Mohon tunggu...
Inung Kurnia
Inung Kurnia Mohon Tunggu... Penulis - Gemar berbagi kebaikan melalui tulisan

Ibu dari Key dan Rindang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Langganan Olimpiade Sains, Kuliahnya Animasi...

11 Maret 2022   10:39 Diperbarui: 16 Maret 2022   02:14 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu gambar karya anak saya (dokumentasi pribadi)

Sejak duduk di bangku SD hingga SMP, si bocahku terhitung pandai untuk ilmu sains. Malah langganan dikirim sekolah untuk mengikuti ajang olimpiade sains mulai dari IPA sampai matematika. Bahkan pernah juga lolos dua level kompetisi Bahasa Inggris tingkat SMP di Kota Jakarta Selatan. 

Segudang prestasi tersebut mengantar si bocah mendapatkan beasiswa dari perusahaan tempat saya bekerja. Beasiswa diseleksi atas dasar kemampuan dan prestasi akademik.

Dengan prestasi menonjol di bidang sains, maka ketika masuk SMA, si bocah mantap memilih jurusan IPA. 

Yes, itu pilihan dia, meski berkali-kali saya sebagai ibunya menanyakan apakah sudah mantap dengan pilihan jurusannya.

Dia beralasan ingin melanjutkan studi ke jurusan arsitektur. Entah apa menariknya. Kalau saya sebagai ibu, macam orang-orang zaman old, kebanyakan maunya ya si bocah jadi dokter. Mau dokter umum, dokter gigi atau dokter hewan sekalipun. Maafkanlah...

Proses menapaki masa-masa seragam putih abu-abu pun dimulai, tahun pertama berjalan normal. Hingga pada tahun kedua, si bocah seperti mulai menunjukkan minat menggambar. 

Pelajaran sains yang awalnya begitu menonjol, mendadak terjun bebas. Hingga saya sebagai ibunya, jadi langganan guru BK. Mondar-mandir diminta mendengarkan keluhan para guru.

Puncaknya usai kelulusan SMA, si bocah tak lagi mau melanjutkan bimbel IPA-nya. Ia malah membeli buku-buku panduan SBMPTN jurusan soshum. 

Dia lakukan secara diam-diam. Beli melalui toko online. Dan dia pun mulai buka-buka YouTube pembahasan soal-soal SBMPTN kelompok Soshum.

Well, ketika memilih jurusan saya rada kaget sebenarnya, karena dia malah mencari jurusan seni rupa. 

Sayangnya universitas yang dia incar, tidak ada jurusan seni rupa. Akhirnya pilihan jatuh ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Meski sudah mantap memilih ISI dan saya sudah mengiklaskannya, si bocah tak kunjung mengisi formulir SBMPTN. Pencarian masih terus dilakukan pada laman LTMPT.

Hingga akhirnya sepekan menjelang penutupan, ia meminta izin pada saya untuk mengambil prodi animasi Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia) Jakarta, batal masuk ISI. Entah apa sebab. Meski terkejut, saya cukup berbesar hati dan berlapang dada untuk mengizinkannya. Saya pun mulai buka-buka prospek pekerjaan lulusan animasi.

Tahulah saya, bahwa prodi animasi sudah dibuka lama sekali. Ini menjadi salah satu prodi favorit selain prodi broadcast. 

Dan kini animasi pun sudah di-upgrade menjadi Diploma 4 atau setara dengan sarjana S1, namanya sarjana terapan. 

Tak semua perguruan tinggi membuka jurusan ini, termasuk perguruan tinggi vokasi sejenis politeknik maupun sekolah vokasi yang dibuka universitas.

Maka akhirnya saya pun mengizinkan si bocah mengikuti SBMPTN dengan jurusan prodi animasi Politeknik Media Kreatif Jakarta. Tentu dengan persiapan tinggal sebulan lagi, saya kembali cemas. 

Secara bertahun-tahun dia fokus belajar untuk kelompok Saintek, sekolah jurusan IPA, ikut bimbel pun IPA, ikut pendampingan materi di SMA pun ambilnya IPA. Hitungan 4 minggu si bocah banting setir belajar soshum.

Sejarah, ekonomi, sosiologi, geografi dan mata pelajaran IPS lainnya dia lahap siang malam. Latihan soal, mendengarkan panduan di channel YouTube dan lainnya. 

Dia juga rela belajar menggambar mengingat salah satu ujian praktiknya adalah menggambar. Akhirnya hasil kerja kerasnya pun membuahkan hasil. Ia lolos SBMPTN untuk prodi animasi Politeknik Negeri Media Kreatif D4 alias sarjana terapan. 

Legalah saya sebagai ibu, setidaknya saya bisa memberikan ruang untuk si bocah memilih jurusan yang memang benar-benar diminati.

Sebulan, dua bulan dan akhirnya satu semester pun dapat dilalui dengan baik oleh si bocah. Ia begitu menikmati belajar animasi. 

Suasana belajar yang benar-benar belum pernah saya dapati dalam kehidupan si anak saya selama ini. Dia rela untuk searching panduan-panduan menggambar, bikin animasi yang bertebaran di YouTube. Tak ada hari dilewati tanpa belajar menggambar.

Salah satu gambar karya anak saya (dokumentasi pribadi)
Salah satu gambar karya anak saya (dokumentasi pribadi)

Bagi saya belajar adalah kenyamanan, kenikmatan dan kegembiraan. Dan itu hanya bisa diperoleh jika si anak memang mempelajari hal-hal yang disukai dan diminati.

Soal prospek pekerjaan, meski beberapa laman membahas soal prospek lulusan animasi, saya sendiri sudah tidak ngotot ingin tahu. 

Saya akan membiarkan anak mengalir dalam dunia yang dia sukai, bahkan pada pilihan pekerjaannya kelak. 

Allah SWT sudah menetapkan jalan kehidupan dan rezeki bagi anak saya. Sekolah, kuliah dan kerja adalah bagian dari ikhtiar.

Suami saya adalah seorang insinyur lulusan IPB jurusan Klimatologi. Tetapi saat bekerja, dunia yang digeluti jauh dari persoalan iklim. Malah cenderung ke sosial. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan iklim. Wes...

Saya juga lulusan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta yang kini telah bertransformasi menjadi UNY, jurusan ekonomi. Tetapi kegemaran saya menulis cerpen sejak SMP, menuntun saya untuk keluar dari bidang keahlian yang saya pelajari. 

Saya memilih menjadi seorang penulis lepas setelah sebelumnya pernah mencicipi dunia jurnalistik beberapa tahun.

Kenapa saya dulu masuk ke IKIP? Itu semata-mata karena saya tidak bisa menolak keinginan orangtua. 

Sebagai seorang guru, ayah saya (alm) juga menginginkan anaknya jadi guru, jadi PNS. 

Dan saya mengikuti kemauan orangtua, kuliah di IKIP, ikut seleksi PNS meski lembar tes seleksi CPNS saya biarkan kosong alias tidak dikerjakan sama sekali. Nakal ya...?

Animasi karya anak saya (dokumentasi pribadi)
Animasi karya anak saya (dokumentasi pribadi)

Kini, beberapa tim yang bekerja sebagai marketing di perusahaan saya juga sebagian lulusan MIPA perguruan tinggi. Ada yang matematika, ada yang fisika. 

Belasan tahun menekuni dunia marketing dan mereka enjoy, tidak lagi ingat ilmu yang dipelajari selama 4 tahun kuliah, barangkali.

Bisa jadi, ketika mereka mengambil jurusan saat kuliah juga punya kisah sama dengan saya, mengikuti kemauan orang tua. Atau bisa juga ikut-ikutan teman, mau yang keren. 

Tak tahulah apa masalah mereka, tetapi intinya, mereka bekerja di luar bidang keahlian yang dipelajari selama kurang lebih 4 tahun di perguruan tinggi.

Kisah-kisah 'nyasar ke dunia lain' sebenarnya tidak hanya terjadi pada saya, suami atau tim di perusahaan saya. Ada banyak, bisa jadi ratusan ribu atau jutaan orang yang bekerja tidak linier dengan bidang keahlian yang dipelajari.

Maka sebelum semua terlanjur, siapapun itu, siswa, orangtua siswa atau keluarga siswa, saya menyarankan untuk kembali ke minat dan bakat alias passion anak. 

Jadikan passion sebagai panduan kita memilih jurusan ketika ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi, supaya ilmu yang kita pelajari tidak mubazir, atau setidaknya bisa dimanfaatkan lebih banyak lagi.

Sudah tidak lagi zamannya ikut-ikutan teman, sudah tak zamannya lagi kuliah asal keren, Rudolfo! 

Dunia yang terbentang di depan mata menjadi hutan belantara yang harus ditaklukkan di masa depan. 

Masuklah dengan perasaan senang, enjoy dan nyaman. Passion adalah bekal yang paling menjanjikan untuk meraih prestasi gemilang.

So, saya jadi ingat puisi Khalil Gibran berjudul Almustafa yang kemudian diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono. 

Puisi ini amat popular dan sering dikutip oleh siswa saat acara perpisahan di sekolah. 

Sejak ditulis pada 1923 hingga kini, puisi ini telah diterjemahkan dalam lebih dari 40 bahasa di dunia. Saya mengutip kembali puisi tersebut sebagai bahan renungan kita semua, berikut ini:

Dan, perempuan yang memeluk bayi di dadanya berkata, bicaralah tentang anak-anak.

Dan, katanya:

Anakmu bukanlah anakmu.

Mereka adalah putra putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri.

Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu.

Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.

...

Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu.

Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri.

Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka.

Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu.

Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu.

Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.

...

Kau adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah hidup.

Pemanah mengetahui sasaran di jalan yang tidak terhingga, dan Ia melengkungkanmu sekuat tenaga-Nya agar anak panah melesat cepat dan jauh.

Biarlah tubuhmu yang melengkung di tangannya merupakan kegembiraan.

Sebab, seperti cinta-Nya terhadap anak panah yang melesat, Ia pun mencintai busur yang kuat.

Mampang Prapatan 11 Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun