Saya hanya masyarakat biasa yang hanya tahu menulis tanpa tinta, bukan seorang penguasa yang di tangannya ada palu sidang sebagai tanda kuasa, Hamka Pakka
Kan dia (Soeharto) baru jadi presiden penuh pada Maret 1968. Sebelumnya, tahun 1967, itu penjabat presiden (didapuk oleh MPRS). Sedangkan untuk menyelenggarakan pemilu bulan Juli, hanya beberapa bulan dari Maret, dia merasa tidak siap. Jadi makanya diundur sampai tahun 1971, kata Sejarawan dan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam yang di lansir dari detik.news.com.
Mengutip ungkapan Asvi ternyata Pemilu di Indonesia pernah di tunda, hal itu terjadi pada rezim orde baru Soeharto pada 1968.
Para elite politik saat ini, lagi gencarnya mendiskusikan wacana penundaan pemilu 2024, wacana itu bermula dari dorongan tiga ketua umum partai koalisi pemerintah. Siapa mereka? Diantaranya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan.
Saya teringat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Soekarno dengan slogan "Jasmerah" nya yang artinya Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Sejarah bangsa ini mencatat penundaan pemilu pernah terjadi di rezim orde baru Soeharto rezim khalayak public kenal sebagai rezim otoriter.
Di rezim itu, penundaan pemilu terlaksana padahal Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution, yang saat itu menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), telah membuat ketetapan pada 5 Juli 1966. Isi Pasal 1 Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 itu: Pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia diselenggarakan dengan pungutan suara selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1968.
Namun, fakta sejarah membuktikan, pemilu untuk memilih anggota DPR serta DPRD mundur sekitar empat tahun dari waktu yang ditetapkan MPRS, tepatnya pada 5 Juli 1971. Pemenangnya pemilu di tahun itu adalah partai golkar dengan perolehan kursi 62,80 persen. Karena aturan main pemilihan presiden saat itu anggota MPR yang memilih Presiden, maka terpihlihlah Soeharto yang di pilih oleh mayoritas kader Golkar.
Sedangkan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai penundaan pemilu pada 1968 itu dilakukan karena Soeharto masih khawatir terhadap masih banyaknya pendukung Sukarno. Karena itu, pemilu diundurkan menjadi sekitar setahun setelah Sukarno meninggal dunia. Kemudian, pada 1976, seharusnya dilakukan pemilu, tetapi dimundurkan lagi oleh Soeharto ke 1977.
Tahun 1971 itu mulai ada fusi partai politik, dari banyak partai menjadi 10 partai, kata Bivitri dilansir dari detik.news.com.
Bivitri menegaskan berbagai pemunduran agenda pemilu mengacaukan demokrasi. Maka dari itu, ini hanya cukup dalam sejarah saja, jangan terulang.