Mohon tunggu...
Indrian Safka Fauzi
Indrian Safka Fauzi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Praktisi Kesadaran Berketuhanan, Kritikus Fenomena Publik dan Pelayanan Publik. Sang pembelajar dan pemerhati abadi. The Next Leader of Generation.

🌏 Akun Pertama 🌏 My Knowledge is Yours 🌏 The Power of Word can change The World, The Highest Power of Yours is changing Your Character to be The Magnificient. 🌏 Sekarang aktif menulis di Akun Kedua, Link: kompasiana.com/rian94168 🌏

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Cara Mengatasi Trauma yang Terlanjur Menguasai Diri?

21 September 2022   10:00 Diperbarui: 21 September 2022   13:07 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trauma (Sumber: Freepik)

Selamat Pagi sahabat setia Kompasianer dan Readers budiman.

Tema ini masih tentang bahasan Ilmu Neurosemantic. Perihal Trauma mengapa bisa menguasai pikiran diri.

Sejatinya Trauma yang sering disebut cedera parah pada kejiwaan, bisa terjadi karena suatu peristiwa mengerikan dan menakutkan yang kita putar ulang terus menerus dalam pikiran kita, bak film yang diputar tiada henti dalam pikiran kita. Karena itu rasa takut yang melekat pada memori itu semakin menguasai pikiran kita, hingga kemudian berpengaruh pada kondisi kejiwaan dan respon raga kita.

Hingga pikiran kita terus-menerus memaknai hal demikian sebagai hal yang mesti dihindari, karena jika kita mencoba melawannya, seakan-akan jiwa menjerit dan memberikan perlawanan ketika mengalami kejadian serupa persis kejadian trauma masa lalu yang dihadapi didepan mata di waktu kini (present time).

Lantas bagaimana solusi tepat jika kita mengalami Trauma akan suatu hal?

Saya beri contoh.

Saya termasuk seorang yang trauma saat hendak menggunakan motor kopling ayahanda saya. Saya mencoba latihan di jalan raya mengendarai motor kopling lengkap dengan helm dan membawa kartu SIM dan STNK seperti biasa.

Namun di perjalanan, ketidakmahiran saya saat membawa motor kopling menjebak saya pada suatu permasalahan yang menakut-nakuti diri sendiri. Yaitu motor saya tiba-tiba mati, dan repotnya lagi para pengendara mobil dibelakang saya mengalami macet karena apa yang saya hadapi. 

Bijaksananya para pengendara mobil yang mengetahui bahwa saya sedang belajar mengendarai motor kopling. Tidak ada suara klakson bahkan teriakan marah dari sopir mobil yang menunggu saya maju.

Semenjak kejadian itu selama beberapa tahun saya mengalami trauma berat, tidak mau lagi mengendarai motor kopling.

Dan akhirnya saya menyadari setelah belajar ilmu Neurosemantic. Ternyata permasalahan bukan pada apa yang saya takutkan, karena saya terus membayangkan kejadian masa lalu yang cukup serius berulang kali, dan membenarkan diri untuk tidak lagi mengendarai motor kopling.

Saya mulai memaknai kejadian tersebut bukan karena rasa takut yang menguasai diri, tapi karena memang saya kurang latihan yang konsisten untuk belajar motor kopling.

Menimbang saya belum ada kesempatan untuk menaiki motor karena perlu restu dari kedua orang tua akan urgensinya. Saya sedikit demi sedikit mencoba berlatih diri untuk mengendarai motor yang terbilang dibawah kerumitan operasinya dari motor kopling seperti motor gigi. Dengan rasa penuh percaya diri. Itu juga kalau saya diberikan kesempatan oleh ibunda untuk membawa motor gigi. Kalau motor matic saya sudah menguasainya dengan cukup baik, dan penuh percaya diri.

Memang dalam hal berkendara saya terbilang cukup lama untuk menguasai. Karena semenjak SD saja, saya baru bisa membawa sepeda gayuh saat duduk di bangku kelas 6 SD. Itu karena saya belum apa-apa sudah takut untuk mencoba.

Jadi jangan takut untuk mencoba melawan apa yang kita takutkan pada diri kita, dengan merubah makna dari suatu peristiwa yang membuat diri dikuasai rasa takut dengan rasa penuh percaya diri bahwa sebenarnya kita bisa.

Sejatinya masalah, ada pada pikiran kita. Kita terlalu fokus dengan ketakutan dari suatu peristiwa yang dialami. Hentikan memutar kenangan tersebut dengan makna yang menakut-nakuti diri. Karena membuat kita sampai lupa bahwasanya manusia bisa karena biasa. Kita takut karena tidak mau mencoba, dan kemudian melatihnya terus menerus hingga bisa dan menguasainya.

Memang, semua minat dan bakat kita juga salah satu faktor penunjang yang utama. Tapi apa salahnya mencoba dan berlatih. Pasti dengan sendirinya makna kita tentang peristiwa menakutkan itu hilang dengan sendirinya. Karena kita punya kuasa atas diri kita sendiri, dan mampu menaklukan pikiran kita yang dikuasai oleh rasa takut.

Kisah diatas baru sebagian kecil dari kisah trauma. Lantas bagaimana tentang trauma seperti tidak mau menikah karena rasa takut menghantui akibat pengalaman masa kecil merasakan kengerian dari broken home?

Mungkin kisah ini cukup menarik untuk disimak. 

Ayahanda dan Ibunda saya terlahir dalam keadaan broken home. Lika-liku perjalanan hidup masa kecil yang begitu keras jika dihadapi untuk mental anak-anak manja.

Ayahanda dan Ibunda mampu melalui masa kecilnya yang sulit, hingga mesti menahan diri dari luapan emosi, kekesalan, kekecewaan, karena kedua orang tuanya terpisah.

Hingga pada akhirnya Ayahanda dan Ibunda yang beranjak dewasa dipertemukan oleh takdir. Karena satu perjalanan, satu nasib, dan bagaikan jiwa yang saling melengkapi dan menguatkan. Ikatan cinta terjalin pada keduanya. Berjanji keduanya tidak akan mengulang kesalahan yang dilakukan kedua orang tuanya yang gagal mempertahankan kelanggengan rumah tangganya.

Beliau berdua memaknai peristiwa hidup masa kecil yang tidak enak itu, dengan makna pembelajaran berharga yang mesti menjadi rambu-rambu dalam membina harmoni cinta dan kebijaksanaan dalam berumah tangga dan berketurunan. 

Ayahanda dan Ibunda tidak mau anak-anaknya yaitu Saya dan Adinda mengalami peristiwa pahit serupa dirasakan oleh keduanya. Karena tidak kompetennya diri sebagai orang tua untuk menjaga ikatan kekeluargaan antara suami dan istri juga orang tua dan anak akibat ego masing-masing.

Kalau ego ayah memuncak, maka ibu mengalah. Kalau ego ibu memuncak, maka ayah mengalah. Hingga kata "mengalah" itu berubah menjadi "menghargai" dan dari kata "menghargai" bertransformasi menjadi "Saling Menghormati dan Saling Menghargai". 

Semua peristiwa besar yang dihadapi baik dari dalam keluarga maupun luar keluarga dijadikan hikmah pembelajaran. Bahwa membina rumah tangga itu bukan permainan emosi belaka. Melainkan sebuah tanggungjawab yang besar untuk menjadikan pembelajaran berharga yang kelak menjadi cerita untuk anak cucu dikemudian hari.

Tidak ada alasan bagi kedua orang tua saya untuk mengulang kembali sebagai ajang "balas dendam" yang dialami keduanya saat beliau berdua masih kecil, untuk melampiaskan dendam masa kecilnya kepada kami (saya dan adinda) dari kecil hingga sekarang. Ayahanda dan Ibunda tidak mau mengulangi kesalahan yang sama yang pernah dilakukan oleh kedua orang tuanya kepada kami.

Kami berdua (saya dan adinda) merasakan kehebatan besar dari Ayahanda dan Ibunda yang merawat kami berdua dengan penuh kasih, perhatian, kesabaran, ketabahan dan semangat juang yang tinggi, yang menjadi teladan bagi kami berdua.

Dari kisah Ayahanda dan Ibunda inilah, trauma masa kecil broken home bukanlah alasan untuk ajang balas dendam apalagi membuat diri menghindari pernikahan. 

Demikian bahasan dari saya tentang sekelumit kisah dan pemikiran saya tentang mengatasi trauma. Memang terdengar menantang untuk dicoba. Dimulai dari pikiran kita, yakini kita bisa dan mulai dengan upaya terus melatih diri, belajar melawan rasa takut, maknai masa lalu yang terus terulang diputar di pikiran kita dengan makna yang sarat kebermanfaatan. Niscaya kita pasti hebat.

Kalimat sederhananya: "Cukup ubah Maknanya."

Semoga bermanfaat!

Tertanda.
Rian.
Cimahi, 21 September 2022.

Indrian Safka Fauzi untuk Kompasiana.
For our spirit... Never Die!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun