****
Hari berikutnya... Terdengar kabar bahwa Istri sang Suami yang masih paman saya sendiri ternyata tidaklah kecelakaan, melainkan beliau baik-baik saja namun rumor lingkungan keluarga besar disana, mengungkapkan. Bahwa kondisi rumah tangga keduanya sedang retak, alias diujung perceraian.
Saat kunjungan lebaran bibi yang merupakan adik Ayah saya mendengar kabar, bahwa Ibu saya didatangi oleh perempuan yang dianggapnya bermasalah dan dicap keluarga besar disana sebagai tukang tipu sana sini. Sontak kaget pembicaraan serius antara Bibi dan Ibu dan tidak terelakan. Namun Ibunda dengan penuh lembut berkata kepada Bibi, "Tidak apa-apa... Saya Ridha."
Sepulang bibi. Pada sepertiga malam, saya menyaksikan Ibunda Shalat Tahajud seperti sepertiga malam biasanya.
"Yaa Allah... Semoga ini yang terakhir... dan Ya Allah... semoga beliau (yang telah menipu ibunda) menemukan jalan hidup yang terbaik."
Bukan kutukan laknat yang terucap. Melainkan Doa yang penuh Rahmat terlisan dari buah bibir Ibunda.
***
Sebagaimana terkisah... selama Ibunda dan Ayahanda mengobati Saya untuk kesembuhan dari penyakit non-medis bersifat psikis/kejiwaan, keluarga kami seringkali diperas oleh seorang yang mengaku bisa mengobati kami secara non-medis, karena pengobatan medis tidak ampuh mengobati saya kala itu, saat ayahanda masih bekerja di PLN.
Jutaan rupiah yang dapat membeli sebuah rumah ludes. Bukannya sembuh, malah semakin parah penyakit yang saya derita selama 10 tahun itu lamanya dari semenjak saya duduk di bangku SMA kelas 3.
Saya dikala itu dipenuhi kemarahan brutal, seperti terkena guna-guna, rasa cemas, gelisah, dendam, amarah, benci, semua perasaan negatif bercampur aduk. Bahkan saya hampir melakukan percobaan bunuh diri dengan mengambil sebilah pisau untuk di gesekkan ke lengan.
Saya pernah mencoba melompat dari lantai 2 rumah nenek karena kiamat hati yang saya rasakan penuh ketakutan phobia bisikan melanda, namun tercegah karena masih yakin pada Allah.