Pada tahun 1912 aku dilahirkan ditanah Jawa lebih tepatnya disebuah kesultanan Yogyakarta. Ayahku adalah pemimpinnya beliau bernaman Sri Sultan Hamengkubuwono  VIII, dan ibuku Raden Ajeng Kustilah Atau Kanjeng Ratu Alit dan namaku adalah Gusti Raden Mas Dojoratun itulah nama yang ku sandang saat aku masih kecil. Saat usia ku menginjak 4 tahun, aku dititipkan ke keluarga Mulder. Tetapi aku menolak dan terus menangis sambil memeluk salah satu tiang di keraton dan berteriak
"Aku tidak ingin pergi, aku ingin tinggal disini. Ibu kumohon aku tidak ingin pergi kumohon ayah jangan mengirimku pada orang lain kumohon".
Tetapi perintah dari pemimpin tetaplah perintah. Hingga akhirnya akupun dititipkan pada keluarga Mulder. Keluarga Mulder bukanlah keluarga dari Jawa melainkan dari Belanda, kepala keluarga nya adalah seorang kepala sekolah NHJJS (Neutral Hollands Javanesche Jongen School). Pihak keluarga Mulder diberi pesan supaya mendidikku layaknya rakyat biasa. Jangan pernah memperlakukanku istimewa hanya karena aku berdarah biru tetapi perlakukanlah aku layaknya anak-anak biasa. Aku diharuskan hidup mandiri, tanpa seorang pengasuh, kehidupanku saat itu jauh dari kata bangsawan. Tetapi aku tidak terlau mempedulikannya yang aku pikirkan saat itu adalah harus bisa membiasakan diri dan lakukan sebaik mungkin supaya bisa beradaptasi di lingkungan yang baru ini dan nyaman.
Seiring berjalannya waktu aku sudah mulai terbiasa hidup sederhana layaknya rakyat biasa dan mulai merasa nyaman, aku bisa bermain dengan anak-anak lain tanpa ada aturan yang mengikat. Aku bisa bermain bersama anak-anak yang lain tanpa ada aturan yang mengikat. Dikeluarga mulder aku dipanggil Henkie (Henk kecil) yang diambil dari nama pangeran Hendrik dari Belanda.
Pendidikan dasar ku dihabiskan di daerah kelahiranku, selanjutnya pendidikanku dilanjutkan ke Semarang dan Bandung. Belum sampai menginjak kelulusan, ayahandaku memerintahkanku untuk melanjutkan nya ke negeri Netherland bersama saudra-saudaraku. Disana kami belajar mengenai ilmu hukum tata negara. Disaat musim dingin tiba, salju mulai turun dengan sangat lebat hingga jalanan pun tertutupi salju dan menjadi macet karena sebagian kendaran tidak bisa melintasinya karena salju yang menumpuk. Ku ambil sekop di gudang, lalu ku bersihkan halaman yang penuh dengan salju. Teapi saurada ku datang dan ia melemparkan bola salju ke arah ku tentu saja aku tidak akan diam. Akupun membalasnya dengan kubuat bola salju ku yang ukurannya lebih besar lalu kulemparkan padanya
"Ambil itu hahhahaha bagaimana? Sakit bukan? bola salju ku ukurannya lebih besar daripada punyamu" Â
kemudian kami saling lempar bola salju. Tidak terasa hari sudah siang dan udaranya pun semakin dingin. Saudaraku yang lainnya memanggil kami, ia telah membuatkan kopi hangat dan beberapa cemilan pendamping yang sangat lezat. Setelah itu, aku pergi ke kamar dan mulai belajar mengenai ilmu hukum tata negara. selain itu juga aku saktif menegikuti klub debat. Berada di negeri Netherland bertemu dengan sang putri dari kerjaan Netherland dan aku pun memberanikan diri untuk berkenalan dengannya hingga akhirnya sang putri mau berkenalan denganku dan sekarang ia menjadi sahabatku.
Waktu terus berjalan hingga pada saat tahun 1939, peta politik dunia terus bergerak dengan sangat pesat. Konflik mulai bermunculan dan adanya desas-desus mengenai terjadinya perang dunia II yang akan berlangsung sebentar lagi. Ayahanda ku merasa khawatir dan beliau memintaku untuk segera pulang. Setibanya dikesultanan Yogyakarta, aku disambut hangat oleh beliau ia memeluk dengat sangat erat dan berkata
"Ayah sangat merindukanmu nak, ayah tidak ingin kau pergi lagi. Ayah tahu pendidikanmu di negeri Netherlnad belum selesai tetapi yang ayah inginkan bukanlah kau berpendidikan tinggi tetapi menjadi penerus ayah. Karena itulah ayah ingin kau pulang dan meneruskan kepemimpinan dikesultanan ini"
"Akupun sangat merindukan mu ayah, aku paham selama ini ayah menintaku untuk pergi ke negeri Netherland untuk mempelajari ilmu hukum tata negara, tak apa jika pendidikan ku tidak selesai, karena aku juga yakin bahwa selama ini aku sudah cukup paham mengenai ilmu-ilmu hukum dan aku sudah siap dalam memimpin jika ayahanda menginzinkan maka aku siap untuk melanjutkan kepemimpinan darimu yang mulia".
Saat itu juga ayahnda ku langsung memelukku dengan erat dan akupun tentunya membalasnya. Kemudian beliau meyerahkan Keris Kyai Joko Piturun kepdaku. Keris kyai Joko Piturun merupakan atribut yang digunakan oleh pangeran mahkota dan dianggap sebagai calon penerus tahta.