Waktu itu, anak saya memang ingin menjadi seorang arsitektur. Karena itu masuk IPA menjadi pilihan yang tidak mungkin terhindarkan.
Hanya saja, dalam perjalanan waktu selama 3 tahun sekolah di SMA, kegemaran menggambarnya semakin menonjol. Walhasil, anak saya seperti tidak menikmati masa belajarnya di jurusan IPA. Meski bisa bertahan hingga lulus SMA.
Manuver ke soshum pun dilakukan ketika SBMPTN. Si anak harus belajar IPS dalam waktu sebulan.Â
Alhamdulillah, Allah permudah urusannya. Ia pun bisa lolos SBMPTN jurusan animasi, sesuai yang diinginkan. Animasi menjadi prodi pilihan utamanya. Sedang pilihan kedua, si anak memilih ekonomi Islam.
Bermanuver ke rumpun IPS tidak hanya dilakukan oleh anak saya. Teman-teman sekelasnya pun banyak yang berpindah ke soshum.Â
Sebagian besar mereka mengambil jurusan-jurusan favorit IPS seperti hukum, ekonomi, hubungan internasional dan psikologi. Lucunya, banyak dari mereka yang berlatar belakang IPA malah lolos di IPS.
Soal jurusan IPS yang kini jadi favorit pada PPDB, saya tak bisa menebak secara pasti apa yang jadi latar belakangnya. Mungkin saja memang anak sudah lebih mampu merencanakan masa depannya, tahu apa yang diinginkan untuk meraih cita-cita profesinya.
Bisa juga mereka tidak mau dipusingkan dengan pelajaran matematika dan sains yang cukup sulit bagi siswa dengan kepintaran standar. Mereka akhirnya tidak perlu menjaga gengsi ketika memutuskan masuk IPS.
Alasan lain, tentu masih banyak. Tetapi yang jelas dengan munculnya jurusan IPS sebagai jurusan favorit pada PPDB tahun ini, secara perlahan tapi pasti, kastanisasi jurusan di SMA perlahan akan menghilang.Â
Anak IPS akan sama kerennya dengan anak IPA, begitu kira-kira. Karena mereka yang masuk IPS, bukan berarti kemampuan otaknya standar. Mereka yang masuk IPA juga bukan berarti memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
IPS atau IPA kini lebih kepada mau jadi apa kelak di masa depannya. Mau kerja apa kelak setelah lulus sekolah atau jadi sarjana. Demikian..