Mohon tunggu...
Inung Kurnia
Inung Kurnia Mohon Tunggu... Penulis - Gemar berbagi kebaikan melalui tulisan

Ibu dari Key dan Rindang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pedagang Asongan, Riwayatmu Kini...

4 Maret 2022   12:29 Diperbarui: 5 Maret 2022   10:38 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Endi, pedagang perabotan plastik (dokumentasi pribadi)

Rute perjalanan yang harus ditempuh setiap hari sekitaran 7 kilometer. Dari tempatnya mengontrak rumah petakan di bilangan PLN Duren Tiga, Jakarta Selatan, Endi harus melintas beberapa ruas jalan, keluar masuk gang hingga Pancoran, Mampang Prapatan dan terkadang menyeberang ke Bangka dan Kuningan.

Sambil menarik gerobak dagangan, aneka barang rumah tangga berbahan plastik ditawarkannya ke ibu-ibu yang dijumpai di sepanjang jalan. 

Terkadang ia sengaja 'ngetem' dekat-dekat warung sayuran pada jam-jam ibu rumah tangga berbelanja. Berharap ada satu dua barang dagangan laku terjual meski hanya sekadar sikat WC.

"Jualan sepi banget. Sudah keliling dari pagi, sampai jam segini belum sepotong pun terjual," keluh Endi. 

Jam sudah menunjuk pada angka 10:15 WIB, artinya sudah hampir tiga jam ia berkeliling menawarkan dagangan.

Pria asal Majalengka tersebut mengaku tak punya pilihan. Pekerjaan yang sudah dilakoni lebih dari 3 tahun tersebut menjadi sumber satu-satunya untuk memberi makan anak istri. 

Seberapa banyak barang yang berhasil dijual, hanya separuh saja yang menjadi hak anak istrinya. Sisanya disetor ke juragan.

"Untungnya bagi dua sama juragan. Karena ini bukan barang dagangan saya sendiri," lanjut bapak dari tiga anak tersebut dari balik topi kainnya.

Beruntung sang juragan bersedia menyiapkan sepetak rumah kontrakan untuk ia tinggal bersama anak istri. 

Ia hanya diminta patungan bayar listrik, tak lebih. Mereka yang masih bujangan malah tidak dikenakan biaya kontrakan alias gratis.

Endi tidak sendiri. Ada banyak pedagang asongan yang mengalami nasib hampir serupa. Ada tukang bubur ayam yang belakangan sudah tak lagi terdengar suaranya, ada ibu-ibu tukang kue yang juga tak lagi terlihat melintas, ada tukang ketoprak yang tinggal satu dua saja, ada tukang buah yang muncul hanya sesekali dalam sepekan.

Mereka semakin sulit mendapatkan pelanggan meski sistem jualannya door to door, menghampiri ibu-ibu yang sebenarnya gagap teknologi, tidak familiar dengan toko online.

"Banyak bersisa sekarang. Orang jajan sudah pada pakai handphone," keluh Mak Yati, pedagang kue tradisional yang muncul hanya sekali dua kali.

Rubiyah, pedagang kerupuk ikan pun mengalami hal serupa. Ia berkeliling membawa kerupuk ikan dan kerupuk gendar dari gang satu ke gang lain. 

Selisih yang diambil tak seberapa, hanya kisaran 2000 hingga 3000 Rupiah per kantong. Sehari bisa bawa 15 kantong kerupuk. 

"Jika habis saya dapat untung nggak sampai 40 ribu. Tapi amat jarang bisa habis. Palingan laku 8 sudah bagus banget," katanya.

Jangan lihat rupa kakinya. Meski menggunakan alas sandal jepit yang nyaman dipakai, garis-garis kulit retak di sekitaran tungkai kaki perempuan paruh baya tersebut nampak nyata. Pertanda rute yang ditempuh tiap hari bukan jarak yang hanya sepanjang gang.

Menghilangnya para pelanggan pedagang asongan tersebut ada banyak penyebab. Tetapi yang pasti membanjirnya toko online lengkap dengan program diskon dan promosi besar-besaran yang makin menjamur sejak pandemi, menjadi salah satu penyebabnya. 

Konsumen mau membeli produk apapun, banyak yang memilih beli melalui aplikasi. Perabotan rumah, makanan, produk fesyen hingga camilan dan produk elektronik. 

Harganya lebih murah dan diantar langsung depan pagar rumah. Setiap saat bisa belanja, tidak harus menunggu abang pedagang melintas.

Mau beli bubur ayam, tidak harus datang ke pangkalan. Mau beli martabak tinggal cari di aplikasi. Mau ke pasar tradisional, cukup masuk ke toko online. Tidak perlu antre, tidak perlu menyiapkan uang parkir. Tidak perlu juga pakai jurus menawar.

Selain itu, munculnya toko-toko dan kios dadakan sejak pandemi membuat pedagang asongan yang sistem jualannya kelilingan kampung, semakin sulit mencari pelanggan. 

Tengok saja di Jalan Tegal Parang Selatan I hingga jalan Pancoran, Jaksel. Ruas jalan tersebut hampir tiap jengkal ada pedagang mangkal. Dari pagi buta hingga malam hari. Mereka semakin tumbuh subur sejak zaman pandemi. Bisa jadi, berjualan menjadi ladang mencari rezeki setelah terkena PHK atau perusahaan tempat bekerja kolaps.

Pembeli tidak harus datang ke kios pedagang. Mereka bisa memesan melalui aplikasi. Atau kadang datang ke kios sambil iseng jalan-jalan sore.

Tetapi sebagian pedagang asongan memilih bertahan. Keliling dari kampung ke kampung, dari gang ke gang dengan satu harapan. Membawa pulang rezeki yang jadi hak anak istri.

Bukankah Allah sudah menetapkan bagian rezeki bagi setiap insani? Ikhtiar dan rasa syukur menjadi modal utama, yang pasti.

Salam hormat untuk para pejuang keluarga, semoga hari Jumat melimpah berkah dan rezeki...

Mampang Prapatan 4 Maret 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun