak dianggap sebagai  sumber utama kemajuan, sungguh  menghasilkan deviasi kehidupan, dan lebih condong membuat mental menjadi differential extinction (pemunahan diffrensial) terhadap gaya berpikir mereka. Â
Namun aspek kebudayaan non-materiil harus menyesuaikan diri dengan perkembangan kebudayaan materiil, dan jurang pemisah antara keduanya akan menjadi masalah sosial
Masalah sosial itu, dipicu oleh munculnya fase- meminjam konsep psikologi J.P Chaplin (2008), sebagai fase inadeguadate character yang kini semakin menguat di komunitas Bali. Inadeguadate character adalah sebuah kemerosotan moral yang berdasarkan pada kesalahan-kesalahan persepsi yang muncul dan dipegang sebagai suatu nilai dalam hidup.Â
Kesalahan persepsi terjadi pada abainya  penguasan kompetensi dalam bidang teknologi  dan nalar intelektual untuk menguasai ilmu pengetahuan  dan interpreneurship.Â
Kesalahan persepsi itu, jarang terjadi pada kaum urban, mereka bekerja keras dan ulet, cepat membaca situasi dengan  daya inovatif dan imajinatif yang tinggi.
Alasannya, mereka memiliki  net working yang kuat dan membentuk lembaga swadaya orang rantau yang solid,. Tujuannya membantu memberikan motivasi, belajar saling mengisi dengan konsepsi" learning by doing dan learning live together, sehingga ikut memutar roda ekonomi dari roda-roda kecil, hingga memutar roda-roda yang besar.Â
Belajar dari  kinerja kaum urban, komunitas lokal Bali, semestinya dapat memandangnya sebagai transformasi penalaran dan teknologi, serta nilai-nilai kerja untuk membangun Bali. Harapannya, Bali rusak, bukan karena pendatang, namun karena mereka yang mengaku memiliki Bali tidak memahami bagaimana seharusnya menjaga Bali yang dinamis dengan sinkronisasi budaya supaya tidak rusak. ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H