Terus terang sampai saat ini saya tidak tahu apa penyebab seseorang terkena penyakit kanker payudara. Dalam beberapa artikel yang saya baca, hanya menyebutkan faktor-faktor yang jadi pemicunya. Itu pun kemudian saya dibuat bingung lagi. Pasalnya, ada beberapa kawan penyintas kanker payudara, ternyata tidak memiliki salah satu dari sekian banyak risiko kanker payudara.
Saya pernah juga membaca artikel bahwa menyusui anak hingga usia dua tahun secara intenst dapat mengurangi risiko kanker payudara. Pola hidup yang sehat, makanan yang sehat dan tidak masuk area pekerjaan dengan tekanan tinggi. Dan penting lagi adalah olahraga yang cukup secara terjadwal.
Nah, beberapa penyintas kanker payudara, terutama teman-teman saya, memiliki latar belakang yang seharusnya jauh dari ancaman kanker payudara.Â
Mereka menyusui anak-anaknya langsung hingga usia lebih dari 2 tahun, tidak menggunakan alat KB, di rumah tidak ada paparan asap rokok, jenis pekerjaannya juga tergolong santai karena tidak ada target yang harus dikejar. Pun teman-teman saya ini hobi banget olahraga. terkadang jongging, lari pagi, terkadang pula naik sepeda.
Soal jalan kaki, saya pernah di ajak sekali waktu berjalan di area Jalan Thamrin dari ujung ke ujung. Pernah juga karena jarak yang tanggung dari satu lokasi ke lokasi lain, teman saya ini mengajak saya jalan kaki. "10 ribu langkah, biar tambah sehat," kata si teman saya beralasan.
Tetapi segala kebiasaan baiknya tersebut ternyata tidak menjamin si teman saya terhindar dari kanker payudara. Dalam satu pemeriksaan klinis, diketahui pada payudara teman saya ini ditemukan benjolan sebesar kelereng.
Sebenarnya soal benjolan ini sudah disadari oleh teman agak lama. tetapi karena tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak menggungu, diabaikanlah. Si teman yakin bahwa tidak mungkin benjolan di payudaranya adalah kanker.
Faktanya, setelah dilakukan Sadanis, yakni pemeriksaan payudara klinis, benjolan tersebut merupakan kanker payudara. Rangkaian pemeriksaan pun dilakukan. Si kawan ini harus mondar mandir ke RSCM. Berbulan-bulan, ia ikuti semua proses pengobatan kankernya dengan baik.
Belajar dari kasus kawan saya ini, saya menjadi paham mengapa para dokter dan komunitas kanker giat mengkampanyekan pentingnya deteksi dini kanker. Sebab deteksi ini kanker menjadi kunci penting untuk menentukan pengobatan sekaligus melihat peluang untuk disembuhkan.
Kampanye deteksi dini kanker sangat penting mengingat berdasarkan studi, hanya 5% perempuan Indonesia yang mengetahui pentingnya pemeriksaan dini kanker payudara, baik deteksi dini dengan metode mamografi maupun metode lainnya.
Dokter Spesialis Bedah Brawijaya Hospital Saharjo, dr. Rika Lesmana, SpB, mengatakan deteksi dini kanker payudara dapat meningkatkan prognosis dan mengurangi biaya pengubatan. "Pada kasus pasien dengan kanker payudara yang telah masuk stadium 1 dan 2, sekitar 70% dapat terhindar dari kemoterapi. Sehingga deteksi dini sangatlah penting," jelasnya media talk bertema "Kanker Payudara: Pencegahan Sedini Mungkin dan Penanganan yang Tepat yang digelar pada Kamis (21/4/2022)
Deteksi dini lanjut dr Rika, dapat dilakukan dengan SADARI yakni pemeriksaan payudara sendiri maupun SADANIS yakni pemeriksaan payudara klinis. Meski demikian, SADARI hanya dapat mendeteksi jika kanker sudah berkembang sehingga menunjukkan gejala yang muncul ke permukaan kulit seperti benjolan di bawah kulit.
"Oleh karena itu, meskipun perempuan didorong untuk melakukan SADARI secara teratur, namun hal tersebut tidak dapat menggantikan metode diagnostik klinis seperti mamografi atau ultrasound," katanya.
Sementara itu, dokter spesialis bedah onkologi Brawijaya Hospital - Saharjo, dr. Bob Andinata, SpB.Onk, mengatakan, pada stadium awal, deteksi dini dapat meningkatkan kemungkinan kesembuhan pasien.Â
"Bagi dokter, keakuratan hasil deteksi dini akan membantu menentukan penanganan yang tepat bagi pasien. Dengan cepat tertangani, maka angka kesembuhan pasien akan semakin tinggi," jelasnya.Â
Pada kesempatan yang sama, dokter spesialis radiologi, dr. Semuel Manangka, SpRad(K) RI mengatakan, perempuan memiliki tipe jaringan payudara yang berbeda-beda. Sebagain memiliki jaringan dense breast sedangkan lainnya memiliki jaringan fatty breast. "Mamografi dan ultrasound membantu dokter menegakkan diagnosa secara presisi," tukas dr Samuel.
Menyadari rendahnya angka deteksi dini, Brawijaya Hospital -- Saharjo memperkenalkan perangkat portabel deteksi dini kanker payudara, Invenia ABUS 2.0. "Alat ini terpasang di rumah sakit dan juga di bus khusus pemeriksaan deteksi dini kanker payudara," kata Presiden Direktur Brawijaya Hospital - Saharjo, dr Chammim, SpOG (K).
Penyediaan perangkat portabel untuk deteksi dini tersebut sejalan dengan Strategi Nasional Penanggulangan Kanker Payudara Indonesia dari Kementerian Kesehatan RI yang mencakup 3 pilar yakni promosi kesehatan, deteksi dini dan tatalaksana kasus.
Secara rinci ketiga pilar tersebut menargetkan 80% perempuan usia 30-50 tahun dideteksi dini kanker payudara, 40% kasus didiagnosis pada stage 1 dan 2 dan 90 hari untuk mendapatkan pengobatan. Pemeriksaan dengan perangkat portabel deteksi dini kanker payudara, Invenia ABUS 2.0, menunjukkan peningkatan 35,7% deteksi kanker dibandingkan hanya dengan mammografi, bahkan pada perempuan dengan dense breasts.
Lebih lanjut, dr Chammim, mengatakan sebagai rumah sakit yang memiliki fokus dan fasilitas terlengkap terhadap kesehatan obstetri dan ginekologi, perempuan, serta anak-anak, Brawijaya Hospital - Saharjo sangat mengkhawatirkan fakta yang ada mengenai rendahnya angka deteksi dini kanker payudara. "Oleh karenanya, kami berinisiatif meluncurkan perangkat portabel teknologi terbaru di RS kami dengan menggunakan Invenia ABUS 2.0 dari GE Healthcare," papar dr Chammim.
Perangkat berteknologi terkini ini terpasang di Brawijaya Hospital -- Saharjo dan tersedia dalam bus khusus pemeriksaan deteksi dini kanker payudara yang dapat berkeliling untuk menjangkau lebih banyak perempuan agar dapat melakukan deteksi dini kanker payudara.
Invenia ABUS 2.0 dengan berbagai keunggulan yang dimiliki, memberikan hasil yang akurat. Bersama dengan mamografi, kanker dapat lebih cepat terdiagnosa dan pasien dapat langsung mendapat penanganan.
Data yang menunjukkan mammografi sulit mendeteksi 1 dari 3 kanker payudara pada jaringan dense breasts, sehingga kombinasi deteksi akan lebih baik. Â
Jika digunakan bersama dengan mammografi, Invenia ABUS 2.0 dapat mendeteksi lebih dari 37% kanker payudara, bahkan pada perempuan dengan jaringan dense breast. Invenia ABUS 2.0 memiliki beragam keunggulan seperti memberikan gambaran yang konsisten dengan hasil berkualitas, memiliki gambaran 3D dengan potongan coronal setebal 2mm, full contact dan coverage karena permukaan transduser lebar (15cm), serta bagi pasien, pemeriksaan ini akan lebih nyaman karena bentuk transducer yang mengikuti bentuk payudara (reverse curve transducer).Â
Selain menyediakan perangkat yang mumpuni, Brawijaya Hospital - Saharjo juga menyediakan edukasi di bus khusus pemeriksaan deteksi dini kanker payudara dan rumah sakit. "Kami menyadari, edukasi merupakan upaya promosi kesehatan yang harus berjalan beriringan dengan deteksi dini. Dengan edukasi, perempuan Indonesia dapat mengetahui pentingnya deteksi dini, mengetahui gejala, faktor risiko dan penangan kanker payudara. Dengan demikian, semakin banyak perempuan Indonesia yang terlindungi dari kanker payudara," tutup dr Chammim, SpOG (K).
Bus khusus pemeriksaan deteksi dini kanker payudara akan berkeliling di area sekitar Brawijaya Hospital - Saharjo. Masyarakat dapat melakukan reservasi untuk pemeriksaan di bus maupun di rumah sakit dengan menghubungi Halo Brawijaya Hospital 150-160. Masyarakat juga dapat mengundang bus khusus pemeriksaan deteksi dini kanker payudara untuk mengunjungi lingkungan masyarakat dengan menghubungi Halo Brawijaya Hospital 150-160.
Yuk gemar deteksi dini agar terhindar dari penyakit kanker payudara..
Mampang Prapatan, 22 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H