Beberapa hari yang lalu, saat saya mengajak anak saya berjalan-jalan di sekitar komplek perumahan. Saya bertemu dengan banyak warga, khususnya ibu-ibu dan anak-anak.
Tapi dari sekian banyak ibu-ibu dan anak-anak yang saya temui, yang menyapa saya bisa dihitung dengan jari. Sedangkan ibu-ibu dan anak-anak yang lain--mereka seolah tak peduli dengan kehadiran saya karena sibuk dengan gadget-nya masing-masing.
Pengalaman tersebut membuat memori masa kecil saya puluhan tahun lalu kembali terbayang. Saat masih kecil dulu, hari-hari saya lebih banyak diisi dengan serunya permainan lompat tali, congklak, gobak sodor, engklek, petak umpet, dan berbagai permainan tradisional khas Indonesia lainnya bersama teman-teman sebaya.
Biasanya, kami akan berkumpul di halaman rumah atau di jalan-jalan setapak desa kami, berduel dalam pertandingan lompat tali yang seru atau bersaing untuk mengumpulkan biji congklak terbanyak.
Dulu saat masih kecil, tak pernah terpikirkan sedikitpun di benak saya jika permainan-permainan tersebut ternyata memiliki begitu banyak manfaat.
Setelah lama menggeluti dunia blogger, perlahan-lahan saya mulai membaca dan mengetahui berbagai manfaatnya. Apa lagi, saat ini saya sudah punya anak. Mau nggak mau, saya pun perlu tahu bagaimana cara mendukung pertumbuhan dan perkembangan mereka agar mereka bisa tumbuh cerdas dan pintar serta berprestasi.
Dari sekian banyak literasi yang saya baca, ternyata untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak-anak, kita perlu banyak menstimulasi mereka.
Misalnya, dengan mengajaknya bermain di dalam maupun di luar rumah, mengenalkannya dengan berbagai benda, membaca alam, membacakan buku, memperdengarkan lagu, dan mengajaknya melakukan berbagai aktivitas fisik lainnya.
Ya, setiap permainan tradisional yang kami mainkan dulu ternyata memiliki begitu banyak manfaat. Mulai dari lompat tali yang mengajarkan kami tentang kekompakan dan koordinasi. Hingga, bermain congklak untuk mengasah kemampuan berpikir strategis dan konsentrasi.
Selain itu, permainan-permainan tersebut adalah momen berharga untuk bersosialisasi dan menjalin hubungan dekat dengan teman-teman kami. Jadi, jangan heran kalau saya masih terus menjalin keakraban dengan teman-teman masa kecil tersebut hingga saat ini.Â
Namun, saat saya memandang ke generasi anak-anak saat ini, saya merasa ada perbedaan gaya bermain dan budaya yang begitu besar. Anak-anak masa kini, sebagian besar, cenderung lebih tertarik dengan permainan digital dan gadget daripada permainan tradisional.
Kebanyakan mereka sering terpaku pada layar ponsel, tablet, atau komputer, dan menghabiskan waktu berjam-jam dalam dunia maya yang tak berujung.
Dalam prosesnya, mereka mulai kehilangan kontak dengan permainan tradisional yang begitu berharga dalam membentuk keterampilan sosial dan kreativitas.
Akibatnya, anak-anak saat ini semakin jarang berinteraksi secara langsung dengan teman-teman sebayanya. Mereka bahkan mungkin lebih suka berbicara melalui pesan teks atau obrolan daring daripada berinteraksi dan bermain bersama di luar rumah.
Saya khawatir, kemampuan berkomunikasi secara langsung dengan bahasa tubuh dan ekspresi wajah pada anak-anak ini akan terkikis karena kurangnya interaksi sosial yang nyata.
Sungguh! Saya merasa sangat prihatin melihat bagaimana anak-anak masa kini mungkin kehilangan sebagian besar pengalaman bermain tradisional yang kami nikmati saat kecil.
Saya juga berpikir kalau permainan-permainan tersebut adalah bagian penting dari warisan budaya Indonesia yang perlu dilestarikan.
Saya percaya bahwa menciptakan keseimbangan antara permainan digital dan tradisional adalah kunci untuk memastikan bahwa anak-anak masa kini juga dapat menikmati manfaat sosial, fisik, dan mental yang diberikan oleh permainan tradisional.
Dengan memperkenalkan mereka kembali ke keajaiban dunia lompat tali, congklak, dan permainan tradisional lainnya, kita dapat membantu mereka membangun koneksi yang lebih kuat dengan budaya kita dan bounding satu sama lain. Ini adalah langkah penting untuk menjaga warisan kita tetap hidup sambil merangkul teknologi yang ada.
Mengingat itu semua, membuat saya tertarik untuk menyekolahkan anak-anak saya ke sekolah alam. Di sela-sela waktu, saya mencoba mencari-cari tentang sekolah alam di internet.
Saat saya sedang asik mencari referensi itulah saya menemukan sebuah artikel yang cukup menarik dan membahas tentang Kampung Lali Gadget serta rencananya yang ingin dalam membangun sekolah alam.
Kampung Lali Gadget
Apakah kalian pernah mendengar tentang "Kampung Lali Gadget" yang lebih akrab disebut "KLG" itu?
Saya yakin, masih belum banyak di antara kita yang belum pernah mendengar tentang KLG yang berlokasi di Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur ini. Karena memang, KLG ini baru berdiri pada tahun 2018 lalu.
Ceritanya, pendiri Kampung Lali Gadget, yaitu Ahmad Irfandi, tampaknya sepemikiran dengan saya. Karena ia juga merasa prihatin dengan anak-anak yang ada di desanya.
Di mana, anak-anak di desanya lebih memilih menghabiskan waktu di warung-warung kopi untuk menumpang jaringan wi-fi guna mengakses internet daripada bermain dengan teman-teman sebayanya.
Sangat berbeda dengan masa kecilnya dulu yang kurang lebih sama seperti masa kecil saya. Dimana kami lebih banyak menghabiskan untuk bermain dengan teman-teman sebaya daripada sibuk dengan TV atau gadget. Entah itu bermain congklak, petak umpet, gobak sodor, bermain-main di sawah, atau berbagai permainan-permainan tradisional lainnya.
Rasa prihatin tersebut membuat Irfandi berpikir untuk membentuk sebuah wadah yang bisa dijadikan sebagai pusat tempat bermain anak-anak. Sekaligus wadah tempat mengenalkan anak-anak dengan berbagai macam permainan tradisional khas Indonesia. Atau, permainan-permainan yang melibatkan unsur alam seperti tanah, air, udara, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan lain sebagainya.
Keinginan yang besar untuk membebaskan anak-anak dari pengaruh gadget dan untuk menghidupkan kearifan lokal membuat Irfandi, pada tahun 2018 atau tepatnya pada tanggal 1 April 2018, memutuskan untuk mendirikan Kampung Lali Gadget di desanya yang berlokasi di Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo.
Dengan dana dan tempat seadanya, Irfandi bersama rekan-rekannya mulai mengumpulkan berbagai permainan tradisional dan mulai mengajak anak-anak di sekitarnya untuk bermain di sana tanpa gadget.
Ya, setiap orang yang masuk ke Kampung Lali Gadget tidak diperkenankan membawa gadget dalam bentuk apapun. Tujuannya jelas! Tanpa gadget di sana mereka diharapkan hanya akan bermain dan memainkan berbagai permainan permainan tradisional saja.
Di tahun 2023 ini, KLG sudah menginjak usia 4 tahun. Dan, di usianya yang ke-4 tahun ini, KLG sudah makin dikenal oleh warga sekitar. Bahkan, KLG juga dikenal secara nasional karena sudah menyabet beberapa penghargaan. Termasuk diantaranya adalah, penghargaan dari PT Astra Internasional sebagai finalis Satu Indonesia Awards 2021.
Selain didapuk sebagai finalis pada Satu Indonesia Awards 2021, Irfandi dan KLG-nya juga pernah meraih penghargaan dari Pemprov Jatim sebagai Pemuda Pelopor Bidang Pendidikan Nomor 1 di Jawa Timur tahun 2020. Serta pernah pula mendapatkan Pendanaan Program Proyek Sosial Pertamina Foundation.
Tidak main-main, untuk menjadi finalis Satu Indonesia Awards 2021 Irfandi bersaing dengan 13.148 pendaftar, dan hanya 11 orang saja yang akan dipilih.
Begitu juga pada Pendanaan Program Proyek Sosial Pertamina Foundation, Irfandi juga harus bersaing dengan ribuan orang yang bisa dilihat dari jumlah proposal yang masuk. Di mana, pada saat itu terdapat sekitar 2300 proposal dan hanya 21 saja yang diterima.
Sekolah Alam di KLG
"Sekolah alam rata-rata mahal. Saya ingin bikin sekolah alam yang murah (untuk rakyat). Tapi SDM kita masih minim sekali. Kita perlu tambahan itu (SDM)." Achmad Irfandi.
Perkembangan Kampung Lali Gadget yang sangat memuaskan pada 4 tahun terakhir ini membuat Irfandi dan kawan-kawan berencana untuk membuka lembaga pendidikan non-formal berbasis kampung dan permainan tradisional. Ide tersebut tercetus karena Irfandi merasa sekolah-sekolah alam yang ada saat ini rata-rata dipatok dengan harga mahal dan tidak terjangkau oleh wong cilik (rakyat biasa).
Meskipun hal tersebut masih sebatas wacana, namun saya pribadi sangat mendukung langkah Irfandi yang ingin membangun sekolah alam untuk anak-anak tidak mampu.Â
Karena, bukan rahasia umum lagi apabila biaya sekolah saat ini sangat mahal. Apalagi jika sekolah tersebut berada di bawah naungan swasta yang menawarkan pengalaman unik bagi siswa didiknya.
Saya berharap, di tempat tinggal saya suatu saat akan ada pemuda-pemuda seperti Achmad Irfandi yang mau menggagas Kampung Lali Gadget atau sekolah alam yang terjangkau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H