"Tidak tampak ini, Hilal akan mudik ramadhan," kata temen kosanku.
"Sepertinya begitu, Sen."
Memang tidak ada yang menyangka, tiba tiba virus ini datang.
Virus Corona datang ke Indonesia.
Padahal di bulan Januari, belum ada tanda tanda kalau si virus ini masuk ke Indonesia. Indonesia bersih dari virus itu.
Lebaran memang masih lama, bulan Mei. Tapi, aku sudah siap beli tiket mudik. Tiket mudik dibuka awal Februari. Harus cepet cepetan nih belinya. Biar kebagian.
Tapi kemudian tiba tiba di Bulan Februari, ada berita kalau virus datang. Virus datang melalui dua orang yang baru pulang dari jepang. Mulai dari sana kemudian virus menyebar.
Virus rupanya benar benar menyebar dengan cepat.
Bulan maret, berita tersebarnya virus semakin meluas. Hingga akhirnya Maret akhir, terjadilah hal itu. Aku dirumahkan. Iya, aku disuruh bekerja dari rumah.
Aku bekerja di Jakarta. Sudah 4 tahun aku bekerja disini. Aku berasal dari Yogjakarta.
Tahun ini adalah pertama kalinya aku tidak bisa mudik. Setelah 4 tahun di Jakarta, bekerja. Sebelumnya selalu aku pulang ke Yogya. Tidak pernah skip.
Lebaran adalah momen berkumpul keluarga besar. Aku anak terakhir, dari tiga bersaudara. Semua kakak kakakku pun merantau.
Ada yg di Kalimantan Timur - Samarinda. Ada yang di Sulawesi Selatan - Makassar dan aku yang masih satu pulau, walaupun jaraknya cukup jauh.
Dirumah hanya ada Ibu. Bapak sudah berpisah dengan ibu sejak aku kuliah.
Ibu tinggal sendirian.
Ini sudah bulan April pertengahan. Aku mulai bekerja dengan sistem 3 hari bekerja di kantor, 2 hari bekerja di rumah.
Aku bingung, padahal aku katanya sedang PSBB. Tapi kantorku tiba tiba menerapkan kebijakan untuk kembali bekerja. Apakah aku sudah boleh berharap lagi kalau lebaran aku bisa mudik.
Tiket KAI sudah ditangan. Harapan masih ada. Kupikir begitu.
Akhir april, tiba tiba dapat info kalau laju penyebaran semakin meluas. Semakin banyak yang positif terkena virus .
Lalu ada himbauan untuk tidak mudik. Dilarang mudik. Kantor mulai menerapkan kebijakan kembali untuk bekerja di rumah.
Aku kembali ke kamar kosan. Bekerja dari sana. Masih berharap terang, yang nyata semakin buram.
Mei tiba, KAI mengumumkan agar tiket kereta di refund. Semua perjalanan kereta jarak jauh dihentikan. Aku diam, di depan laptop membaca berita tersebut. Sia sia aku dulu mengejar tiket itu...
"Hilal, minta maaf ya bu. Ternyata belum bisa pulang dulu."
Hari ini, aku pun memutuskan untuk menghubungi ibuku. Setelah sekian lama aku memantau berita. Berdoa, berpikir positif. Keluar berita negatif itu dari mulutku.
"Gapapa. Ibu paham. Justru ibu pengennya Hilal tetap disana. Gausah kemana mana dulu nak. Ngeri"
Ibuku menenangkan.
Aku tadinya sudah menunduk, mengangkat kepala. Bertatap dengan ibu.
Ibu tersenyum
Aku ikut berusaha tersenyum
Ibu bilang "Yang penting kamu sehat ya nak, disana. Â Ibu disini selalu berdoa yang terbaik. Hilal, harus tetap jadi hilal atau penanda. Penanda datangnya kabar baik. Tetap berpikir baik nak, semua baik baik saja".
Legaaa.. aku lega
Walaupun hilal mudik tidak tampak
Tapi aku mau jadi Hilal yang ditunggu saat ramadhan dimulai.
Hilal yang tampak di awal ramadhan, ditunggu semua umat muslim untuk beribadah.
Hilal yang tampak di akhir ramadhan  ditunggu untuk merayakan hari kemenangan.
Hilai sebagai penanda. Penanda kabar baik. Iya, aku pasti bisa jadi lebih baik setelah semua ini terjadi
Semangat, Hilal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H