Pencitraan politik melalui media sosial mempunyai dampak yang signifikan terhadap masyarakat dan demokrasi. Beberapa dampaknya antaralain memungkinkan politisi untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat. Hal ini menciptakan ilusi kedekatan dan keterlibatan yang dibangun politisi untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, namun pencitraan seperti ini tidak terlalu efektif jika masyarakat sadar bahwa itu semua tidak murni dan hanya strategi politik. Media sosial terkadang menyebarkan pesan-pesan yang dapat memecah belah, dan melalui algoritma, media sosial juga cenderung mengutamakan konten-konten yang memancing emosi kemarahan, kebencian maupun ketakutan yang lebih mudah mendapatkan perhatian dan interaksi dari publik. Pencitraan digital sering menyembunyikan dan mengorbankan kebenaran, dimana politisi dapat menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi yang manipulatif dan berlebihan demi membangun pandangan positif masyarakat juga mengakibatkan lemahnya akuntabilitas dan transparansi. Konten yang singkat pada media sosial sering mengabaikan inti dari pesan yang disampaikan, politisi lebih fokus pada bagaimana tampilan dan cara penyampaian pesan daripada fokus pada pesan itu sendiri. Akibatnya, masyarakat kurang teredukasi tentang isu-isu penting dan membuat diskusi politik lebih dangkal karena terfokus pada pencitraan diri daripada substansi.
Pencitraan Politik di Indonesia: Studi Kasus
Pencitraan politik di Indonesia melalui media sosial merupakan fenomena yang semakin menonjol, dan dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan media sosial untuk pencitraan politik semakin meningkat. Beberapa fenomena menarik di Indonesia meliputi:
Pada Pemilu tahun 2019, dilakukannya kampanye digital, saat itu pasangan Capres & Cawapres memanfaatkan media sosial secara terus-menerus demi menyampaikan program kerja serta visi dan misinya. Strategi ini terbukti cukup menarik perhatian dalam menjangkau pemilih muda khususnya generasi Gen-Z dan Milenial. Untuk berinteraksi dengan pemilih, sesi tanya jawab dan memberikan tanggapan, platform seperti Facebook dan Youtube live yang digunakannya.
Beberapa politisi Indonesia berhasil membangun citra positif melalui konten kreatif di media sosial. Contohnya, seorang gubernur yang menggunakan TikTok untuk mempromosikan program pemerintah dengan konten berupa tantangan, video informatif, atau bahkan parodi seringkali lebih viral dan meningkatkan popularitas politisi tersebut. Keunggulan media sosial untuk politisi yaitu dapat membangun personal brandingnya dengan menunjukkan sisi manusiawi seperti selera humor atau kegiatan sehari-sehari mereka yang tidak terlihat pada media tradisional. Ironisnya, fokus pada kepopuleran dapat mengabaikan perhatian inti dari kebijakan yang ditawarkan.
Media sosial cenderung memprioritaskan konten yang memicu emosi juga menjadi sarana untuk menyebarkan hoaks atau berita palsu yang dapat merugikan lawan politik, sehingga informasinya mudah tersebar daripada fakta atau klarifikasi. Isu-isu seperti agama, ras, dan budaya menjadi target utama untuk mempengaruhi masyarakat. Fenomena ini menunjukkan sisi gelap pencitraan politik di era digital.
Pencitraan politik di era digital menawarkan peluang besar bagi politisi untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. Namun, penggunaan media sosial yang berlebihan untuk pencitraan juga membawa risiko yang tidak bisa diabaikan, seperti polarisasi politik dan penyebaran disinformasi atau hoaks.
Bagi demokrasi Indonesia, penting untuk menemukan keseimbangan antara memanfaatkan media sosial untuk komunikasi politik yang efektif dan mencegah dampak negatifnya. Edukasi masyarakat tentang literasi digital dan regulasi yang tepat dapat menjadi langkah penting untuk menciptakan komunikasi politik yang sehat di era digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H