Penulis :
Yusni Fitri Mardiana
Amira Choirunnisa Salsabila
Â
Judi dilarang, tapi keberadaannya masih eksis dalam masyarakat Indonesia. Beberapa waktu ditutup dan sepi, tak lama buka dan ramai kembali.Â
Saat ini perjudian tidak hanya berasal dari tradisi di masyarakat, seperti pertaruhan yang dilakukan oleh orang-orang seperti taruhan bola, selain itu permainan-permainan seperti kartu, gaplek, dan sebagainya. Seiring berkembangnya teknologi dan mudahnya akses internet bagi masyarakat, kini juga mulai marak judi online di berbagai kalangan masyarakat Indonesia.Â
Isu terkait judi online belakangan ramai dibahas di Indonesia. Pada Bulan September lalu Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memberantas aktivitas judi online dengan memutus akses serta menghapus 60.582 konten perjudian online. Kerugian yang telah tercatat oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kurun waktu 2017-2022 mencapai Rp190 trliun, sedangkan menurut informasi yang dihimpun dari  Kominfo, dari satu situs judi online tiap tahunnya ditaksir mencapai Rp27 triliun.Â
Pada saat ramainya pembahasan tentang judi online di sosial media, terdapat sebuah unggahan facebook yang mempromosikan permainan judi online dengan klaim telah dilegalkan dan dijamin oleh Pemerintah Indonesia. Ketika dilansir dari media tirto.id, pemberitaan tersebut diketahui merupakan informasi yang salah dan menyesatkan para pembaca.Â
Â
Frasa "tanpa izin"
Â
Perjudian adalah suatu bentuk taruhan yang dilakukan dengan sengaja dan biasanya melibatkan nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai. Pelaku usaha perjudian dan pemain menyadari bahwa ada risiko rugi dan harapan menang dalam permainan, pertandingan, atau perlombaan yang hasilnya belum pasti.
Pasal 303 KUHP Ayat (1) menyatakan "diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin". Masih disayangkan draft Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diakses melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Â baiknya juga perlu dicermati kembali mengenai pembentukan pasal per pasal pengaturannya. Khususnya dalam Pasal 431 tentang Perjudian dimana dalam Pasal tersebut disebutkan " Setiap Orang yang menggunakan kesempatan main judi yang diadakan tanpa izin, ...." pada kedua peraturan tersebut masih terdapat frasa "tanpa izin" yang mana tidak terjadi perubahan antara KUHP dengan rancangan perubahannya.Â
Kata "tanpa izin" menjadi peroblematika serta celah hukum bagi pelaku untuk membuka usaha perjudian setelah mendapat izin. Konsekuensi logis dari frasa tersebut adalah penangkapan terhadap pihak pelaku perjudian hanya terhadap pelaku yang tidak memiliki izin, sementara yang memiliki izin tidak dapat ditangkap. Hal tersebut dikarenakan dapat diartikan perjudian dapat dilakukan di Indonesia secara legal apabila memiliki izin operasional.
Perihal instansi mana yang memiliki kewenangan untuk memberikan izin, salah satu contohnya adalah dinas pariwisata, melalui pemberian izin usaha galanggang permainan. Pada realitanya terdapat beberapa pelaku usaha yang mendapatkan izin untuk membuka usaha berupa gelanggang permainan yang kemudian sering disalahgunakan untuk menyelundupkan permainan judi. Hingga saat ini banyak yang mempertanyakan kompetensi dinas tersebut untuk menerbitkan izin. Karena, apakah aktivitas gelanggang permainan itu termasuk dalam aktivitas kepariwisataan atau tidak.
Penghapusan frasa "kata izin" selanjutnya baik dalam KUHP dan Revisi KUHP dapat dilakukan. Agar kedepannya pemberantasan perjudian di Indonesia mendapatkan kepastian hukum. Sehingga upaya penegakan hukum oleh aparat dapat dijalankan sesuai dengan norma hukum yang berlaku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI