Mengais pranata intelek diantara arung jeram zaman modern saat ini, sungguh memang sulit, sehingga komunitas Bali khawatir mereka menjadi penonton di rumahnya sendiri, hipotesis ini sudah mendekati kebenaran saat ini. Jurang perbedaan  pranata intelektual ini  terus terjadi dan menganga karena setiap elemennya berada pada conscious partiality (parsialitas kesadaran) yang saling mereduksi.Â
Kondisi ini membuat cultural lag berada pada titik optimum, sehingga amat sulit menjadikannya koloidisasi budaya yang permanen di Bali saat ini.
 Lemahnya koloidisasi budaya intelektual pada masyarakat Bali saat ini, menyebabkan cultural lag benar-benar terus meninggi untuk menggapai puncak maksimum. Meningginya kondisi itu, dikatalisis oleh berbagai permasalahan yang satu dengan yang lainnya saling terkait.Â
Beberapa diantaranya, (1) pendatang lebih bisa bertahan hidup dalam persaingan kehidupan yang ketat, sedangkan dominan orang Bali hidup dengan keakuan dan gengsi, kondisi demikian tidak meningkatkan kompetensi untuk bekal hidup, kurang menyukai tantangan, kerap  duduk manis di zona nyaman, sehingga tetap tertinggal jauh teralienasi di halaman rumahnya sendiri,Â
(2) Orang Bali sendiri terjebak oleh pemikirannya sendiri karena  katagorisasi yang direka sendiri, dengan membagi peran bahwa  kaum pendatang lebih berani berspekulasi, sedangkan orang Bali, masih bisa memilih-milih kerja yang lebih santai, dekat dengan rumah, karena kurangnya motivasi mengisi diri untuk belajar maka komunitas Bali, sehingga belum bisa menempati bidang-bidang tertentu yang membutuhkan kerja keras dan keuletan sebanding dengan kaum pendatang.Â
3) sebagian orang Bali, kini lebih condong berpikir sederhana dan singkat  dalam kerja dan cenderung memilih-milih  kerja, sehingga kurang inovasi sesuai kehendak zaman.
Kurangnya daya inovasi untuk menapaki zaman modern ini, menurut sketsa  W.F Ogburn  menekankan bahwa perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang bersifat materiil maupun yang immaterial berjalan seiiring dan saling menguatkan. Inovasi materiil akan mempengaruhi immateriil. Lapangan pekerjaan yang membutuhkan komptensi tinggi, tentu akan menghasilkan upah yang tinggi pula. Gaji yang besar juga mempengaruhi unsur immateriil mereka.Â
Komunitas Bali, ketika lalai untuk meningkatkan kompetensi untuk pekerjaannya, maka  gajinyapun akan tidak sebanding. Kondisi ini terus melanda  komunitas Bali. Sebagai gambaran sederhana. Status pekerja orang Bali dominan masih tamat SD, yang lebih banyak menjadi buruh 41,83 persen (BPS, 2013). Itu sebabnya pekerja dengan kualifikasi yang lebih tinggi  didominasi oleh kaum pendatang.
Bagaimanakah caranya untuk  mengubah penyedia  tenaga buruh yang demikian dominan lulusan SD?  Salah satu cara lewat pendidikan. Pendidikan selama ini hanya digantungkan pada peran Pemerintah, tentu cara ini tidak proporsiaonal, karena  belum  banyak orang Bali yang kaya mengambil peran ini untk merelakan diri untuk menjai orang tua asuh dalam bentuk memberikan beasiswa.Â
Celakanya, orang Bali meningkat gengsinya kalau melakukan tradisi besar (adat dan upacara lain), atau memiliki barang mewah, dan merasa kurang populer jika menjadi orang tua asuh untuk pendidikan.
Disisi lain, tidak sedikit  orang Bali  menjadi OKB (orang kaya baru) bukan karena bekerja keras dan cerdas namun karena menjual tanah-tanah leluhur mereka.Â